Fatwa Para Ulama Seputar Na’yu (Mengumumkan Berita Kematian)
Hukum Seputar Na’yu Bagian ke-2
Setelah kita mengetahui hukum na’yu pada kajian sebelumnya, ternyata muncul beberapa masalah kontemporer seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi.
Kajian Sebelumnya: Hukum Seputar Na’yu (Mengumumkan Berita Kematian Seseorang)
Oleh karena itu mari kita simak beberapa fatwa para ulama dalam permasalahan ini sebagai bimbingan bagi kaum muslimin. Di antara permasalahan tersebut adalah:
Bolehkah mengumumkan kematian seseorang di papan pengumuman masjid?
Permasalahan ini dijawab dalam Fatwa Lajnah Daimah Lilbuhuts Al Ilmiyah Wal Ifta (Lembaga Tetap Untuk Riset Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia):
Soal yang kedua dari fatwa no. 4276
Pertanyaan:
Apakah boleh mengumumkan kematian seseorang yang meninggal di suatu kampung pada sebuah papan yang diletakkan di masjid, dimana papan tersebut memang khusus digunakan untuk pengumuman kematian?
Dan sudah diketahui ada orang-orang yang mengurusi jenazahnya untuk memandikan dan mengkafaninya. Adapun menshalati jenazah kami biasa melaksanakannya setelah Dzhuhur atau Ashar di masjid.
Jawaban:
Yang pertama: Pengumuman tentang kematian seseorang dengan gambaran yang disebutkan tadi menyerupai na’yu yang dilarang dan tidak boleh untuk dilakukan.
Adapun sekedar pemberitaan kepada karib kerabat dan orang-orang yang dikenal agar bisa hadir untuk menshalatinya serta mengikuti jenazahnya sampai pemakaman maka yang demikian itu dibolehkan dan bukan termasuk na’yu yang dilarang.
Karena Nabi ﷺ pernah mengumumkan tentang kematian Najasyi di Habasyah kepada kaum muslimin (para sahabat) agar menshalatinya.
Yang kedua: Tidak sepantasnya membuat papan pengumuman di masjid untuk mengumumkan tentang kematian seseorang atau untuk yang selainnya. Yang demikian itu karena memang masjid tidak dibangun untuk tujuan tersebut (mengumumkan sesuatu).
Semoga Allah memberi taufik
وصلى الله على نبينا محمد و آله وصحبه وسلم
Al Lajnah adDaimah Lilbuhuts Al Ilmiyah Wal Ifta’
Ketua : Syaikh Abdul Aziz bin Baz
Wakil : Syaikh Abdurrazaq Afifi
Anggota : Syakh Abdullah Ghudayan
Sumber: Fatawa Lajnah Daimah Lilibuhuts Al Ilmiyah wal Ifta Jilid 9
Artikel lain yang semoga bermanfaat: Hukum Ucapan Berkabung Saat Kematian Orang Kafir dan Hukum Mendoakannya
Bolehkah mengumumkan berita kematian seseorang di media-media massa baik cetak maupun elektronik?
Dalam permasalahan ini banyak fatwa ulama yang menjelaskannya di antaranya:
1. Asy-Syaikh Al Alamah Shalih Al Fauzan hafidzahullah pernah ditanya:
Tersebar di sebagian surat kabar lembaran besar (satu halaman penuh) yang berisi ungkapan bela sungkawa atas kematian kerabatnya. Terkadang ditulis dengan tinta putih yang berlatar belakang hitam, kadang pula hanya sebuah ungkapan bela sungkawa saja, apa hukum perbuatan tersebut?
Beliau menjawab:
Berbelasungkawa kepada keluarga si mayit dengan mendoakan keluarganya dan (memintakan ampunan) untuk si mayit merupakan perkara yang diperintahkan dalam syariat apabila masih dalam batasan yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ.
Misalnya engkau mendoakan kepadanya tatkala menemuinya,
أَحْسَنَ اللهُ عَزَائَك، وَجَبَّرَ اللهُ مُصِيْبَتَكَ، وَ غَفَرَ لِمَيِّتِكَ
“Semoga Allah memberikan kebaikan atas duka yang menimpamu, semoga Allah mengganti musibahmu dengan yang lebih baik, dan semoga Allah mengampuninya.”
Dan jika jaraknya jauh (tidak memungkinkan untuk bertemu) maka cukup engkau tulis ucapan belasungkawa yang diiringi doa tersebut untuk engkau tujukan kepada keluarga si mayit. Yang demikian itu tidak mengapa.
Adapun mengumumkan kematian seseorang di surat kabar maka hal ini tidak diperlukan.
Kecuali dengan pengumuman tersebut tujuannya agar ada yang bisa mengurusi jenazahnya atau mengumumkan tempat shalat agar manusia hadir menshalatinya.
Dan jika tujuannya adalah untuk menyanjung dan memuji kebaikan-kebaikannya maka sebaiknya perkara ini tidak dilakukkan. Karena hal tersebut bisa menghantarkan kepada perkara berlebih-lebihan dalam hal pujian.
Demikian juga perbuatan ini bisa menjadi sebab membuang-buang harta yang ia bayarkan kepada pemilik surat kabar, hanya untuk pengumuman tersebut. Itu merupakan perbuatan yang kurang bermanfaat.
Demikian juga tidak disyariatkan mengumumkan tentang tempat rumah duka yang tujuannya untuk mengadakan kumpul-kumpul serta makan makan seperti walimah (pesta pernikahan).
Jarir bin Abdilah radhiyallohu anhu berkata,
كُنَّا نَعُدُّ الاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ المَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ
“Dahulu kami menganggap berkumpulnya kami di rumah duka dan makan makanan di tempat tersebut termasuk dari niyahah (meratap yang dilarang).”
Dalam riwayat lain menggunakan lafadz نَرَى (artinya “kami memandang” (Faidah dari Asy Syaikh Al AlBani rahimahullah, pent).
Hadits di atas bisa dilihat dalam Musnad Imam Ahmad no. 6905, Sunan Ibnu Majah (1/490), Shahih Al Ahkam (167), dan Takhrij Al Iman Libni Sallam (105).
Sumber: Al Muntaqo Min Fatawa Asy Syaikh Shalih bin Fauzan
2. Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang ta’ziyah (mengucapkan bela sungkawa dan mengumumkan berita kematian seseorang) di surat kabar, apa hukumnya?
Maka beliau menjawab:
Aku khawatir ta’ziyah di surat kabar termasuk bentuk na’yu yang tercela (diharamkan).
Dari Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu anhu beliau berkata:
Jika ada yang meninggal janganlah kalian umumkan, karena aku khawatir itu termasuk na’yu (yang dilarang). Karena aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ melarang dari na’yu.
Dan secara umum bentuk ta’ziyah di surat kabar adalah menyatakan belasungkawa kepada keluarga duka. Jika demikian maka cukup bagi para pelayat untuk menulis pesan (sms atau yang semisalnya yang berisi doa dan kalimat yang bisa menghiburnya, pent) kepada keluarga si mayit atau menghubunginya via telepon sehingga tidak perlu diumumkan di surat kabar.”
Sumber: Fatawa Nur Alad Darb Lisyaikh Ibnu Utsaimin (6/267).
3. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah pernah ditanya tentang pengumuman kematian di surat kabar yang gambarannya berisi ucapan duka cita (meratapi dan menyebutkan kebaikan-kebaikannya, pent), ucapan terima kasih kepada orang tersebut karena merupakan tokoh besar yang dicintai, dan yang semisalnya; apakah ini termasuk na’yu yang dilarang ?
Maka beliau menjawab:
Jika pengumuman untuk menshalati si mayit, mengurus jenazahnya, dan mengkafaninya melebihi kebutuhan itu termasuk na’yu jahiliah (yang dilarang) menurut pandangan salafush sholih, lalu bagaimana kondisinya dengan yang terjadi di zaman sekarang sebagaimana yang disebutkan oleh saudara penanya atau bahkan menyebarkan berita dengan gambaran tersebut (tentunya lebih tidak diperbolehkan, pent).
Sumber: Silsilah Al Huda Wan Nuur (6880)
Artikel bermanfaat lainnya: Pandangan Al-Imam Asy-Syafii dan Ulama Syafiiyyah Tentang Berkumpul untuk Makan di Rumah Duka
Bolehkah mengumumkan berita kematian di masjid menggunakan pengeras suara ?
Hal ini dijawab oleh Syaikh Abdullah bin Abdurrahim Al Bukhari hafizhahullah ketika beliau ditanya tentang permasalahan ini. Beliau mengatakan:
Jangan kalian lakukan ini di masjid-masjid, kalian mengeraskan suara dan mengumumkannya di masjid (ini tidak boleh -pent).
Beritahulah orang lain tanpa pengeras suara jika kalian mau. Karena jika menggunakan pengeras suara maka akan terdengar oleh kaum wanita, laki-laki, anak-anak, yang di luar dan yang di dalam masjid dari orang yang tidak ada urusan sama sekali dengannya.
Cukup bagi kalian untuk mengumumkan kepada orang lain sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ. Beliau memberi tahu para sahabatnya dan memerintahkan mereka untuk mensholati jenazah tersebut di musholla (tanah lapang yang biasa dijadikan untuk shalat jenazah).
Sumber: Kanal telegram Fawaid ilmiyah Syaikh Abdullah bin Abdirrahim Al Bukhari hafizhahullah, ketika beliau memberika syarah Umdatul Ahkam, Kitabul Janaaiz pertemuan ke-61 (t.me/sh_bokhary/2459).
Bolehkah menyebarkan berita kematian (di medsos) agar orang yang ada di grup tersebut mendoakan si mayit?
Permasalahan ini dijawab pula oleh Syaikh Abdullah bin Abdirrahim Al Bukhari hafidzahullah:
Permasalahan menshalati mayit, jika engkau berada di daerah yang engkau tinggal di situ dan sampai kabar bahwasanya orang tersebut telah meninggal, demikian juga engkau sampaikan kepada orang lain yang berada di daerah tersebut untuk menshalatinya; maka tidak mengapa mengumumkannya kepada orang lain yang berada di daerah tersebut.
Akan tetapi jika dia berada di Makkah misalnya, kemudian dia menulis pesan bahwasanya telah meninggal dunia seseorang di Makkah, apa yang diinginkan? Apakah agar engkau pergi ke Makkah padahal engkau di Madinah. Maka perbuatan ini bukan termasuk sunah.
Jika dia berada di daerahnya sendiri maka shalatilah si mayit tersebut dan panggil orang lain demikian juga orang-orang shalihnya dari orang-orang yang diharapkan dikabulkan doanya dan syafa’atnya yang ada di daerah tersebut.
Adapun yang terjadi di zaman kita sekarang, seseorang meninggal di belahan bumi timur dan barat kemudian disebarkan beritanya ke seluruh dunia maka ini bukan termasuk dari sunah.
Sesungguhnya tujuan utama dari mengumumkan berita kematian seseorang adalah agar manusia mensholatinya, memintakan ampunan, dan mendoakannya dalam shalat tersebut. Adapun untuk selain tujuan ini maka tidak dianjurkan.
Mungkin ada yang berkata, ‘kami menyebarkan berita kematiannya agar orang lain mendoakannya juga.'”
Maka beliau menjawab:
“Ini merupakan niatan yang bagus. Akan tetapi si mayit tersebut sudah dishalati oleh orang yang berada di daerah tersebut dan juga sudah didoakan di dalam shalatnya (sehingga sudah mencukupi -pent).
Akan tetapi jika ada orang yang datang dari daerah lain dan kebetulan berkunjung ke daerah yang sedang ada kematian ketika itu, engkau berada di situ kemudian engkau memberitahukannya lantas ia mendoakannya maka hal ini tidak mengapa.
Adapun jika menjadikannya sebagai suatu keharusan syariat (menyebarkan berita kematian kemana-mana -pent) maka berhati-hatilah (karena dikhawatirkan ini termasuk na’yu yang dilarang -pent). Barokallohu fikum.”
Sumber: Kanal telegram fawaid ilmiyah Syaikh Abdullah bin Abdirrahim Al Bukhari hafizhahullah, ketika beliau menyampaikan syarah Umdatul Ahkam Kitabul Janaaiz pertemuan ke-61 (t.me/sh_bokhary/2459).
Bolehkah mengumumkan berita kematian setelah selesai prosesi jenazah?
Ketika Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah ditanya tentang: bolehkah mengumumkan berita kematian di surat kabar atau majalah setelah prosesi kematian selesai?
Maka beliau menjawab:
“Yang tampak bagiku bahwasanya mengumumkan kematian seseorang di surat kabar setelah kematiannya disertai ucapan belasungkawa termasuk na’yu yang dilarang.
Berbeda ketika pengumuman tersebut sebelum disholatkannya si mayit dengan tujuan agar orang ikut mensholatinya maka ini tidak mengapa.
Sebagaimana Rasulullah ﷺ mengumumkan kematian Najasyi pada hari meninggalnya dan memerintahkan para shahabat untuk keluar ke musholla (tempat untuk menyalatkan jenazah) maka shahabat pun mensholatinya.
Adapun setelah ditunaikan pengurusan jenazahnya maka tidak ada kebutuhan mengumumkan kematiannya. Karena dia sudah ditunaikan haknya dan pengumuman di surat kabar (atau yang sejenisnya-pent) termasuk dari na’yu yang dilarang.”
Sumber: Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin (17/343-344)
Wallahu a’lam bish showab
Penulis:
Abu Abdil Karim Ubaidullah