Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Sholawat Allah dan Para Malaikat Mengeluarkan Seseorang dari Kegelapan Menuju Cahaya

Allah Azza Wa Jalla berfirman:

هُوَ الَّذِي يُصَلِّي عَلَيْكُمْ وَمَلائِكَتُهُ لِيُخْرِجَكُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا

Dialah (Allah) yang bersholawat untuk kalian, demikian juga para Malaikat-Nya, agar mengeluarkan kalian dari kegelapan menuju cahaya. Dia (Allah) mengasihi kaum beriman
(Q.S al-Ahzab ayat 43)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan:

بِسَبَبِ رَحْمَتِهِ بِكُمْ وَثَنَائِهِ عَلَيْكُمْ، وَدُعَاءِ مَلَائِكَتِهِ لَكُمْ، يُخْرِجُكُمْ مِنْ ظُلُمَاتِ الْجَهْلِ وَالضَّلَالِ إِلَى نُورِ الْهُدَى وَالْيَقِين

Dengan sebab kasih sayang dan pujian-Nya terhadap kalian serta doa Malaikat-Nya untuk kalian, Dia mengeluarkan kalian dari kegelapan kebodohan maupun kesesatan menuju cahaya petunjuk dan keyakinan (Tafsir al-Quranil Adzhim (6/436)).

Ayat tersebut berkaitan erat dengan perintah banyak berdzikir mengingat Allah. Karena 2 ayat sebelum ayat itu adalah perintah Allah kepada kaum beriman untuk banyak berdzikir. Orang yang banyak berdzikir mengingat Allah Ta’ala akan membuat Allah dan para Malaikat-Nya bersholawat kepada orang tersebut.


Baca Juga: Sholawat Allah dan Para Malaikat untuk Para Pengajar Kebaikan


Ada seseorang yang berkata kepada Sahabat Nabi Abu Umamah al-Bahiliy bahwa ia bermimpi melihat para Malaikat bersholawat kepada Abu Umamah setiap kali masuk, keluar, bangkit, maupun duduk di suatu tempat. Kemudian Abu Umamah membaca ayat yang berisi anjuran banyak berdzikir sehingga mendapatkan sholawat dari Allah dan para Malaikat.

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى أَبِي أُمَامَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : يَا أَبَا أُمَامَةَ إِنِّي رَأَيْتُ فِي مَنَامِي أَنَّ الْمَلَائِكَةَ تُصَلِّي عَلَيْكَ كُلَّمَا دَخَلَتْ وَ كُلَّمَا خَرَجْتَ وَكُلَّمَا قُمْتَ وَكُلَّمَا جَلَسْتَ قَالَ أَبُوْ أُمَامَةَ : اللَّهُمَّ غُفْرًا دَعُوْنَا عَنْكُمْ وَ أَنْتُمْ لَوْ شِئْتُمْ صَلَّتْ عَلَيْكُمُ الْمَلَائِكَةُ ثُمَّ قَرَأَ {يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اذْكُرُوْا اللهَ ذِكْرًا كَثِيْرًا * وَسَبِّحُوْهُ بُكْرَةً وَأَصِيْلًا * هُوَ الَّذِي يُصَلِّي عَلَيْكُمْ وَ مَلَائِكَتُهُ لِيُخْرِجَكُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّوْرِ وَ كَانَ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَحِيْمًا}

Seorang laki-laki datang menemui Abu Umamah –semoga Allah meridhainya- ia berkata: Wahai Abu Umamah, sesungguhnya aku melihat dala mimpiku bahwasanya para Malaikat bersholawat untukmu setiap kali engkau masuk, setiap kali engkau keluar, setiap kali engkau berdiri, dan setiap kali engkau duduk. Abu Umamah berkata: Ya Allah ampunilah (kami). Biarkanlah kami tanpa diketahui kalian. Sebenarnya kalian jika ingin mendapatkan sholawat para Malaikat, kalian bisa mendapatkannya. Kemudian Abu Umamah membaca firman Allah (yang artinya): Wahai orang-orang yang beriman, berdzikirlah mengingat Allah dengan dzikir yang banyak. Bertasbihlah mensucikan Dia pagi dan petang. Dialah (Allah) yang bersholawat kepada kalian dan demikian juga para Malaikat-Nya untuk mengeluarkan kalian dari kegelapan menuju cahaya. Dia (Allah) Maha Penyayang terhadap orang-orang beriman (Q.S al-Ahzab ayat 41-43) (H.R al-Hakim, dinyatakan oleh adz-Dzahabiy bahwa hadits tersebut shahih sesuai syarat Muslim)

Mimpi dari orang tersebut yang kemudian disampaikan kepada Sahabat Nabi Abu Umamah adalah bagian dari kabar gembira. Tidak diingkari oleh Sahabat Nabi Abu Umamah, namun beliau mengarahkan kepada ayat alQuran sebagai panduan jika ingin mendapat sholawat dari para Malaikat.

Mimpi semata tidaklah bisa dijadikan sebagai landasan syariat. Karena landasan syariat tetaplah alQuran dan Sunnah Nabi shollallahu alaihi wasallam.

Asy-Syathibiy rahimahullah menyatakan:

لِأَنَّ الرُّؤْيَا مِنْ غَيْرِ الْأَنْبِيَاءِ لَا يُحْكَمُ بِهَا شَرْعًا عَلَى حَالٍ؛ إِلَّا أَنْ تُعْرَضَ عَلَى مَا فِي أَيْدِينَا مِنَ الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ، فَإِنْ سَوَّغَتْهَا عُمِلَ بِمُقْتَضَاهَا، وَإِلَّا؛ وَجَبَ تَرْكُهَا وَالْإِعْرَاضُ عَنْهَا، وَإِنَّمَا فَائِدَتُهَا الْبِشَارَةُ أَوِ النِّذَارَةُ خَاصَّةً، وَأَمَّا اسْتِفَادَةُ الْأَحْكَامِ؛ فَلَا

Karena sesungguhnya mimpi yang terjadi pada manusia selain para Nabi tidaklah menjadi ketetapan hukum secara syar’i. Kecuali apabila diarahkan kepada hukum-hukum syar’i yang ada pada kita. Jika diperbolehkan oleh syariat, maka diamalkan sesuai konsekuensinya. Kalau tidak, wajib ditinggalkan dan berpaling darinya. Faidah dari mimpi itu hanyalah sebagai kabar gembira atau peringatan saja. Adapun mengambilnya sebagai faidah hukum, tidak (al-I’tishom (1/199)).

anNawawiy rahimahullah menyatakan: Tidak boleh menetapkan hukum syar’i dengannya (mimpi). Karena keadaan tidur bukanlah keadaan kokoh (menerima berita) dan (tidak) bisa mengklarifikasi/memastikan apa yang didengar dari orang yang bermimpi. Para Ulama telah sepakat bahwasanya termasuk syarat diterimanya riwayat dan persaksian adalah pada saat terjaga (sadar), tidak lalai, tidak buruk hafalannya, tidak sering salah (dalam menerima), tidak kurang dalam kekokohannya. Sedangkan orang yang tidur tidaklah memiliki sifat ini, sehingga tidak diterima riwayatnya (al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaaj karya anNawawiy (1/115)).


Baca Juga: Pengingkaran Ulama Salaf Terhadap Bacaan Dzikir Atau Sholawat yang Tidak Disyariatkan Pada Waktunya


Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah juga pernah mengomentari kisah bermimpinya seorang yang sholih bernama Ahmad bin Katsir sebagaimana diceritakan oleh Ibnu Asakir. Dikisahkan bahwa orang sholih tersebut bermimpi melihat Nabi, Abu Bakr, dan Umar bertemu dengan Habil (putera Nabi Adam). Habil bersumpah bahwa darah yang ada di tempat itu adalah darah yang tertumpah saat Qabil membunuh Habil, di sebuah daerah di Damaskus Suriah. Dalam mimpi itu Habil menyatakan bahwa ia berdoa kepada Allah agar menjadikan tempat itu menjadi tempat doa mustajab bagi yang berdoa di sana. Nabi pun membenarkan, dan beliau bersama Abu Bakr maupun Umar selalu berziarah ke tempat itu setiap hari Kamis. Al-Imam Ibnu Katsir menyatakan:

وَهَذَا مَنَامٌ لَوْ صَحَّ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ كَثِيرٍ هَذَا لَمْ يَتَرَتَّبْ عَلَيْهِ حُكْمٌ شَرْعِيٌّ

Mimpi ini kalaupun benar dari Ahmad bin Katsir tidaklah menghasilkan sebuah hukum syar’i (al-Bidayah wan Nihayah (1/220)).

Artinya, seandainya mimpi itu benar, tidaklah disyariatkan untuk:

  1. Berdoa di tempat yang disebut dalam mimpi itu dengan keyakinan bahwa tempat itu tempat mustajabnya doa.
  2. Berziarah ke tempat itu setiap hari Kamis.

Wallaahu A’lam.

 

Dikutip dari:
Draft naskah buku “Mari Bersholawat Sesuai Tuntunan Nabi (Mengupas Seluk Beluk Sholawat dalam Tinjauan Syariat)”, Abu Utsman Kharisman

Tinggalkan Balasan