Pembahasan Hadits Syadz
Matan al-Baiquniyyah:
وَمَا يُخَالِفْ ثِقَةٌ فِيْهِ الْمَلَا … فَالشَّاذُّ
Dan (hadits) yang satu perawi tsiqoh menyelisihi sekelompok orang (yang diterima riwayatnya)…maka itu disebut syadz
(Mandzhumah al-Baiquniyyah)
Penjelasan:
Anggaplah ada seorang guru pada hari Senin menyampaikan berita kepada 5 orang muridnya yang terpercaya (tsiqoh). Nantinya, kelima orang murid ini diperintahkan untuk menyebarkan info tersebut kepada murid yang lain. Berita itu adalah: Hari Selasa pekan depan akan diadakan ujian hifdz (hafalan alQuran).
Keempat murid menangkap informasi secara benar. Sehingga mereka pun menyebar informasi bahwa hari Selasa pekan depan akan diadakan ujian hifdz sehingga rekan-rekannya bisa mencicil persiapan dari sekarang.
Namun, satu orang murid salah menangkap informasi itu. Ia justru menyebar berita bahwa hari Selasa esok akan diadakan ujian hifdz.
Berita dari satu murid yang tsiqoh, namun saat itu ia meriwayatkan berita yang menyelisihi berita dari banyak perawi tsiqoh yang lain, dinamakan berita yang syadz (ganjil).
Dalam penelitian ilmu hadits Nabi, demikian pula ada riwayat yang syadz. Jika riwayat tersebut berasal dari seorang perawi yang meski tsiqoh, namun ia menyelisihi periwayatan dari perawi lain yang lebih tsiqoh atau lebih banyak jumlahnya.
Contoh Pertama Hadits Syadz
Ada sebuah hadits dalam Shahih Muslim yang dinilai syadz oleh para Ulama. Hadits itu adalah tentang umat Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam sebanyak 70 ribu orang yang akan masuk Surga tanpa hisab tanpa adzab.
Dalam riwayat Muslim yang syadz tersebut, dinyatakan:
هُمُ الَّذِينَ لَا يَرْقُونَ وَلَا يَسْتَرْقُونَ وَلَا يَتَطَيَّرُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
Mereka itu adalah orang-orang yang tidak meruqyah, tidak meminta diruqyah, tidak bertathoyyur, dan bertawakkal kepada Rabb mereka (H.R Muslim dari Ibnu Abbas)
Jalur riwayat al-Imam Muslim yang syadz ini adalah:
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا حُصَيْنُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ كُنْتُ عِنْدَ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْر… حَدَّثَنَا ابْنُ عَبَّاسٍ
Telah menceritakan kepada kami Said bin Manshur (ia berkata) telah menceritakan kepada kami Husyaim (ia berkata) telah mengkhabarkan kepada kami Hushain bin Abdirrahman ia berkata: Aku berada di sisi Said bin Jubair….(ia berkata) telah menceritakan kepada kami Ibnu Abbas…
Hadits semakna dalam riwayat lain pada Shahih al-Bukhari dan Muslim tidak menyebutkan lafadz: tidak meruqyah. Demikian juga riwayat pada kitab hadits lain seperti Musnad Ahmad maupun mustakhraj ala Shahih Muslim.
Said bin Manshur menyendiri dalam periwayatan dengan lafadz tersebut. Beberapa perawi tsiqoh yang meriwayatkan dari Husyaim dengan periwayatan yang menyelisihi Said bin Manshur, di antaranya:
- Muhammad bin as-Shobbaah, dalam riwayat Abu Nuaim pada mustakhraj ala Shahih Muslim.
- Suraij bin anNu’maan, dalam riwayat Ahmad.
- Syujaa’ bin Makhlad, dalam riwayat Ahmad.
Ketiga perawi tersebut ketika meriwayatkan hadits itu tidak ada yang menyebutkan:
لَا يَرْقُونَ
Tidak meruqyah…
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolaaniy rahimahullah menyatakan:
وَوَقَعَ فِي رِوَايَةِ سَعِيْدٍ بْنِ مَنْصُوْرٍ عِنْدَ مُسْلِمٍ (وَلَا يَرْقُوْنَ) بَدَلَ (وَلَا يَكْتَوُوْنَ)، وَقَدْ أَنْكَرَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّيْن بْنُ تَيْمِيَّةَ هَذِهِ الرِّوَايَةَ، وَزَعَمَ أَنَّهَا غَلَطٌ مِنْ رَاوِيْهَا، وَاعْتَلَّ بِأَنَّ الرَّاقِي يُحْسِنُ إِلَى الَّذِي يَرْقِيْهِ، فَكَيْفَ يَكُوْنُ ذَلِكَ مَطْلُوْبُ التَّرْكِ؟، وَأَيْضًا فَقَدْ رَقَى جِبْرِيْلُ النَّبِيَّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-، وَرَقَى النَّبِيُّ أَصْحَابَهُ وَأَذِنَ لَهُمْ فِي الرُّقَى وَقَالَ: مَنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَفْعَلْ. وَالنَّفْعُ مَطْلُوْبٌ
Terdapat dalam riwayat Said bin Manshur dalam (Shahih) Muslim, kalimat: dan tidak meruqyah, sebagai pengganti dari kata: tidak melakukan pengobatan kay. Syaikh Taqiyyuddin Ibnu Taimiyyah mengingkari riwayat ini dan menyatakan bahwa itu adalah kesalahan (menukil) dari perawi. Beliau menjelaskan alasannya bahwa seorang yang meruqyah berbuat baik kepada orang yang diruqyah. Bagaimana mungkin hal itu diharapkan untuk ditinggalkan? Selain itu, Jibril telah meruqyah Nabi shollallahu alaihi wasallam, dan Nabi juga meruqyah para Sahabat beliau, serta mengizinkan mereka untuk meruqyah dengan sabdanya: Barangsiapa yang mampu untuk memberi manfaat saudaranya, silakan ia lakukan. Memberikan manfaat (dengan meruqyah, pent) adalah sesuatu yang diharapkan (Fathul Bari syarh Shahih al-Bukhari (11/408-409)).
Contoh Kedua Hadits Syadz
Sebagian Ulama menyatakan bahwa hadits menggerak-gerakkan jari telunjuk saat tasyahhud dalam sholat adalah hadits yang syadz. Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’iy rahimahullah menyatakan:
هَذَا الْحَدِيْثُ يَدُلُّ عَلَى الْإِشَارَةِ بِالْأِصْبَعِ, وَأَمَّا التَّحْرِيْكُ فَقَدْ تَفَرَّدَ بِهِ زَائِدَةُ بْنُ قُدَامَةَ, وَقَدْ خَالَفَ أَرْبَعَةَ عَشَرَ رَاوِياً… كُلُّهُمْ رَوَوْهُ عَنْ عَاصِمٍ بْنِ كُلَيْب وَلَمْ يَذْكُرُوْا فِيْهِ التَّحْرِيْكِ
Hadits (Waail bin Hujr) ini menunjukkan (disunnahkannya) memberi isyarat dengan telunjuk (saat tasyahhud, pent). Sedangkan menggerakkannya hanya diriwayatkan oleh Zaidah bin Qudaamah yang menyelisihi 14 perawi…semuanya meriwayatkan dari ‘Aashim bin Kulaib dan tidak menyebutkan menggerakkan jari (al-Jami’us Shahih (2/121))
Ditulis oleh:
Abu Utsman Kharisman