Mewaspadai Hadits Lemah: “Berpuasalah Niscaya Kalian Sehat”
Seringkali kita mendengar atau membaca nukilan yang disandarkan sebagai ‘hadits’ Nabi shollallahu alaihi wasallam:
صُومُوا تَصِحُّوا
“Berpuasalah niscaya kalian akan sehat.”
(Hadis diriwayatkan Ath Thabarani dalam Mu’jam al Awsath)
Benarkah ucapan itu merupakan sabda Nabi yang tidak mungkin menyatakan bimbingan syariat melainkan merupakan wahyu yang disampaikan kepada beliau alaihi wasallam?
Bolehkah kita sampaikan ke khalayak sebagai penyemangat mereka menjalani puasa?
Bagaimana pula kenyataannya dicerminkan terhadap kandungan makna hadits?
Berikut ini ulasan ringkasnya, semoga bermanfaat.
Tinjauan Derajat Riwayat
Dengan memperhatikan penelitian Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah, diperoleh kesimpulan antara lain:
- Ath Thobaroni rahimahullah yang meriwayatkan hadits ini sendiri telah mengatakan bahwa “tidaklah meriwayatkan dengan lafadz ini kecuali Zuhair (bin Muhammad).” Syaikh Al Albani menyatakan, “Dan beliau ini terkategorikan dhoif/lemah apabila meriwayatkan kepada orang-orang Syam, dan riwayat ini termasuk jenis itu.”
- Al Hafidz Al Iroqi rahimahullah telah menilai sanadnya dhoif (Takhrij Al Ihya’ 3/75)
- Memang ada yang menilai ﻭﺭﺟﺎﻟﻪ ﺛﻘﺎﺕ “dan para perawinya terpercaya” seperti disebutkan oleh Al Mundziri dalam At Targhib maupun Al Haitsami dalam Al Majma’, rahimahumullah.
- Namun kesimpulan tentang tsiqoh/terpercayanya para perawi belumlah menjamin bebasnya suatu riwayat dari illat (faktor selain perawi) yang dapat melemahkannya derajat hadits. Dan benarlah itu yang memang terjadi, diantaranya seperti disebutkan pada poin pertama di atas.
(Silsilah Al Ahadits Adh Dho’ifah 1/420-421)
Pembahasan tentang illat yang melemahkan dan jenis hadits mu’allal bisa disimak kembali di:
Jika telah jelas lemahnya riwayat tersebut, berarti tidak boleh kita mengutipnya seraya menyebut bahwa Rasulullah shollallahu alaihi wasallam telah bersabda dengan kalimat tersebut.
Bukankah Nabi shollallahu alaihi wasallam telah memberikan peringatan:
مَنْ حَدَّثَ عَنِّي حَدِيثًا وَهُوَ يَرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِيْنَ
“Barang siapa yang menyampaikan suatu hadits dariku dengan hadits yang dia sendiri mengira bahwa ucapan itu dusta, maka dia termasuk salah satu dari golongan para pendusta.”
(HR. Muslim)
Bolehkah menyampaikan hadits lemah sekadar dalam rangka memotivasi?
Bisa jadi ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa selama tidak sampai palsu, hadits lemah tetap boleh dipakai untuk memotivasi agar menjalankan ibadah yang memang ada asal dalil syariatnya.
Namun mayoritas ulama yang memperbolehkanya ternyata telah memberikan syarat pembatasannya, di antaranya disebutkan Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al Utsaimin rahimahullah:
ﻓﺈﻥ ﻫﺆﻻء اﻟذﻳﻦ ﻳﺮﺧﺼﻮﻥ ﺑﺎﻷﺣﺎﺩﻳﺚ اﻟﻀﻌﻴﻔﺔ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ اﻟﻌﻠﻢ ﻳﺸﺘﺮﻃﻮﻥ ﻟﻬﺎ ﺷﺮﻭﻃﺎ، ﻭﻫﻲ
١. ﺃﻻ ﻳﻜﻮﻥ اﻟﻀﻌﻒ ﺷﺪﻳﺪا
٢. ﻭﺃﻻ ﻳﻌﺘﻘﺪ اﻹﻧﺴﺎﻥ ﺃﻥ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻟﻬﺎ
٣. ﻭﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻟﻬﺎ ﺃﺻﻞ ﺛﺎﺑﺖ ﻓﻲ اﻟﺸﺮﻉ
“Karena sesungguhnya, mereka yang memberi toleransi (penyebutan hadits dhoif selain masalah hukum) dari kalangan ulama mempersyaratkan tindakan itu dengan syarat-syarat:
- Kelemahannya bukan jenis dhoif yang parah.
- Jangan sampai orang meyakini bahwa ucapan tersebut adalah sabda Nabi shollallahu alaihi wasallam
- Dan mesti memiliki rujukan asal yang jelas valid dalam syariat.
(Majmu’ Fatawa wa Rosail 3/353)
Syaikh ibnu Utsaimin sendiri menyebutkan hal itu sebagai bentuk etika toleransi beliau terhadap alasan para ulama yang memperbolehkan penyebutan hadits dhoif selain dalam pembahasan hukum aqidah dan ibadah. Sementara dalam sebagian fatwa beliau lainnya beliau berdiri bersama para ulama yang tidak memperbolehkan secara mutlak, semisal Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan yang lainnya, dan tampaknya pendapat inilah yang lebih kuat, wallahu a’lam.
Mengapa pendapat yang melarang secara mutlak penggunaan hadits dhoif lebih kuat?
Alasannya dijawab oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah dalam kutipan fatwa beliau berikut:
الحديث الضعيف ما بيعطي غلبة الظن وإنما هو بيعطيك الظن إللي هو دون الظن في الغالب حينئذٍ تُصدم إن أخذت به تصدم بقوله تبارك وتعالى في ذم المشركين: ((إن يتبعون إلا الظن)) إن يتبعون إلا الظن وتصدم بقوله تعالى: ((إن الظن لا يغني من الحق شيئا)) وتصدم بقوله عليه الصلاة والسلام: (إياكم والظن فإن الظن أكذب الحديث) فكيف يجوز لنا العمل بأكذب الحديث , هذه سهوة سها بها كثير من علماء المتأخرين ثم تبعهم الجمهور فلا تكاد تسمع ذكرا للحديث الضعيف وبخاصة حينما تجابه أحدهم بقولك يا أخي هذا حديث ضعيف أي معليش يا أخي الحديث الضعيف يعمل به في فضائل الأعمال, نسوا أن الحديث الضعيف باتفاقهم لا يعطي إلا الظن المرجوح والظن المرجوح لا يجوز العمل به في الإسلام , هذا من جهة , من جهة أخرى يا أخي أتمنى إن هؤلاء الذين يعملون بالأحاديث الضعيفة ولو في فضائل الأعمال أن يعملوا بنصف الأحاديث الصحيحة لكن مع الأسف كما ورد عن بعض السلف: “ما أحدثت بدعة إلا وأميتت سنة” ما عُمل بحديث ضعيف إلا وأُميت حديث صحيح مقابله
“Hadits dhoif tidak bisa mencapai dugaan kuat. Dia hanya akan menyampaikan anda pada dugaan (yang tingkat keyakinannya) di bawah dugaan kuat pada umumnya. Saat itulah (jika anda tetap menggunakan hadits lemah) akan bertentangan. Ketika anda membawakannya akan bertentangan dengan Firman Allah Tabaroka waTa’ala dalam celaan-Nya terhadap musyrikin,
إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ ۖ
‘Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan.’ (sekian ayat dalam Al Quran, surah An An’am, Yunus dan An Najm-pen).
Mereka hanyalah mengikuti dugaan dan berlawanan dengan firman Allah Ta’ala:
إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئً
‘sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran.’ (QS. An Najm: 28).
Begitu juga akan bertentangan dengan sabda Nabi shollallahu alaihi wasallam:
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ؛ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ
‘Waspadalah kalian jangan sampai (berkata dengan) menduga-duga, karena sesungguhnya (ucapan yang didasari) dugaan itu merupakan ucapan yang paling dusta.’ (HR. Al Bukhori & Muslim -pen).
Sehingga bagaimana mungkin kita dibolehkan beramal dengan ucapan yang paling dusta? Ketergelinciran ini telah dialami oleh banyak ulama di generasi akhir yang kemudian diikuti oleh jumhur (mayoritas mereka).
Sampai-sampai hampir selalu anda mendengar penyebutan hadits dhoif. Khususnya tatkala salah seorang dari mereka menantang ucapan anda ‘wahai saudaraku, ini adalah hadits dhoif’ yaitu bantahan dia ‘lalu kenapa wahai saudaraku! Hadits dhoif dapat diterapkan dalam bagian keutamaan-keutamaan amal.’
Mereka lupa bahwa hadits dhoif menurut kesepakatan mereka, tidaklah dapat menjangkau kecuali hanya sekadar dugaan lemah saja. Sedangkan dugaan lemah tentu tidak boleh digunakan dalam Islam. Ini (alasan) dari satu sisi.
Dari sisi yang lain, wahai saudaraku, saya berharap mereka yang masih menggunakan hadits dhoif walaupun dalam pembahasan keutamaan-keutamaan amal, hendaklah mereka menerapkan (terlebih dulu) separuh saja dari hadits-hadits shahih. Akan tetapi sungguh disayangkan, (kondisinya) sebagaimana disebutkan ucapan dari sebagian ulama salaf:
ما أحدثت بدعة إلا وأميتت سنة
‘Tidaklah satu bid’ah dimunculkan, kecuali bersamaan dengan itu satu sunnah dimatikan.’
Tidaklah mereka menerapkan hadits dhoif, melainkan dimatikanlah hadits shahih yang membahas hal yang sama dengan hal itu.”
(Silsilah Al Huda wan An Nur kaset no. 529)
Tinjauan Makna Hadits
Terkait manfaat kesehatan jiwa tentu tidak ada perbedaan pandang bahwa puasa jelas sangat bermanfaat menguatkan iman dan taqwa.
Sebagaimana dapat disimak pembahasannya di: Tadabbur Quran Ayat Tentang Perintah Berpuasa
Sedangkan bagi kesehatan badan/tubuh secara fisik walaupun derajatnya sebagai sabda Nabi adalah lemah, tidak dipungkiri memang terkadang pada puasa ada bagian yang bermanfaat bagi kesehatan. Namun itu tidaklah berlaku secara mutlak. Tidak pada setiap kondisi, tidak pula setiap orang akan menjadi sehat badannya dengan berpuasa.
Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjelaskan:
ﻭﻣﻦ ﺣﻜﻢ اﻟﺼﻴﺎﻡ: ﻣﺎ ﻳﺤﺼﻞ ﻣﻦ اﻟﻔﻮاﺋﺪ اﻟﺼﺤﻴﺔ اﻟﻨﺎﺗﺠﺔ ﻋﻦ ﺗﻘﻠﻴﻞ اﻟﻄﻌﺎﻡ ﻭﺇﺭاﺣﺔ اﻟﺠﻬﺎﺯ اﻟﻬﻀﻤﻲ ﻓﺘﺮﺓ ﻣﻌﻴﻨﺔ ﻭﺗﺮﺳﺐ ﺑﻌﺾ اﻟﻔﻀﻼﺕ ﻭاﻟﺮﻃﻮﺑﺎﺕ اﻟﻀﺎﺭﺓ ﺑﺎﻟﺠﺴﻢ ﻭﻏﻴﺮ ﺫﻟﻚ
“Di antara hikmah puasa, diraihnya beberapa manfaat kesehatan yang merupakan buah dari mengurangi kuantitas makanan dan mengistirahatkan organ pencernaan selama periode tertentu serta mengendapkan beberapa zat-zat sisa dan kelembabannya yang dapat membahayakan badan, dan (manfaat) lainnya.” (Fushul fi Ash Shiyam wa At Tarawih wa Az Zakat hal. 5)
Syaikh Al Albani menegaskan dengan penjelasan beliau rahimahullah:
ﻭﻫﻮ ﻣﺎ ﻳﺴﻤﻰ ﺣﺪﻳﺜﺎ ﺑﺎﻟﺘﻄﺒﻴﺐ ﺑﺎﻟﺼﻮﻡ، ﻭاﻟﻤﻘﺼﻮﺩ ﺑﺎﻟﺼﻮﻡ ﻟﻴﺲ ﻫﻮ ﺑﻄﺒﻴﻌﺔ اﻟﺤﺎﻝ اﻟﺼﻮﻡ اﻟﺸﺮﻋﻲ ﻭﺇﻧﻤﺎ ﻗﺪ ﻳﺴﻤﻴﻪ ﺑﺎﻟﺘﺠﻮﻳﻊ، اﻟﺘﻄﺒﻴﺐ ﺑﺎﻟﺠﻮﻉ! ﻫﺬا اﻟﺘﻄﺒﻴﺐ ﺑﺎﻟﺠﻮﻉ ﻟﻴﺲ ﻟﻪ ﻋﻼﻗﺔ اﻟﺸﺮﻉ ﻓﻼ ﻧﻘﻮﻝ ﺑﺪﻋﺔ ﻭﻻ ﻧﻘﻮﻝ ﺳﻨﺔ، ﺇﻥ ﻧﺠﺤﺖ ﻫﺬﻩ اﻟﻮﺳﻴﻠﺔ ﻛﻮﺳﻴﻠﺔ ﻟﻤﻌﺎﻟﺠﺔ ﺑﻌﺾ اﻷﻣﺮاﺽ ﻓﻬﻮ ﺧﻴﺮ، ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻨﺠﺢ ﻓﻼ ﺷﻲء ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﺇﻃﻼﻗﺎ
“Yaitu yang diistilahkan di era kini sebagai “puasa sebagai pengobatan” (التطبيب بالصوم), maksudnya puasa yang tidak persis seperti ketentuan puasa syar’i. Hanya terkadang disebut juga dengan istilah “pengosongan lambung” (التجويع), pengobatan dengan mengondisikan rasa lapar.
Metode pengobatan dengan puasa semacam ini, sama sekali tidak ada kaitannya dengan syariat. Tidak pula kita sebut sebagai bid’ah, juga tidak bisa disebut sunnah!
Apabila diperoleh hasil positif dari metode ini sebagaimana metode pengobatan beberapa jenis penyakit, maka hal itu baik. Namun jika ternyata gagal, tidaklah ada masalah sama sekali tentang hal itu.”
(Mausu’ah Al Albani fi Al Aqidah 3/1122).
اللهم اعنا على الصيام واجعلنا للمتقين إماما
?️Penulis:
Abu Abdirrohman Sofian