Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Saling berwasiat dalam kebenaran adalah perilaku orang-orang yang beriman. Sampaikan ilmu dan nasihat secara hikmah.

Perdebatan hanyalah boleh dilakukan secara baik, jika dilihat ada maslahat yang diharapkan. Perdebatan yang baik adalah diskusi ilmiah dengan menyampaikan hujah dan penjelasan yang mengena serta tidak mengada-ada, dengan harapan mendapatkan kejelasan akan kebenaran yang dicari. Tujuannya mencari kebenaran, bukan mencari pembenaran.

وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

Dan debatlah mereka dengan cara yang terbaik
(Q.S an-Nahl ayat 125)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan:

مَنِ احْتَاجَ مِنْهُمْ إِلَى مُنَاظَرَةٍ وَجِدَالٍ، فَلْيَكُنْ بِالْوَجْهِ الْحَسَنِ بِرِفْقٍ وَلِينٍ وَحُسْنِ خِطَابٍ

Barang siapa di antara mereka yang perlu untuk diajak diskusi atau perdebatan, hendaknya dengan cara yang baik, kesabaran, kelembutan, dan kalimat-kalimat yang baik (Tafsir Ibn Katsir 4/613).

Perdebatan yang baik dilakukan apabila orang yang mengajak kita bicara memang terlihat benar-benar mengharapkan kebenaran. Hanya saja masih belum jelas permasalahannya bagi dia. Pemahaman-pemahaman yang menyimpang pada dirinya hendaknya diluruskan.

Perdebatan yang tercela disebut al-miraa’, yaitu mencela ucapan lawan bicara dalam rangka merendahkan orang tersebut atau menunjukkan kehebatan kita. As-Shon’aaniy rahimahullah menyatakan:

الْمِرَاءُ طَعْنٌ فِي كَلَامِ الْغَيْرِ لِإِظْهَارِ خَلَلٍ فِيْهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَرْتَبِطَ بِهِ غَرْضٌ سِوَى تَحْقِيْرِ الْغَيْرِ وَإِظْهَارِ كِيَاسَتِهِ

Al-miraa’ adalah mencela ucapan orang lain untuk menampakkan kekurangan pada ucapan tersebut dengan tidak ada tujuan lain melainkan upaya merendahkan orang tersebut dan menampakkan kepintaran dirinya
(atTanwiir syarh al-Jami’is Shoghir (3/38)).

Seorang yang berilmu dilarang untuk mendebat orang-orang yang tidak berilmu dengan tujuan merendahkan pihak yang diajak debat dan menampakkan keunggulan dirinya.

Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda:

مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ لِيُبَاهِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيَصْرِفَ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ فَهُوَ فِي النَّار

Barang siapa yang menuntut ilmu untuk mendebat orang-orang bodoh atau berbangga di hadapan para Ulama, atau untuk memalingkan wajah manusia agar memandang ke arahnya, maka ia berada di neraka
(H.R Ibnu Majah dari Ibnu Umar, dihasankan Syaikh al-Albaniy)

Para Ulama Salaf, termasuk Umar bin Abdil Aziz rahimahullah sangat mencela al-miraa’.

Beberapa kutipan ucapan beliau, di antaranya adalah:

Jauhilah al-miraa’ (perdebatan yang tercela), karena hal itu tidaklah bisa dirasa aman dari fitnahnya, juga tidak bisa dipahami hikmahnya

احْذَرِ الْمِرَاءَ، فَإِنَّهُ لَا تُؤْمَنُ فِتْنَتُهُ، وَلَا تُفْهَمُ حِكْمَتُهُ

Jauhilah al-miraa’ (perdebatan yang tercela), karena hal itu tidaklah bisa dirasa aman dari fitnahnya, juga tidak bisa dipahami hikmahnya
(riwayat Abu Nuaim dalam Hilyatul Awliyaa’)

Beliau juga menganjurkan bahwa apabila perdebatan sudah mengarah kepada upaya menjatuhkan lawan bicara dengan merendahkannya, maka hendaknya dihentikan.

Jika engkau mendengar al-miraa’ (perdebatan yang tercela), tahanlah

Umar bin Abdil Aziz rahimahullah menyatakan:

إِذَا سَمِعْتَ الْمِرَاءَ فَأَقْصِرْ

Jika engkau mendengar al-miraa’ (perdebatan yang tercela), tahanlah
(riwayat Abu Ismail al-Harowiy dalam Dzammul Kalaam wa Ahlihi dan Ibnu Abid Dunya dalam as-Shomt)

Ilmu agama yang benar dipelajari untuk menghasilkan perasaan takut kepada Allah, semakin taat kepada-Nya, dan diamalkan. Bukan untuk diperdebatkan.

Apabila sudah jelas dalilnya, alQuran dan hadits Nabi dengan pemahaman para Sahabat, yakini dan amalkan. Jangan dijadikan bahan perdebatan yang tidak perlu.

Jika seseorang senang berdebat, justru ia akan berpindah-pindah pemahaman. Hal itu sangat berbahaya.

Barang siapa yang menjadikan Dien-nya sebagai sasaran perdebatan (yang mengundang permusuhan), ia akan banyak berpindah-pindah (pemahaman)

Umar bin Abdil Aziz rahimahullah menyatakan:

مَنْ جَعَلَ دِيْنَهُ غَرْضًا لِلْخُصُوْمَاتِ أَكْثَرَ التَّنَقُّلُ

Barang siapa yang menjadikan Dien-nya sebagai sasaran perdebatan (yang mengundang permusuhan), ia akan banyak berpindah-pindah (pemahaman)
(riwayat al-Ajurriy dalam asy-Syari’ah)

Para Ulama Salaf melarang kita berdebat dengan Ahlul Bid’ah dan para pengikut hawa nafsu.

Abu Qilabah – seorang Tabi’i, murid beberapa Sahabat Nabi – menyatakan:

لاَ تُجَالِسُوا أَهْلَ الأَهْوَاءِ وَلاَ تُجَادِلُوهُمْ ، فَإِنِّى لاَ آمَنُ أَنْ يَغْمِسُوكُمْ فِى ضَلاَلَتِهِمْ أَوْ يَلْبِسُوا عَلَيْكُمْ مَا كُنْتُمْ تَعْرِفُونَ

Janganlah kalian duduk bersama Ahlul Ahwa’ (Ahlul Bid’ah) dan janganlah berdebat dengan mereka. Karena sesungguhnya aku tidak merasa aman mereka akan menenggelamkan kalian dalam kesesatan mereka atau membuat rancu (bingung) sesuatu yang kalian sudah ketahui
(riwayat ad-Daarimiy dalam Sunannya)

Al-Hasan al-Bashriy dan Muhammad bin Sirin – dua orang Tabi’in murid beberapa Sahabat Nabi – menyatakan:

لاَ تُجَالِسُوا أَصْحَابَ الأَهْوَاءِ وَلاَ تُجَادِلُوهُمْ وَلاَ تَسْمَعُوا مِنْهُمْ

Janganlah kalian duduk dengan Ahlul Ahwa’ (Ahlul Bid’ah), jangan berdebat dengan mereka, dan janganlah mendengar (ucapan) dari mereka
(riwayat ad-Daarimiy dalam sunannya)

Jika seseorang meninggalkan perdebatan sesuai dengan ketentuan syar’i dan bimbingan ulama, meski ia benar, ia akan mendapatkan rumah di surga.

Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam bersabda:

أَنَا زَعِيمٌ بِبَيْتٍ فِي رَبَضِ الْجَنَّةِ لِمَنْ تَرَكَ الْمِرَاءَ وَإِنْ كَانَ مُحِقًّا

Aku menjamin sebuah rumah di tepian surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan meskipun dia benar
(H.R Abu Dawud dari Abu Umamah)

 

Dikutip dari:
Buku “Keteladanan Umar bin Abdil Aziz”, Abu Utsman Kharisman

Tinggalkan Balasan