Mengambil Pelajaran Dari Permulaan Penentuan Tahun Islam
Pada awalnya, Nabi shollallahu alaihi wasallam dan para Sahabat mengenal sistem penanggalan dan bulan. Namun belum ditentukan hitungan tahunnya. Walaupun untuk peristiwa-peristiwa penting, sudah mulai ada penandaan tahun dengan nama. Misalkan, tahun saat terjadi peristiwa penyerangan pasukan bergajah ke Makkah, disebut tahun Gajah. Tapi belum dihitung secara khusus sebagai urutan tahun yang berkelanjutan. Hanya ditandai dengan tanggal ke berapa di bulan apa saja.
Bangsa Arab terdahulu sudah mengenal adanya 12 bulan, yang 4 di antaranya adalah bulan yang dimuliakan, atau disebut bulan Haram.
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ
Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah 12 bulan dalam Kitab Allah (al-Lauhul Mahfudzh) pada hari diciptakannya langit dan bumi. Di antaranya ada 4 bulan Haram…
(Q.S atTaubah ayat 36)
Hal itu terus berlangsung demikian saat Nabi masih hidup, demikian juga dalam pemerintahan Abu Bakr, dan beberapa tahun di masa pemerintahan Umar bin al-Khoththob radhiyallahu anhu. Hingga kemudian dirasa perlu untuk membuat acuan tahun sebagai hitungan bilangan yang berurutan sebagai penanda peristiwa tertentu di masa pemerintahan Umar, selain tanggal dan bulan.
Baca Juga: Bagaimana Seorang Muslim Menyikapi Tahun Baru Hijriah?
Maimun bin Mihran rahimahullah menyatakan:
رُفِعَ إِلَى عُمَرَ -رضي الله عنه- صَكٌّ مَحَلُّهُ فِي شَعْبَانَ قال عمرُ: أيُّ شعبانٍ؟ هذا الذي مَضَى، أو الذي هو آتٍ، أو الذي نحن فيه؟ ثم جَمَع أصحابَ رسولِ الله صلى الله عليه وسلم فقال: ضَعُوا للناس شيئًا يَعرفونه. فقال قائلٌ: اكتُبُوا على تاريخِ الرُّومِ. فقيل: إنَّه يَطولُ، وإنهم يَكتبون من عند ذي القَرنين. وقال قائلٌ: اكتُبُوا تاريخَ الفُرْسِ، كُلَّما قام مَلِكٌ طَرَح ما كان قبلَه. فاجتَمَع رأيُهُم على أن يَنظُرُوا: كم أقام رسولُ الله صلى الله عليه وسلم بالمدينة؟ فوَجَدوه أقامَ بها عشرَ سنينَ، فكَتَب أو كُتِبَ التاريخُ على هجرةِ رسولِ الله صلى الله عليه وسلم
Disampaikan kepada Umar radhiyallahu anhu sebuah tulisan yang disebutkan bulan Sya’ban. Umar pun bertanya: Ini bulan Sya’ban yang mana? Yang lalu atau yang akan datang, atau yang sekarang?
Kemudian beliau mengumpulkan para Sahabat Rasulullah shollallahu alaihi wasallam (untuk bermusyawarah).
Umar pun berkata: Letakkanlah acuan (tahun) yang bisa diketahui manusia.
Ada yang berkata: Tuliskanlah sesuai tarikh bangsa Romawi. Ada yang menanggapi: Itu terlalu panjang (jarak waktunya), karena mereka menulisnya sejak masa Dzulqarnain. Ada yang berkata: Tuliskanlah sesuai tarikh Persia. Setiap ganti raja, dihapuskan (hitungan) tahun sebelumnya.
Kemudian pendapat mereka bersepakat untuk melihat: Berapa lama Rasulullah shollallahu alaihi wasallam tinggal di Madinah? Mereka pun mendapati bahwa beliau telah tinggal di Madinah selama 10 tahun. Kemudian dituliskanlah tarikh berdasarkan (acuan) hijrah Rasulullah shollallahu alaihi wasallam
(riwayat Ahmad dengan sanad yang hasan, dikutip oleh Ibnu Katsir dalam Musnad al-Faruq)
Muhammad bin Sirin rahimahullah mengisahkan:
قَامَ رَجُلٌ إِلَى عُمَرَ فَقَالَ: أَرِّخُوا. فَقَالَ: مَا أَرِّخُوا؟ فَقَالَ: شَيْءٌ تَفْعَلُهُ الْأَعَاجِمُ يَكْتُبُونَ: فِي شَهْرِ كَذَا مِنْ سَنَةِ كَذَا. فَقَالَ عُمَرُ: حَسَنٌ فَأَرِّخُوا. فَقَالُوا: مِنْ أَيِّ السِّنِينَ نَبْدَأُ؟ فَقَالُوا: مِنْ مَبْعَثِهِ. وَقَالُوا: مِنْ وَفَاتِهِ. ثُمَّ أَجْمَعُوا عَلَى الْهِجْرَةِ، ثُمَّ قَالُوا: وَأَيَّ الشُّهُورِ نَبْدَأُ؟ فَقَالُوا: رَمَضَانَ. ثُمَّ قَالُوا: الْمُحَرَّمَ فَهُوَ مُنْصَرَفُ النَّاسِ مِنْ حَجِّهِمْ وَهُوَ شَهْرٌ حَرَامٌ. فَاجْتَمَعُوا عَلَى الْمُحَرَّمِ
Seorang laki-laki datang menemui Umar dan berkata: Tetapkanlah ketentuan tarikh.
Umar bertanya: Apa maksudnya ketentuan tarikh?
Orang itu berkata: Seperti yang ditulis oleh orang-orang non Arab: (Ini terjadi) di bulan ini dari tahun ini.
Umar berkata: Itu suatu hal yang baik. Maka silakan menentukan tarikh.
Orang-orang (yang diajak musyawarah) berkata: Dari tahun apakah kita memulainya?
Ada yang berkata: dari tahun diutusnya beliau (Nabi shollallahu alaihi wasallam). Ada pula yang berkata: Bagaimana kalau dari tahun wafatnya beliau. (Terus terjadi diskusi, hingga) kemudian mereka pun bersepakat untuk menetapkan tahun hijrah (sebagai acuan).
Kemudian mereka berkata: Dimulai dari apakah bulannya?
Ada yang berkata: Ramadhan. Kemudian ada pula yang berkata: al-Muharram, karena itu adalah masa orang-orang kembali dari haji mereka dan itu adalah bulan Haram (yang dimuliakan).
Mereka pun bersepakat (untuk memulai hitungan) dari bulan al-Muharram
(riwayat Abu Dawud atThoyalisiy, dinukil oleh al-Hafidz Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah)
Baca Juga: Sebagian Hadits Tentang Puasa Asyura (10 Al Muharram) Dalam Shahih Muslim
Sahabat Nabi Sahl bin Sa’ad radhiyallahu anhu menyatakan:
مَا عَدُّوا مِنْ مَبْعَثِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا مِنْ وَفَاتِهِ مَا عَدُّوا إِلَّا مِنْ مَقْدَمِهِ الْمَدِينَةَ
Mereka tidaklah memperhitungkan (tahun bermula) dari diutusnya Nabi shollallahu alaihi wasallam atau saat wafatnya beliau. Tidaklah yang mereka perhitungkan melainkan (sejak) dari kedatangan beliau di Madinah (H.R al-Bukhari)
Sebagian riwayat menjelaskan bahwa yang melatarbelakangi itu adalah karena Abu Musa al-Asy’ariy yang meminta kepada Umar perlunya surat yang beliau kirimkan menyertakan tahun pula sebagai acuan. Namun riwayat tersebut mengandung kelemahan, setidaknya karena 2 hal yaitu perawi yang lemah yang bernama Mujalid bin Sa’ad dan keterputusan sanad antara asy-Sya’biy dengan Umar.
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullah menyatakan:
وَلَمْ يَكُنِ التَّارِيُخُ السَّنَوِيُّ مَعْمُوْلًا بِهِ فِي أَوَّلِ الْإِسْلَامِ حَتَّى كَانَتْ خِلَافَة عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رضي الله عنه
Pada permulaan Islam, belum diterapkan penghitungan tarikh tahunan. Hingga (bermula) pada pemerintahan Umar bin al-Khoththob (adh-Dhiyaa-ul Laami’ minal Khuthobil Jaami’)
Al-Imam Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wan Nihayah menyebutkan bahwa keputusan yang dibuat Umar bin al-Khoththob itu terjadi di tahun 16 Hijriyah. Dengan adanya kemungkinan juga pada tahun 17 atau 18 Hijriyah. Sedangkan al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Baari menyatakan bahwa hal itu terjadi di tahun 17 Hijriyah, dengan adanya kemungkinan di tahun 16 Hijriyah pada bulan Rabi’ul Awwal. Sedangkan yang mengusulkan acuan bulan bermula dari Muharram adalah Umar, Utsman, dan Ali yang kemudian usulan itu disepakati.
Salah satu pelajaran penting dari sejarah tersebut adalah bahwa Nabi shollallahu alaihi wasallam dan para Sahabat tidak pernah merayakan permulaan tahun baru Islam. Acuan tahun hijriyah itu pun baru bermula di masa pemerintahan Umar, setelah berjalan belasan tahun dari tahun hijrah Nabi shollallahu alaihi wasallam ketika dirasa perlu untuk menuliskan tahun sebagai acuan sebuah peristiwa. Demikian juga, tidak ada ibadah khusus yang dilakukan Nabi shollallahu alaihi wasallam dan para Sahabat dalam menyikapi pergantian tahun baru Islam.
Wallaahu A’lam.
Semoga Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan rahmat dan ampunan-Nya kepada segenap kaum muslimin.
Ditulis oleh:
Abu Utsman Kharisman