Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Membantah Anggapan Bahwa Orang yang Akan Berkurban Dilarang Mengambil Rambut, Kuku, dan Kulit Hewan yang Akan Dikurbankan

Saudaraku kaum muslimin, rahimakumullah…

Di antara sunnah Nabi shollallahu alaihi wasallam adalah bahwa orang yang akan berkurban tidak menggunting kuku, memotong rambut, dan mengambil kulitnya sendiri saat sudah masuk 1 Dzulhijjah hingga binatang kurban disembelih.

Namun, beredar anggapan bahwa sebenarnya yang dilarang untuk diambil rambut, kuku, dan kulitnya adalah pada hewan kurban itu, bukan pada orang yang akan berkurban. Ini adalah anggapan yang aneh dan salah.

Al-Mulaa Ali al-Qoriy, seorang Ulama yang wafat tahun 1014 Hijriyah, menilai bahwa anggapan itu adalah anggapan yang aneh atau ganjil. Karena tidak ada Ulama sebelumnya yang berpendapat demikian. Beliau menyatakan:

وأغرب ابن الملك حيث قال أي فلا يمس من شعر ما يضحي به

Ibnul Malak telah berpendapat aneh ketika ia mengatakan: Artinya adalah jangan menyentuh kulit binatang yang akan dikurbankan
(Mirqatul Mafatih Syarh Misykatil Mashobih 5/168)

Pendapat yang aneh itu dihidupkan kembali oleh Kiai Ali Mustafa Ya’qub dalam kitab yang beliau susun berjudul At-Turuqus Shahihah fi Fahmis Sunnatin Nabawiyyah. Beliau berdalil dengan hadits yang lemah bahwasanya orang yang berkurban juga akan datang pada hari kiamat dengan membawa tanduk, rambut, dan kuku hewan yang dikurbankan (hadits riwayat Ibnu Majah). Begitu juga hadits lemah riwayat atTirmidzi bahwa setiap rambut binatang kurban itu ternilai sebagai kebaikan.

Insyaallah nantinya akan dijelaskan sisi kelemahan riwayat tersebut.

Berikut ini akan dijelaskan bantahan terhadap anggapan yang aneh tersebut:

Pertama: Makna yang benar terhadap hadits tersebut dari sisi tinjauan bahasa.

Kedua: Tidak ada dari para Ulama Imam madzhab fiqh yang memahaminya demikian.

Ketiga: Kelemahan hadits riwayat Ibnu Majah dan atTirmidzi yang dijadikan sandaran.

Makna yang Benar terhadap Hadits itu dari Tinjauan Bahasa

Dalam sebagian riwayat hadits disebutkan:

إِذَا دَخَلَتْ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا

Jika telah masuk 10 (awal Dzulhijjah), dan salah seorang dari kalian hendak berkurban, maka janganlah “menyentuh” bagian dari rambut dan kulitnya sedikit pun
(H.R Muslim dari Ummu Salamah)

Dalam lafadz hadits itu disebut “basyarihi”. Al-Basyar itu adalah permukaan kulit yang identik pada manusia. Karena itu, penyebutan lain manusia dalam bahasa Arab, selain al-Insaan juga al-Basyar.

Syaikh Muhammad bin Ali bin Adam al-Ityubiy rahimahullah menyatakan:

والبَشَر: ظاهر الجلد، ثم أُطلق على الإنسان واحده، وجَمْعه

Al-Basyar adalah permukaan kulit. Kemudian disebutkan untuk penamaan manusia pada bentuk tunggal maupun jamaknya (al-Bahrul Muhiith ats-Tsajjaaj 33/482)

Sehingga tidak mungkin yang dimaksudkan adalah hewan yang dikurbankan.

Berikutnya, dhomir yang digunakan adalah jenis mudzakkar (laki-laki). Kalau yang dimaksud adalah hewan kurban, maka akan menggunakan dhomir muannats (perempuan), karena hewan kurban itu disebut dengan:

أُضْحِيَة

Tapi karena dhomir yang digunakan adalah mudzakkar, maka yang dimaksud adalah pelaku atau orang yang akan berkurban.

Selain itu, para Ulama pensyarah hadits juga memahami demikian. Bahwa yang dimaksud adalah pada manusia yang akan berkurban, bukan hewan kurbannya. Kita ambil 2 contoh Ulama yang mensyarh hadits tersebut yaitu al-Munawiy dan ash-Shon’aaniy rahimahumallah.

Al-Munawiy rahimahullah menjelaskan:

ينبغي أن لا يمس (من شعره) أي شعر بدنه رأسا أو لحية أو غيرهما (ولا من بشره) كظفره (شيئا) بل يبقيه

Sebaiknya ia tidak “menyentuh” ‘bagian dari rambutnya’, artinya rambut badannya baik di kepala, jenggot, atau selain keduanya. ‘Tidak pula pada kulitnya’, seperti kuku ‘sedikitpun’,  justru sebaiknya dibiarkan… (atTaisiir bi syarhi al-Jami’is Shoghir (1/186)).

As-Shon’aaniy rahimahullah menjelaskan:

(وأراد أحدكم أن يضحي) يذبح ضحية (فلا يمس من شعره) بالحلق أو القصر (ولا بشره) بالافتصاد والاحتجام ونحوها

Dan salah seorang dari kalian hendak berkurban, dengan menyembelih hewan kurban. Janganlah ia menyentuh rambutnya dengan memangkas atau memendekkan. Tidak pula kulitnya dengan melakukan menyayat atau berbekam, dan semisalnya… (atTanwiir syarh al-Jami’is Shoghir (2/40))

Nampak jelas bahwa kedua Ulama yang mensyarh hadits itu memaksudkan pada orang yang berkurban. Bukan pada hewan yang akan dikurbankan. Al-Munawiy mencontohkan rambut adalah pada kepala dan jenggot. Itulah yang secara dzhahir nampak pada manusia sang kepala keluarga yang akan berkurban. Sedangkan ash-Shon’aniy mencontohkan perilaku yang tidak diperbolehkan pada kulit adalah menyayat dan berbekam yang itu bagian pengobatan pada manusia, bukan pada hewan.

Para Ulama dalam Empat Madzhab Fiqh Tidak Ada yang Memahami Demikian

Para Ulama dalam 4 madzhab fiqh, tidak ada yang memahami sasaran larangan itu adalah pada hewan kurbannya. Semuanya memahami itu adalah pada manusia yang akan berkurban. Hanya saja mereka berbeda pendapat tentang apa hukum dari larangan itu.

Hal yang dibahas oleh keempat madzhab itu adalah hukum memotong rambut, kuku, dan kulit pada orang yang berkurban. Al-Imam Ahmad berpendapat haram. Sedangkan al-Imam asy-Syafi’i berpandangan makruh. Al-Imam Malik juga berpandangan makruh dalam satu riwayat. Al-Imam Abu Hanifah membolehkan. Mereka semuanya sepakat bahwa yang dimaksud adalah orang yang akan berkurban, bukan hewan yang akan dikurbankan.

An-Nawawiy rahimahullah menyatakan:

واختلف العلماء فيمن دخلت عليه عشر ذى الحجة وأراد أن يضحى فقال سعيد بن المسيب وربيعة وأحمد وإسحاق وداود وبعض أصحاب الشافعى أنه يحرم عليه أخذ شئ من شعره وأظفاره حتى يضحى فى وقت الأضحية وقال الشافعى وأصحابه هو مكروه كراهة تنزيه وليس بحرام وقال أبو حنيفة لايكره وقال مالك فى رواية لايكره وفى رواية يكره وفى رواية يحرم فى التطوع دون الواجب

Dan para Ulama berbeda pendapat terhadap orang yang ketika masuk 10 awal Dzulhijjah ia hendak berkurban. Said bin al-Musayyib, Robi’ah, Ahmad, Ishaq, Dawud, serta sebagian murid asy-Syafi’i berpendapat haram baginya mengambil sesuatu pada rambut dan kukunya hingga ia menyembelih di waktu penyembelihan. Sedangkan asy-Syafii dan (sebagian) muridnya berpendapat makruh tanzih, bukan haram. Abu Hanifah berpendapat tidak makruh. Malik berkata dalam suatu riwayat: tidak makruh. Dalam suatu riwayat ia berpandapat makruh. Dalam suatu riwayat (lain) ia berpendapat haram untuk ibadah sunnah, bukan untuk yang wajib (al-Minhaj syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj 13/138)

Maka pendapat bahwa larangan itu berlaku untuk hewan kurbannya adalah pendapat yang menyelisihi pemahaman keempat Ulama madzhab fiqh.

Kelemahan Hadits Riwayat Ibnu Majah Dan At-Tirmidzi Yang Dijadikan Sandaran

Hadits yang dijadikan sandaran adalah hadits yang lemah. Baik dalam riwayat atTirmidzi maupun riwayat Ibnu Majah. Berikut ini akan disebutkan secara lengkap riwayat itu dengan sanadnya.

Riwayat atTirmidzi:

حَدَّثَنَا أَبُو عَمْرٍو مُسْلِمُ بْنُ عَمْرِو بْنِ مُسْلِمٍ الْحَذَّاءُ الْمَدَنِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ نَافِعٍ الصَّائِغُ أَبُو مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِي الْمُثَنَّى عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ إِنَّهَا لَتَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلَافِهَا وَأَنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنْ اللَّهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنْ الْأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا

Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Amr Muslim bin ‘Amr bin Muslim al-Hadzdzaa’ al-Madaniy (ia berkata) telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Nafi’ ash-Shoo-igh Abu Muhammad dari Abul Mutsannaa dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah bahwasanya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Tidaklah seorang manusia beramal di hari penyembelihan yang lebih Allah cintai dibandingkan mengalirkan darah (binatang kurban). Sesungguhnya akan datang pada hari kiamat dengan tanduk, rambut, dan kukunya. Dan sesungguhnya darah benar-benar jatuh dari Allah di tempatnya sebelum terjatuh ke bumi. Maka tuluslah dalam melakukannya
(H.R atTirmidzi)

Riwayat Ibnu Majah:

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ ابْنُ نَافِعٍ حَدَّثَنِي أَبُو الْمُثَنَّى عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا عَمِلَ ابْنُ آدَمَ يَوْمَ النَّحْرِ عَمَلًا أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ هِرَاقَةِ دَمٍ وَإِنَّهُ لَيَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَظْلَافِهَا وَأَشْعَارِهَا وَإِنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنْ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ عَلَى الْأَرْضِ فَطِيبُوا بِهَا نَفْسًا

Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Ibrahim ad-Dimasyqi (ia berkata) telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Nafi’ (ia berkata) telah menceritakan kepadaku Abul Mutsannaa dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah bahwasanya Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda: Tidaklah anak Adam melakukan amalan di hari penyembelihan dengan suatu amalan yang lebih dicintai oleh Allah Azza Wa Jalla dibandingkan mengalirkan darah (hewan kurban). Sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat dengan tanduk, kuku, dan rambutnya. Dan sesungguhnya darah akan terjatuh dari Allah Azza Wa Jalla di tempatnya sebelum menimpa bumi. Maka tuluslah dalam melakukannya
(H.R Ibnu Majah)

Kedua riwayat ini tidak saling menguatkan. Karena semua riwayat tersebut melalui jalur Abul Mutsannaa. Sedangkan Abul Mutsannaa ini namanya adalah Sulaiman bin Yazid. Bahwa Abul Mutsannaa yang dimaksud adalah memang Sulaiman bin Yazid, diperjelas dalam riwayat al-Hakim. Dikomentari oleh adz-Dzahabiy:

سليمان واه

Sulaiman ini lemah (atTalkhish 4/246)

Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolaaniy rahimahullah menyatakan:

أبو المثنى الخزاعي اسمه سليمان بن يزيد ضعيف

Abul Mutsannaa al-Khuzaa’iy namanya adalah Sulaiman bin Yazid, dia lemah (Taqribut Tahdzib 1/1200)

Kesimpulan

Anggapan bahwa yang dimaksud dengan larangan mengambil rambut, kuku, dan kulit pada 10 awal Dzulhijjah adalah untuk hewan kurbannya, adalah anggapan yang salah. Yang benar, itu adalah larangan untuk orang yang akan berkurban. Namun para Ulama berbeda pendapat apakah larangan itu hukumnya haram atau makruh.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan taufiq dan ampunan-Nya kepada segenap kaum muslimin.

 

Ditulis oleh:
Abu Utsman Kharisman

Tinggalkan Balasan