Bantahan Terhadap Ustadz Khalid Basalamah Terkait Sumpahnya di Hadapan Jamaah Bahwa Mereka Akan Bertemu di Surga (Bagian ke-1)
Segala puji hanya untuk Allah Ta’ala. Semoga sholawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam, keluarga, dan seluruh Sahabat beliau.
Salah satu prinsip dasar dalam akidah Islam yang disampaikan oleh para Ulama Ahlussunnah adalah tidak memastikan person tertentu pasti masuk surga atau pasti masuk neraka, kecuali yang dipastikan dalam dalil alQuran maupun hadits Nabi shollallahu alaihi wasallam. Misalkan, mengatakan: kami pasti masuk surga, atau kalian pasti masuk surga, saat orang-orang itu masih hidup. Hal ini bertentangan dengan bimbingan alQuran, hadits Nabi, maupun ucapan para Sahabat yang shahih.
Adapun memastikan bahwa setiap orang beriman pasti masuk surga, setiap orang bertakwa pasti masuk surga, orang kafir pasti masuk neraka, hal itu dibenarkan, karena memang sesuai dengan dalil-dalil yang ada. Begitu banyak ayat alQuran dan hadits yang menegaskan kondisi demikian. Bedakan antara memastikan suatu sifat mendapatkan balasan tertentu, dengan memastikan seorang tertentu pasti mendapat balasan tertentu. Yang pertama diperbolehkan, sedangkan yang kedua tidak diperbolehkan. Karena, kita hanya bisa melihat secara zhahir (yang nampak), tidak tahu bagaimana hati seseorang. Kita pun tidak bisa memastikan seseorang yang sebelumnya baik, kemudian akhir kehidupannya juga demikian. Semua petunjuk taufiq hanyalah berasal dari Allah Azza Wa Jalla semata.
Dalam salah satu potongan videonya, ustadz Khalid Basalamah bersumpah di hadapan jamaah pengajiannya bahwa mereka akan bertemu di surga. Selain itu, ada pernyataan beliau yang juga bertentangan dengan prinsip-prinsip akidah Islam yang akan diuraikan nanti, insyaallah.
Berikut ini akan dikutipkan transkrip ceramah ustadz Khalid Basalamah itu, kemudian kita akan uraikan insyaallah bantahan ilmiah terhadap penyimpangan yang ada dari pernyataan tersebut.
— Kutipan transkrip dari video ceramah ustadz Khalid Basalamah —
Saya berani bersumpah teman-teman di sini demi Allah, sebagaimana kita ketemu di sini demi Allah kita akan ketemu di surga. Nggak ada keraguan, asal sama iman dan amal sholih. Nggak ada keraguan dan itu yang Nabi shollallahu alaihi wasallam tanamkan kepada para sahabat makanya mereka saling berlomba-lomba kalau ada yang perang begitu mati syahid kalau ada yang jatuh tertusuk pedang kena panah jatuh teman-temannya pada jatuhin badan bersama mereka sambil mengatakan wahai fulan jangan lupa syafaatmu. Dia kejar temannya yang mati itu yang jatuh mumpung dia belum meninggal maka dia jatuhkan juga badannya sambil mengatakan wahai fulan jangan lupa syafaatmu. Dia kan punya 70 orang yang akan dia selamatkan. Dengan penuh keyakinan pasti temannya itu akan mati syahid dan juga akan mendapatkan apa yang dijanjikan. Kenapa seseorang di antara kita teman-teman sekarang sangat yakin kalau dia kerja di sebuah perusahaan dia akan terima gaji di akhir bulan. Padahal pemilik perusahaan manusia bisa bohong bisa menipu. Kenapa kita begitu yakin. Kalau tidak yakin tidak mungkin kita bekerja. Bagaimana dengan janji sang pencipta Allah yang kita yakini sebagai pencipta.
— selesai penukilan ucapan ustadz Khalid Basalamah —-
Beberapa kesalahan dan penyimpangan ustadz Khalid Basalamah dalam ucapan itu, di antaranya adalah:
Pertama: Pemastian bahwa beliau dan orang-orang yang hadir di kajian saat itu akan masuk surga.
Ungkapan itu bertentangan dengan firman Allah Ta’ala:
فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
…janganlah kalian memuji diri kalian. Dia (Allah) lebih mengetahui siapakah orang yang bertakwa (Q.S anNajm ayat 32)
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullah menyatakan:
إن الإنسان إذا جزم لنفسه بأنه من أهل الجنة فهذا غلط عظيم لكن يرجوا ويطمع ، لكن لو أنه جزم بأنه أهل الجنة يلزم من ذلك أنه زكى نفسه وشهد له بها بالجنة ، وهذا خطير جدا على الإنسان لأنه معناه أنه واثق بأن عمله مقبول وأنه ليس منه خطأ يمنع من دخول الجنة
Sesungguhnya seseorang jika *memastikan* bahwa dirinya sendiri termasuk penduduk surga, ini adalah kesalahan besar. Mestinya ia berharap dan menginginkan (masuk ke dalam surga, bukan memastikan, -pen). Kalau ia *memastikan* bahwa dirinya termasuk penghuni surga, itu berkonsekuensi ia memuji dirinya sendiri dan mempersaksikan surga untuknya. Ini sangat berbahaya bagi seseorang. Karena berarti maknanya adalah ia percaya kalau amalannya pasti diterima dan ia tidak memiliki kesalahan yang menghalanginya masuk surga (Tafsir Surah al-Maidah karya Syaikh Ibn Utsaimin ketika menafsirkan surah al-Maidah ayat 84)
Berikut ini adalah kutipan pernyataan dua Ulama Ahlussunnah bermadzhab asy-Syafiiy yang merangkum prinsip akidah Ahlussunnah tentang hal itu. Dua Ulama itu adalah al-Imam al-Muzani, murid langsung al-Imam asy-Syafii, dan al-Imam Abu Bakr al-Isma’iliy –semoga Allah merahmati beliau semua-.
Al-Imam al-Muzani rahimahullah menyatakan:
وَلاَ نُوْجِبُ لِمُحْسِنِهِمُ الْجِناَنَ بَعْدَ مَنْ أَوْجَبَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلاَ نَشْهَدُ عَلَى مُسِيْئِهِمْ بِالنَّارِ
Kita tidak memastikan surga bagi orang yang berbuat baik di antara mereka (kaum muslimin), kecuali yang telah ditetapkan kepastiannya oleh Nabi shollallahu alaihi wasallam. Kita juga tidak mempersaksikan kepastian neraka bagi orang yang berbuat keburukan di antara mereka (kaum muslimin) (Syarhus Sunnah lil Muzani)
Al-Imam Abu Bakr al-Isma’ily rahimahullah menyatakan:
ولا يقطعون على أحد من أهل الملة أنه من أهل الجنة أو من أهل النار، لأن علم ذلك يغيب عنهم، لا يدرون على ماذا الموت؟ أعلى الإسلام؟ أم على الكفر؟
Dan mereka (para imam ahli hadits) tidaklah memastikan seorang pun yang berada di atas agama ini dipastikan sebagai penduduk surga atau penduduk neraka. Karena pengetahuan tentang hal itu tidaklah mereka ketahui. Mereka tidak tahu seorang itu nanti akan meninggal dalam keadaan bagaimana? Apakah di atas Islam ataukah di atas kekafiran (Ushulul I’tiqad ‘inda Ahlil Hadits 1/69)
Tidak ketinggalan pula, Ulama lain, yaitu atThohawiy rahimahullah menyatakan:
وَنَرْجُو لِلْمُحْسِنِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَيُدْخِلَهُمُ الْجَنَّةَ بِرَحْمَتِهِ، وَلَا نَأْمَنُ عَلَيْهِمْ، وَلَا نَشْهَدُ لَهُمْ بِالْجَنَّةِ، وَنَسْتَغْفِرُ لِمُسِيْئِهِمْ، وَنَخَافُ عَلَيْهِمْ، وَلَا نُقَنِّطُهُمْ
Kita mengharapkan orang-orang beriman yang berbuat baik mendapat pemaafan (dari Allah) dan Dia memasukkan mereka ke dalam surga dengan rahmat-Nya. Namun kita tidak merasa aman terhadap mereka. Kita tidak mempersaksikan bahwa mereka (pasti mendapat) surga. Kita memohonkan ampunan untuk orang-orang yang berbuat jahat dari mereka, kita merasa khawatir (mereka masuk neraka, -pen), namun kita tidak membuat mereka berputus asa (al-Aqidah atThohawiyyah)
Ibnu Abdil Izzi al-Hanafiy rahimahullah menyatakan:
وَعَلَى الْمُؤْمِنِ أَنْ يَعْتَقِدَ هَذَا الَّذِي قَالَهُ الشَّيْخُ رَحِمَهُ اللَّهُ فِي حَقِّ نَفْسِهِ وَفِي حَقِّ غَيْرِهِ
Wajib bagi setiap orang beriman untuk meyakini hal ini seperti yang disebutkan oleh Syaikh (atThohawiy, -pen) –semoga Allah merahmati beliau – (keyakinan demikian) untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain (Syarh al-Aqidah atThohawiyyah 1/306).
Artinya, tidak boleh bagi kita memastikan untuk diri sendiri bahwa diri kita pasti masuk surga. Demikian juga kita tidak boleh memastikan hal itu untuk orang lain. Selain orang-orang yang dipastikan dalam alQuran maupun hadits Nabi yang shahih. Kita hanya bisa berharap, semoga kita dan mereka masuk surga, semoga kita dan mereka mendapat ampunan Allah. Atau, setidaknya mengungkapkan sesuatu itu dengan pernyataan: insyaallah (jika Allah menghendaki).
Kalau seandainya, ustadz Khalid Basalamah menyatakan: “Semoga Allah mempertemukan kita di surga” atau pernyataan: “Kita akan bertemu di surga, insyaallah”. Maka yang demikian masih diperbolehkan. Sebagaimana Syaikh Bin Baz rahimahullah berfatwa demikian. Berikut ini kita akan kutipkan tanya jawab dengan Syaikh Bin Baz terkait hal itu:
س: ما حكم القول: “في الجنة نلتقي إن شاء الله” جزاكم الله خيرا؟
Pertanyaan: Apakah hukum ucapan seseorang: “ Di surga, kita akan bertemu, insyaallah”. Semoga Allah membalas anda dengan kebaikan.
Jawaban Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah:
هذا القول طيب ولا بأس به. نسأل الله أن يجمعنا بإخواننا في الجنة، وأن نلتقي في الجنة، لكن لا يقول: إن شاء الله، فلا يستثني، بل يقول: نسأل الله أن نلتقي في الجنة بفضله، الله يجمعنا في الجنة، فلا يقول: إن شاء الله، ولا يستثني في الدعاء
Ini adalah ucapan yang baik, tidak mengapa. Kita meminta kepada Allah agar Dia menggabungkan kami bersama saudara-saudara kami di surga dan (semoga) kita bisa bertemu di surga. Namun, jangan mengucapkan insyaallah (dalam doa, pen). Jangan memberi perkecualian (dalam doa, pen). Hendaknya seseorang mengucapkan: Kami meminta kepada Allah agar kita bisa berjumpa di surga dengan karunia-Nya. Semoga Allah menggabungkan kita di surga. Janganlah ia mengatakan: Insyaallah, atau memberi perkecualian dalam doa (Majmu’ Fatawa Ibn Baz 26/132, Fatawa Islamiyyah 4/173).
Artinya, ada 2 pilihan bagi kita dalam mengungkapkan kalimat semacam itu. Boleh berupa pernyataan, namun diakhiri dengan insyaallah (jika Allah menghendaki). Atau berupa doa dan permohonan kepada Allah, yang tidak diakhiri dengan kata ‘insyaallah’.
Kalau berupa pernyataan harapan, seperti: “Kita akan bertemu di surga, insyaallah”. Ini boleh. Tapi kalau tanpa kata insyaallah dalam bentuk pernyataan, itu tidak boleh. Karena itu menunjukkan pemastian dan mendahului kehendak Allah.
Atau, pilihan lain adalah dalam bentuk doa. Kalau dalam bentuk doa, jangan menyertakan kata “insyaallah”. Boleh kita mengucapkan: “Semoga Allah mempertemukan kita di surga”.
(Insyaallah bersambung pada bantahan bagian ke-2)
Penulis: Abu Utsman Kharisman