Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Suatu Perkumpulan Janganlah Kosong dari Dzikir atau Sholawat untuk Nabi shollallahu alaihi wasallam

Apabila kita berada di sebuah perkumpulan atau majelis, duduk bersama orang-orang lain, jangan sampai majelis itu kosong dari dzikir mengingat Allah Ta’ala atau sholawat untuk Nabi shollallahu alaihi wasallam. Apabila kosong dari dzikir atau sholawat, orang-orang yang beranjak dari majelis itu diibaratkan seperti baru saja menyantap hidangan bangkai yang sangat busuk. Majelis itu pun akan menjadi penyesalan bagi mereka pada hari kiamat.

مَا جَلَسَ قَوْمٌ مَجْلِسًا فَتَفَرَّقُوا عَنْ غَيْرِ ذِكْرٍ إِلَّا تَفَرَّقُوا عَنْ مِثْلِ جِيفَةِ حِمَارٍ وَكَانَ ذَلِكَ الْمَجْلِسُ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Tidaklah suatu kaum bermajelis tanpa berdzikir, kecuali mereka akan berpencar dari tempat itu bagaikan bangkai keledai. Majelis itu pun akan menjadi penyesalan bagi mereka pada hari kiamat
(H.R Ahmad dari Abu Hurairah, dishahihkan oleh Syaikh al-Albaniy)

Dalam riwayat hadits yang lain, disebutkan:

مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ ثُمَّ تَفَرَّقُوا عَنْ غَيْرِ ذِكْرِ اللهِ، وَصَلاَةٍ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، إِلاَّ قَامُوا عَنْ أَنْتَنِ جِيفَةٍ

Tidaklah suatu kaum berkumpul kemudian berpisah tanpa berdzikir mengingat Allah dan bersholawat untuk Nabi shollallahu alaihi wasallam kecuali mereka (seperti) bangkit dari (hidangan) yang lebih busuk dari bangkai
(H.R atThoyaalisiy dari Jabir, dishahihkan Syaikh al-Albaniy)

Ath-Thibiy menyatakan:

لاَ يُوْجَدُ مِنْهُمْ قِيَامٌ عَنْ مَجْلِسِهِمْ إِلَّا كَقِيَامِ الْمُتَفَرِّقِيْنَ عَنْ أَكْلِ الْجِيْفَةِ الَّتِي هِيَ غَايَةٌ فِي الْقَذَرِ وَالنَّجَاسَةِ

Tidaklah didapati dari mereka saat berdiri dari majelis mereka kecuali seperti berdirinya orang yang berpisah dari majelis setelah makan bangkai yang itu pada puncak kekotoran dan najis
(Mirqootul Mafaatiih syarh Misykaatil Mashoobiih (8/37))

Sholawat Nabi shollallahu alaihi wasallam adalah bagian dari dzikir. Sehingga bisa mewakili atau diikutkan bersama bacaan dzikir yang lain.

Bacaan dzikir atau sholawat tersebut bukanlah berarti dibaca bersama-sama dengan dikomando, karena tata cara dzikir berjamaah demikian telah diingkari oleh Sahabat Nabi Ibnu Mas’ud dalam hadits riwayat ad-Daarimiy.

Dzikir atau sholawat yang diperbolehkan dalam majelis semacam itu bisa dibaca sendiri-sendiri oleh masing-masing orang yang hadir, atau sudah terwakili oleh pembacaan yang dilakukan satu orang yang didengarkan dan disimak oleh orang lain. Misalkan, satu dari orang tersebut membuka majelis dengan pujian untuk Allah dan sholawat untuk Nabi shollallahu alaihi wasallam.


Baca Juga: Penjelasan Syaikh Ibn Utsaimin Tentang Berdzikir dan Berdoa Bersama Setelah Shalat


Khotbah Jumat disebut dalam hadits Nabi shollallahu alaihi wasallam sebagai dzikir. Padahal yang mengemukakan dzikir pengagungan untuk Allah maupun shalawat untuk Nabi dan bacaan ayat-ayat alQuran hanyalah satu orang saja, yaitu khotib. Akan tetapi, para makmum menyimak dan mendengarkan. Mereka berdzikir dalam hatinya, atau mengucapkan sholawat untuk Nabi (tanpa harus dikeraskan) saat nama beliau disebut.

Berikut ini adalah hadits yang menunjukkan bahwa khotbah Jumat atau penyampaian ceramah agama/ kajian ilmu Islam adalah dzikir:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ حَضَرَتْ الْمَلَائِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Barangsiapa yang mandi pada hari Jumat (seperti) mandi janabah kemudian berangkat (di waktu pertama) seakan-akan ia berkurban unta. Barangsiapa yang berangkat di waktu yang kedua seakan-akan ia berkurban sapi. Barangsiapa yang berangkat di waktu yang ketiga seakan-akan ia berkurban kambing yang bertanduk. Barangsiapa yang berangkat di waktu yang keempat, seakan-akan ia berkurban ayam. Barangsiapa yang berangkat di waktu yang kelima seakan-akan ia berkurban telur. Ketika Imam telah keluar (menuju mimbar) para Malaikat hadir menyimak dzikir (khotbah Jumat)
(H.R al-Bukhari)

Syaikh Zaid al-Madkhaliy rahimahullah menjelaskan bahwa mengingat Allah dalam majelis itu bisa dalam berbagai bentuk, seperti:

1. Mengingat pembahasan ilmu (mudzakaroh lil ilmi)

2. Mengingatkan kehidupan akhirat

3. Memotivasi untuk perhatian dengan perkara agama.

4. Membangkitkan semangat orang yang kurang dalam menerapkan Dien

5. Saling mewasiatkan kepada kebenaran

6. Sebagian membacakan ayat-ayat alQuran, yang lain menyimak.

(Aunul Ahadish Shomad syarh al-Adabil Mufrad (3/154)).

Mengingat pembahasan ilmu, misalkan kita berkata pada saudara kita: bagaimana kajian yang disampaikan ustadz tadi malam? Kemudian saudara kita itu menjelaskan intisarinya. Mengingatkan kehidupan akhirat, misalkan kita berkata ke rekan kita: “Tidak terasa rekan-rekan kita sebagian sudah ada yang meninggal. Seharusnya itu mengingatkan kita untuk berbekal dengan amal sebelum ajal menjemput kita”.

Memotivasi untuk perhatian dengan perkara agama, misalkan kita menyatakan pada rekan kita: “Jangan cuma mikir pekerjaan saja. Jangan sampai lupa shalat di masjid jika mendengar panggilan adzan”.

Membangkitkan semangat orang yang kurang dalam menerapkan Dien, misalkan saat rekan kita bercerita bahwa ia baru saja bertengkar dengan orangtuanya, kita mengingatkan agar ia bersabar dan berbakti pada kedua orangtuanya. Saling mewasiatkan kepada kebenaran, misalnya kita berkata kepada rekan kita: “Jangan goyah untuk terus berkomitmen mencontoh Nabi dan para Sahabatnya”.

Bisa juga majelis dzikir berupa membacakan ayat-ayat alQuran. Salah satu membaca, yang lain menyimak. Jika ada yang salah bisa dibenarkan lafadznya atau hafalannya. Bagus juga jika ada yang berilmu dan menjelaskan kandungan makna ayat tersebut.

Jangan jadikan majelis kita saat bertemu dengan tamu yang berkunjung ke rumah, pertemuan dengan rekan atau teman, kerabat, atau sahabat-sahabat dekat, kosong dari dzikir atau sholawat untuk Nabi shollallahu alaihi wasallam. Setidaknya kita bisa menyelipkan dalam majelis itu hal-hal yang mengingatkan kita kepada Allah Ta’ala.

Sebelum majelis berakhir, apapun majelisnya, baik majelis bersama tamu di rumah, pertemuan di suatu tempat, majelis formal maupun non formal, hendaknya masing-masing yang hadir membaca doa kaffarotul majelis. Doa tersebut untuk menghapus dosa-dosa kecil dan kesia-siaan yang terjadi di majelis tersebut.

كَفَّارَةُ الْمَجْلِسِ أَنْ يَقُولَ الْعَبْدُ: سُبْحَانَكَ اللهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

Kaffarotul Majelis (penghapus dosa-dosa kecil di majelis) adalah seorang hamba mengucapkan: SUBHANAKALLAHUMMA WA BIHAMDIKA ASYHADU AN LAA ILAAHA ILLALLAHU ASTAGHFIRUKA WA ATUUBU ILAYK (Maha Suci Engkau ya Allah, dan aku memuji-Mu. Aku bersaksi bahwasanya tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah, aku memohon ampunan kepada-Mu dan aku bertobat kepada-Mu)
(H.R atThobaroniy dari Ibnu Mas’ud, dishahihkan Syaikh al-Albaniy dalam Shahihul Jami’).

Apabila kita membaca doa kaffarotul majelis yang berisi tasbih dan pujian untuk Allah itu, insyaallah kita juga menjalankan firman Allah Ta’ala:

وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ حِينَ تَقُومُ

…dan bertasbihlah dengan memuji Rabbmu ketika engkau berdiri (Q.S ath-Thuur ayat 48)

Sebagian ahli tafsir seperti Mujahid dan Abul Ahwash menafsirkan bahwa perintah tersebut berlaku bagi orang yang hendak bangkit dari majelis apa saja (disarikan dari Tafsir Ibn Katsir (7/439)).

 

Dikutip dari:
Buku “Mari Bersholawat Sesuai Tuntunan Nabi” (Mengupas Seluk Beluk Sholawat dalam Tinjauan Syariat), Abu Utsman Kharisman

Tinggalkan Balasan