Ketentuan Puasa, Sahur, Dan Berbuka Bag 1: Orang yang Mendapatkan Keringanan untuk Tidak Berpuasa
Orang yang Mendapatkan Keringanan untuk Tidak Berpuasa
- Orang yang sudah sangat tua dan tidak mampu berpuasa
- Musafir
- Sakit yang tidak memungkinkan berpuasa
- Wanita hamil atau menyusui
Bagi yang mendapatkan udzur syar’i untuk tidak berpuasa, ada 2 cara:
- Mengganti di hari lain sebelum datang Ramadhan berikutnya.
- Membayar fidyah, yaitu memberi makan orang miskin. Boleh dalam bentuk bahan makanan pokok belum masak, atau sudah siap saji (matang). Jika membayar dalam bentuk makanan pokok mentah, maka takarannya adalah setengah sho’ (sekitar 1,5 kg) per hari yang ditinggalkan.
Berikut ini akan dijelaskan tentang siapa saja yang harus mengganti di hari lain dan siapa saja yang harus membayar fidyah.
Orang yang Sudah Sangat Tua dan Tidak Mampu Berpuasa
Orang yang sudah sangat tua dan tidak kuat berpuasa, membayar fidyah. Sebagaimana yang dilakukan oleh Sahabat Nabi Anas bin Malik di masa tuanya.
Sahabat Nabi Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata:
الشَّيخُ الكبيرُ، والمرأةُ الكبيرةُ لا يستطيعانِ أن يصوما، فيُطعِمانِ مكانَ كُلِّ يومٍ مِسكينًا
Orang laki-laki yang sudah tua dan wanita yang sudah tua renta yang tidak mampu berpuasa, maka mereka memberi makan setiap hari (yang ditinggalkan) satu orang miskin (riwayat alBukhari no 4145)
Namun, seseorang yang sudah tua dan pikun total sehingga tidak ingat apa-apa lagi, maka keadaannya seperti orang yang tidak berakal, sehingga tidak terkena kewajiban puasa. Tidak perlu membayar fidyah (Majaalis Syahri Romadhon libni Utsaimin halaman 28)
Musafir
Seorang musafir boleh untuk tetap berpuasa atau memilih untuk tidak berpuasa. Jika ia memilih untuk tidak berpuasa, maka ia harus mengganti di hari lain sebelum datang Ramadhan berikutnya.
Manakah yang lebih utama bagi musafir, tetap berpuasa atau tidak berpuasa?
Jawabannya: tergantung keadaannya pada waktu itu. Jika ia dalam kondisi kuat, tidak berpengaruh terhadap aktifitasnya, maka sebaiknya ia tetap berpuasa. Karena lebih baik baginya untuk tetap berpuasa di bulan yang penuh kebaikan, yaitu Ramadhan, dan juga memudahkan baginya karena lebih banyak orang yang juga berpuasa seperti dia.
Dalam salah satu perjalanan (safar) jihad yang diikuti Nabi dan para Sahabatnya, semua orang memilih untuk tidak berpuasa, kecuali Nabi dan Abdullah bin Rowaahah. Hal itu menunjukkan bahwa Nabi
memilih sesuatu yang lebih utama, saat beliau kuat berpuasa dalam kondisi safar.
وَعَن أَبِي الدَّرْدَاءِ رضي الله عنه قال: خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ فِي حَرٍّ شَدِيدٍ، حَتَّى إِنْ كَانَ أَحَدُنَا لَيَضَعُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ شِدَّةِ الحَرِّ، وَمَا فِينَا صَائِمٌ إِلَّا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَبْدُ اللهِ بْنُ رَوَاحَةَ
Dari Abud Darda’ radhiyallahu anhu beliau berkata: Kami pernah keluar (safar) bersama Rasulullah shollallahu alaihi wasallam pada bulan Ramadhan yang terik panas. Sampaisampai salah seorang dari kami meletakkan tangannya di atas kepalanya karena demikian panasnya. Tidak ada di antara kami yang berpuasa kecuali Rasulullah shollallahu alaihi wasallam dan Abdullah bin Rowaahah (H.R Muslim no 1892 dan 1893)
Namun, jika dalam safar tersebut dibutuhkan tenaga dan stamina yang prima yang tidak bisa dicapai kecuali dengan tidak berpuasa sedangkan keperluan yang dihadapi sangat penting, maka sebaiknya tidak berpuasa.
Dalam salah satu safar (jihad), Rasulullah shollallahu alaihi wasallam pernah memuji para Sahabat yang memilih untuk tidak berpuasa dan berperan aktif dalam membantu saudara-saudaranya yang berpuasa dan lemah kondisinya dengan menegakkan tenda dan memberi minum pada hewan-hewan tunggangannya. Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda:
ذَهَبَ المُفْطِرُونَ اليَوْمَ بِالأَجْرِ
Orang-orang yang berbuka (tidak puasa) pada hari ini pergi dengan membawa pahala… (H.R al-Bukhari no 2676 dan Muslim no 1886 dan 1887 dari Anas bin Malik)
Bahkan, dalam kondisi tertentu, seorang yang safar harus berbuka, tidak boleh berpuasa, ketika kondisi dia lemah dan tidak kuat. Nabi pernah melihat seseorang yang pingsan dan diberi naungan oleh para Sahabat lain. Saat ditanya, ternyata dia waktu itu berpuasa. Nabi kemudian bersabda:
لَيْسَ مِنَ البِرِّ الصَّوْمُ فِي السَّفَرِ
Tidaklah termasuk kebaikan, puasa di waktu safar (H.R alBukhari no 1810 dan Muslim no 1879 dari Jabir bin Abdillah)
Artinya, tidak ada kebaikan bagi yang berpuasa dalam keadaan safar hingga memberatkan dirinya dan menimbulkan kemudharatan bagi dirinya.
Sakit yang Tidak Memungkinkan Berpuasa
Jika seseorang sakit yang tidak memungkinkan berpuasa, menurut keterangan dokter yang ahli dan terpercaya, maka ia boleh untuk tidak berpuasa. Jika sakitnya bukan sakit yang permanen, ia bisa mengganti di hari lain sebelum masuk Ramadhan berikutnya.
وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَ
…dan barangsiapa yang sakit atau safar, maka mengganti sejumlah bilangan hari yang ditinggalkan) di hari lain (Q.S al-Baqoroh:185)
Namun, jika ia sakit yang terus menerus dan tidak memungkinkan mengganti puasa di hari lain, maka ia membayar fidyah. Hukumnya dianggap sama dengan hukum orang tua yang sudah tidak mampu lagi berpuasa seterusnya.
Sebagian Tabi’in, seperti al-Hasan al-Bashri memberikan batasan sakit yang boleh untuk tidak berpuasa adalah jika sakitnya menyebabkan ia tidak bisa sholat dalam keadaan berdiri.
Wanita Hamil atau Menyusui
Wanita hamil atau menyusui, apakah yang harus dilakukan jika tidak berpuasa? Mengganti di hari lain atau membayar fidyah?
Jawabannya: tergantung keadaan dia. Tiap keadaan berbeda konsekuensinya.
1. Ia tidak berpuasa karena tidak kuat, maka ia mengganti di hari lain. Dalam hal ini kondisinya
sama dengan seorang musafir.
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلَاةِ، وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ الصِّيَامَ
Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla meletakkan (keringanan) pada musafir (untuk mengerjakan) setengah sholat dan (keringanan) bagi musafir, wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa (H.R Abu Dawud, Ibnu Majah dari Abdullah bin Ka’ab)
2. Ia sebenarnya kuat berpuasa, namun memilih tidak berpuasa karena mengkhawatirkan keadaan anaknya. Jika ia berpuasa, ia khawatir anaknya tidak mendapat asupan gizi yang optimal. Dalam keadaan semacam ini, ia membayar fidyah.
عَنِ ابنِ عَبَّاسٍ قَالَ: الحَامِلُ وَالْمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا عَن كُلِّ يَومٍ مِسكِينًا
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma beliau berkata: Wanita hamil dan menyusui jika mengkhawatirkan (keadaan anaknya: menurut Abu Dawud), hendaknya berbuka dan memberi makan setiap hari (yang ditinggalkan) satu orang miskin, tidak ada qodho’ (mengganti puasa) baginya (riwayat Musaddad, sanadnya hasan menurut al-Bushiry dalam Ithaaful Khiyaroh al-Maharoh (3/113) no 2320).
Sumber: Materi Kajian Kajian Fiqh di Masjid An Nuur Perum PJB Paiton-Probolinggo, 25 Rabu, 18 Juni 2014 / 20 Syaban 1435 H
Penulis: Abu Utsman Kharisman