Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Kisah Perselisihan yang Pernah Terjadi Antara Abu Bakr dan Umar

Dua Sahabat Nabi yang paling mulia, Abu Bakr dan Umar, pernah berselisih. Hal itu menunjukkan bahwa kadang perselisihan bisa terjadi antar 2 orang yang sama-sama memiliki kemuliaan. Namun, yang terpenting bagaimana kesudahan dari perselisihan antar orang yang baik itu selesai dan terjadi saling memaafkan.

Berikut ini akan disebutkan hadits dalam Shahih al-Bukhari kemudian diiringi dengan penyebutan faidah-faidah atau pelajaran berharga yang bisa dipetik darinya:

كَانَتْ بَيْنَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ مُحَاوَرَةٌ فَأَغْضَبَ أَبُو بَكْرٍ عُمَرَ فَانْصَرَفَ عَنْهُ عُمَرُ مُغْضَبًا فَاتَّبَعَهُ أَبُو بَكْرٍ يَسْأَلُهُ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لَهُ فَلَمْ يَفْعَلْ حَتَّى أَغْلَقَ بَابَهُ فِي وَجْهِهِ فَأَقْبَلَ أَبُو بَكْرٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَبُو الدَّرْدَاءِ وَنَحْنُ عِنْدَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا صَاحِبُكُمْ هَذَا فَقَدْ غَامَرَ قَالَ وَنَدِمَ عُمَرُ عَلَى مَا كَانَ مِنْهُ فَأَقْبَلَ حَتَّى سَلَّمَ وَجَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَصَّ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْخَبَرَ قَالَ أَبُو الدَّرْدَاءِ وَغَضِبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجَعَلَ أَبُو بَكْرٍ يَقُولُ وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَأَنَا كُنْتُ أَظْلَمَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ أَنْتُمْ تَارِكُونَ لِي صَاحِبِي هَلْ أَنْتُمْ تَارِكُونَ لِي صَاحِبِي إِنِّي قُلْتُ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا فَقُلْتُمْ كَذَبْتَ وَقَالَ أَبُو بَكْرٍ صَدَقْتَ

Pernah terjadi perbincangan antara Abu Bakr dan Umar yang menyebabkan Umar marah kepada Abu Bakr. Kemudian Umar pun pergi dalam keadaan marah. Abu Bakr menyusul mengikuti Umar dan meminta agar Umar memaafkannya. Tapi Umar tidak mau dan justru menutup pintu rumahnya di hadapan Abu Bakr. Maka Abu Bakr pun pergi menuju Rasulullah shollallahu alaihi wasallam. Abud Darda’ berkata: pada saat itu kami sedang berada di sisi beliau. Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Rekan kalian ini sedang bertengkar/marah (dengan orang lain). Umar (yang berada di rumahnya) kemudian menyesal hingga datang mengucapkan salam dan duduk di dekat Nabi shollallahu alaihi wasallam. Ia pun menceritakan kejadian itu kepada Rasulullah shollallahu alaihi wasallam. Abud Darda’ berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam pun marah. Maka Abu Bakr pun berkata: Demi Allah, wahai Rasulullah, sesungguhnya aku yang telah berbuat dzhalim. Rasulullah shollallahu alaihi wasallam pun bersabda: Tidakklah kalian tinggalkan saja Sahabatku (jangan kalian sakiti)? Tidakkah kalian tinggalkan saja sahabatku (jangan kalian sakiti)? Sesungguhnya aku dulu berkata: Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah yang diutus kepada kalian seluruhnya. Kalian dulu menyatakan: engkau dusta, sedangkan Abu Bakr berkata: Anda benar
(H.R al-Bukhari Kitabut Tafsir Bab Qul Yaa Ayyuhan Naas Inni Rosululllahi Ilaykum Jami’an)

Dalam riwayat lain, juga pada Shahih al-Bukhari disebutkan:

عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كُنْتُ جَالِسًا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ أَقْبَلَ أَبُو بَكْرٍ آخِذًا بِطَرَفِ ثَوْبِهِ حَتَّى أَبْدَى عَنْ رُكْبَتِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا صَاحِبُكُمْ فَقَدْ غَامَرَ فَسَلَّمَ وَقَالَ إِنِّي كَانَ بَيْنِي وَبَيْنَ ابْنِ الْخَطَّابِ شَيْءٌ فَأَسْرَعْتُ إِلَيْهِ ثُمَّ نَدِمْتُ فَسَأَلْتُهُ أَنْ يَغْفِرَ لِي فَأَبَى عَلَيَّ فَأَقْبَلْتُ إِلَيْكَ فَقَالَ يَغْفِرُ اللَّهُ لَكَ يَا أَبَا بَكْرٍ ثَلَاثًا ثُمَّ إِنَّ عُمَرَ نَدِمَ فَأَتَى مَنْزِلَ أَبِي بَكْرٍ فَسَأَلَ أَثَّمَ أَبُو بَكْرٍ فَقَالُوا لَا فَأَتَى إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَلَّمَ فَجَعَلَ وَجْهُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَمَعَّرُ حَتَّى أَشْفَقَ أَبُو بَكْرٍ فَجَثَا عَلَى رُكْبَتَيْهِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَاللَّهِ أَنَا كُنْتُ أَظْلَمَ مَرَّتَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ بَعَثَنِي إِلَيْكُمْ فَقُلْتُمْ كَذَبْتَ وَقَالَ أَبُو بَكْرٍ صَدَقَ وَوَاسَانِي بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَهَلْ أَنْتُمْ تَارِكُوا لِي صَاحِبِي مَرَّتَيْنِ فَمَا أُوذِيَ بَعْدَهَا

Dari Abud Darda’ –semoga Allah meridhainya- ia berkata: Aku pernah duduk di sisi Nabi shollallahu alaihi wasallam. Tiba-tiba datanglah Abu Bakr dengan memegang ujung pakaiannya, hingga menampakkan lututnya. Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda: Rekan kalian ini sedang bertengkar/ marah. Abu Bakr berkata: Sesungguhnya antara aku dengan putra al-Khoththob (Umar) ada perselisihan. Aku pun berbicara yang tidak pantas kepadanya. Kemudian aku menyesal dan meminta agar ia memaafkanku. Tapi ia menolak. Maka aku pun datang kepada anda. Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda: Semoga Allah mengampunimu wahai Abu Bakr. Beliau mengucapkan demikian 3 kali. Kemudian Umar merasa menyesal. Ia pun mendatangi kediaman Abu Bakr. Ia bertanya: Apakah ada Abu Bakr (di rumah)? Mereka berkata: Tidak. Kemudian Umar mendatangi Nabi shollallahu alaihi wasallam dan mengucapkan salam. Wajah Nabi shollallahu alaihi wasallam pada waktu itu memerah (nampak marah). Hingga Abu Bakr merasa kasihan, hingga berlutut dan berkata: Wahai Rasulullah, demi Allah, akulah yang dzhalim. Abu Bakr mengucapkan 2 kali. Kemudian Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah mengutusku kepada kalian. Saat kalian mengucapkan: Engkau dusta, justru Abu Bakr berkata: Anda benar. Abu Bakr pun banyak membantu berkorban dengan dirinya dan hartanya. Tidakkah kalian tinggalkan saja Sahabatku (jangan kalian sakiti). Nabi mengucapkan demikian 2 kali. Maka sejak saat itu, (Abu Bakr) tidak pernah disakiti
(H.R al-Bukhari kitab Fadhoilus Shohaabah Bab Qoulun Nabi shollallahu alaihi wasallam Law Kuntu Muttakhidzan Kholiilan)


Baca Juga: Bertanya Kepada Para Ulama Serta Meninggalkan Pertikaian dan Perselisihan


Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan beberapa faidah penting yang bisa diambil dari hadits tersebut. Berikut ini akan disebutkan intisari faidah-faidah tersebut:

1. Abu Bakr memiliki keutamaan yang lebih dibandingkan seluruh sahabat Nabi yang lain.

2. Seorang yang memiliki keutamaan, tidak selayaknya membuat marah orang yang lebih utama dibandingkan dia.

3. Bolehnya memuji seseorang di hadapannya, jika tidak dikhawatirkan timbul fitnah atau orang tersebut merasa berbangga diri.

4. Seorang yang mulia bisa saja marah atau emosi, sebagai bagian dari sisi kemanusiaannya. Namun, orang yang mulia dalam Dien adalah orang yang cepat rujuk kembali pada kebenaran, melakukan hal yang semestinya (bertobat dan minta maaf). Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala:

إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُون

Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa, jika ia mengalami bisikan setan (hingga berbuat dosa), ia pun (cepat) tersadar, kemudian ia kembali ke jalan yang benar (Q.S al-A’raaf ayat 201)

5. Manusia selain Nabi shollallahu alaihi wasallam, setinggi apapun keutamaannya, tidaklah terjaga dari kesalahan.

6. Dianjurkannya meminta maaf dan minta dihalalkan dari perbuatan dzhalim yang telah dilakukan kepada orang yang terdzhalimi.

7. Seorang yang marah boleh menisbatkan lawannya kepada ayah atau kakeknya, tidak menyebut namanya langsung. Sebagaimana ucapan Abu Bakr saat datang dalam keadaan marah kepada Umar, beliau menyatakan: “Ada perselisihan antara aku dengan putra al-Khoththob”. Abu Bakr tidak menyebut nama Umar secara langsung.

8. Lutut bukanlah termasuk aurat.

(disarikan dari Fathul Bari syarh Shahih al-Bukhari karya al-Hafidz Ibnu Hajar 7/26)

Dalam riwayat lain, hadits Ibnu Umar riwayat atThobaroniy, Nabi shollallahu alaihi wasallam menasihati Umar: “Mengapa engkau tidak mau memaafkan saudaramu yang telah minta maaf kepadamu?”

يَسْأَلُكَ أَخُوكَ أَنْ تَسْتَغْفِرَ لَهُ فَلَا تَفْعَلُ

Saudaramu telah meminta maaf kepadamu, lalu mengapa engkau tidak memberinya maaf? (H.R atThobaroniy, dinyatakan oleh al-Haitsamiy bahwa seluruh perawinya adalah perawi dalam as-Shahih)

Kisah perselisihan Abu Bakr dan Umar itu diisyaratkan oleh Syaikh Arafat bin Hasan al-Muhammadiy ketika menjawab pertanyaan di akhir Muhadharah pada Ahad ba’da Subuh 30 Muharram 1444 H/ 28 Agustus 2022 M dalam Daurah Imam al-Muzani 1 di Ma’had Minhajul Atsar Jember.

 

Ditulis oleh:
Abu Utsman Kharisman

Tinggalkan Balasan