Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Hukum Seputar Na’yu (Mengumumkan Berita Kematian Seseorang)

Para pembaca yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allah Subhanahu Wata’ala…
 
Akhir-akhir ini kita sering mendengar berita kematian seseorang, bukankah demikian? Berita tersebut banyak tersebar di media-media sosial (medsos) atau pengumuman langsung menggunakan pengeras suara di masjid-masjid.
 
Tak bisa dipungkiri memang, di tengah-tengah pandemi covid-19 yang belum kunjung usai ini tak sedikit orang yang terpapar dan akhirnya meninggal, nasalullaha as salamah wal ‘afiyah.
 
Dalam masalah mengumumkan berita kematian seseorang, agama Islam yang sempurna ini telah membimbing umatnya. Oleh karena itu bagaimana bimbingan Islam dalam masalah tersebut? Maka mari kita baca pembahasannya dalam rubrik kali ini.


Artikel Bermanfaat lainnya: Hukum Berkabung Saat Kematian Orang Kafir dan Hukum Mendoakannya


Definisi Na’yu

Pembahasan pertama yang perlu dikatahui terlebih dahulu adalah tentang arti dari Na’yu (النعي).
 
Secara bahasa susunan huruf “nun”, “ain” dan huruf ilat “alif” (نعى) menunjukan makna menyebarkan sesuatu (Ibnu Faris dalam Mu’jamu Maqayisil Lughah hal. 1036).
 
Sedangkan secara istilah syar’i, na’yu mengandung beberapa makna sebagaimana yang disebutkan oleh beberapa ulama di antaranya:
 
Al Imam At Tirmidzi menyebutkan: “An Na’yu menurut para ahlul ilmi adalah mengumumkan kepada manusia tentang kematian seseorang agar ditunaikan pengurusan jenazahnya.” (Jami’ at Tirmidzi hal. 239)
 
Sedangkan Al Qalyubi dalam Hasyiyahnya (1/345) menyebutkan tentang makna na’yu yaitu: mengumumkan kematian seseorang sambil menyebutkan kebaikan-kebaikannya dan membangga-banggakannya.
 
Sehingga makna na’yu bisa jadi hanya sekedar mengumumkan kematian seseorang dan bisa juga bermakna mengumumkan kematian sembari diiringi pujian dan sanjungan dalam rangka membangga-banggakannya.


Artikel lain yang semoga bermanfaat: Pandangan Al-Imam Asy-Syafii dan Ulama Syafiiyyah tentang Berkumpul untuk Makan di Rumah Duka


Hukum Na’yu

Adapun hukum na’yu maka para ulama berselisih pendapat, ada yang membolehkan ada juga yang melarang.
 
Kata Al ‘Allamah Muhammad Ali Adam Al Ityubi rahimahullah dalam Al Bahrul Muhith Ats Tsajjaj (18/435):

“An na’yu terbagi menjadi dua macam:
 
Yang pertama: Na’yu yang diharamkan. Yakni yang tidak ada tujuan syar’i. Seperti na’yunya kaum jahiliah dimana mereka ketika mengumumkan kematian seseorang diiringi penyebutan kebaikan-kebaikan si mayit, membangga-banggakannya sambil menampakkan perasaan sedih dan merasa kehilangaan dengan kematiannya. Na’yu jenis ini termasuk na’yu yang diharamkan dalam hadits Nabi ﷺ.
 
Adapun yang kedua: Na’yu yang ada tujuan syar’i. Seperti untuk memperbanyak orang yang hadir menshalatinya agar mendoakannya di dalam sholat tersebut sehingga bisa tercapai jumlah yang dijanjikan bisa memberi syafa’at kepada si mayit. Demikian juga untuk tujuan menunaikan kepengurusan jenazahnya mulai dari memandikan, mengkafani, dan mengantarkannya sampai ke pemakaman. 

Dalil Bagi yang Berpendapat Tidak Diperbolehkannya Na’yu

Perlu diketahui bahwa di sana ada sebagian ulama salaf yang berpendapat bahwasanya na’yu itu tidak diperbolehkan sama sekali. Diantara dalilnya adalah:

Hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu beliau berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ يَنْهَى عَنِ النَّعْيِ وَ قَالَ إِيَاكُمْ وَ النَّعْيَ فَإِنَّهُ مِنْ عَمَلِ الجَاهِلِيَةِ

Bahwasanya Rasulullah ﷺ melarang dari na’yu (mengumumkan kematian seseorang). Maka Ibnu Mas’ud berkata: “Janganlah kalian mengumumkan kematian karena itu termasuk amalan jahiliyah.”
(HR. At Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad)
 

Beliau tidak sendirian dalam pendapatnya tersebut. Bahkan terdapat atsar dari Hudzaifah bin Al Yaman radhiyallahu anhu:

أَنَّهُ كَانَ إِذَا مَاتَ لَهُ مَيِّتٌ قَالَ: لَا تُؤَذِنُوا بِهِ أَحَدًا، إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَكُوْنَ نَعْيًا،  إِنِّي سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ﷺ يَنْهَى عَنْ النَعْيِ

Dahulu apabila ada seseorang yang meninggal beliau berkata: “Janganlah kalian beritahu kepada seorangpun, karena sesungguhnya aku khawatir itu termsuk na’yu (jahiliyah) yang mana aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ melarang dari na’yu.”
(HR. Ahmad dalam musnadnya (38/443), At Tirmidzi dalam Sunannya 1/503 dan beliau berkata: hadits hasan shahih, serta Ibnu Majah dalam Sunannya (1/474), hadits ini dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Ahkamul Janaiz hal. 31)
 

Atsar Hudzaifah ini juga dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (3/117). Sebelumnya beliau berkata: “Terkadang didapati sebagian ulama salaf melarang keras perbuatan ini (yakni na’yu).” Lalu beliau  membawakan atsar Hudzaifah di atas.
 
Di antara ulama lain yang memegangi pendapat ini sebagaimana yang disebutkan oleh al Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra (4/74), beliau berkata: “Yang meriwayatkan tentang pelarangan na’yu adalah hadits dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, dan Abu Sa’id. Kemudian dari kalangan para tabi’in adalah ‘Alqomah, Ibnul Musayyib, Rabi’ bin Khaitsam, dan Ibrahim An Nakha’i.”
 
Adapun di antara ulama pada zaman kita sekarang ini yang memegangi pendapat tersebut adalah Asy Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafidzahullah. Ketika ditanya oleh Syaikh Kholid bin Dzahwi Adz Dzafiri (penanggung jawab situs resmi Syaikh Rabi Al Madkhali), disebutkan:
 
Aku pernah bertanya kepada guru kami Syaikh Rabi’ -semoga Allah senantiasa menjaganya- tentang hukum mengumumkan berita kematian seseorang di forum-forum, apakah hal tersebut masuk dalam perbuatan na’yu yang dilarang?
 
Maka Syaikh Rabi menjawab: “Ya, hal tersebut termasuk kategori na’yu (yang dilarang).”
 
Aku (Syaikh Khalid ) katakan: “Kalau begitu berarti lebih baik ditinggalkan?”
 
Kata Syaikh Rabi’: “Bahkan wajib untuk meninggalkan perbutan tersebut”.
 
Semoga Allah memberikan taufik kepadamu.


Artikel lain yang semoga bermanfaat: Panduan Ringkas Shalat Jenazah


Dalil-dalil Bagi yang Berpendapat Bolehnya Mengumumkan Berita Kematian

Banyak hadits yang menunjukan bahwasanya Rasulullah ﷺ mengumumkan berita kematian seseorang untuk tujuan syar’i di antaranya:
 
Hadits dari Abu Hurairah tentang kisah meninggalnya Najasyi:

أَنَّ النَبِيَّ ﷺ نَعَى إِلَى الصَحَابَةِ النَجَشِيَ فِيْ الْيَوْمِ الذِّيْ مَاتَ فِيْهِ

Bahwasanya Nabi ﷺ mengumumkan kepada para shahabat tentang kematian Najasyi pada hari kematiannya.

Rasulullah ﷺ bersabda:

صَلُّوا عَلَى أَخِيْكُمْ أَصْحَمَةَ فَإِنَّهُ قَدْ مَاتَ

“Shalatilah saudara kalian Ashamah (nama dari Najasyi) karena sesungguhnya dia telah meninggal.”

Maka para sahabat menshalatinya dengan empat kali takbir, yakni dengan sholat ghaib.
(HR. Al Bukhari 1333 dan Muslim 951)

Kemudian hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu tentang kisah seorang perempuan hitam yang biasa menyapu masjid Nabi. Suatu ketika Rasulullah ﷺ tidak menjumpainya maka beliau pun menanyakan perihal perempuan tersebut kepada para sahabat.
 
Para sahabat pun menjawab bahwasanya dia sudah meninggal.
 
Lantas Rasulullah ﷺ bersabda:

أَفَلَا كُنْتُمْ آذَنْتُمُوْنِيْ

“Tidakkah kalian tidak memberitahukan kepadaku.”
 
Seakan-akan para sahabat meremehkan perempuan tersebut. Kemudian beliau meminta untuk ditunjukkan kuburannya lalu menshalatinya di kuburan tersebut. Dan beliau bersabda:
 
“Sesungguhnya kuburan ini sesak dan gelap bagi para penghuninya, dan Allah menyinarinya dengan shalatku padanya.” HR. Al Bukhari 458 dan Muslim 956)
 
Juga hadits Anas bin Malik tentang kematian beberapa panglima perang dalam pertempuran Mu’tah:

أَنَّ النَّبِيَ ﷺ نَعَى زَيْدًا وَ جَعْفَرًا وَ ابْنُ رَوَاحَةَ لِلنَّاسِ قَبْلَ أَنْ يَأْتِيَهُمْ خَبَرُهُمْ

Bahwasannya Rasulullah ﷺ mengumumkan kematian Zaid bin Haritsah, Ja’far, dan Abdullah bin Rawahah  kepada para sahabat sebelum datangnya berita tentang hal itu.

(Ketika itu beliau sedang berkhutbah di atas mimbar), beliau pun bersabda:

“Bendera tersebut diambil oleh Zaid, lalu dia terbunuh, kemudian bendera tersebut diambil oleh Ja’far, lalu dia terbunuh, kemudian selanjutnya bendera itu diambil oleh Abdullah bin Rawahah lalu dia pun terbunuh.”

Sedangkan kedua mata Rasulullah ﷺ meneteskan air mata.

(Kemudian beliau melanjutkan): “Kemudian bendera tersebut dipegang oleh salah satu pedang dari pedang Allah (Khalid bin al Walid) sampai Allah memberi kemenagan kepada mereka.” (HR. Al Bukhari 3757)
 
Juga kisah pidato Abu Bakar Ash Shiddiq ketika Rasulullah ﷺ meninggal dunia, beliau berkata:

أَمَّا بَعْدُ  فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا فَإِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ وَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ يَعْبُدُ اللهَ فَإِنَّ اللهَ حَّيٌ لَا يَمُوْتُ

“Amma ba’du (adapun setelah itu), barangsiapa diantara kalian yang menyembah Muhammad ﷺ maka sesungguhnya dia telah meninggal dunia, dan barang siapa menyembah Allah maka sesungguhnya Allah Maha hidup dan tidak mati.” (HR. Al Bukhari no. 4454)
 
Juga sebuah atsar dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa beliau suatu ketika melihat perkumpulan majelis, kemudian beliau berkata:

إِنَّ أَخَاكُمْ قَدْ مَاتَ فَاشْهِدُوا جَنَازَتَهُ

“Salah satu saudara kalian telah meninggal dunia maka datanglah untuk menunaikan hak jenazahnya.” (H.R Ibnu Abdil Bar dalam Al Istidzkar 3/26)
 
Hadits-hadits dan atsar di atas menunjukan bolehnya mengumumkan berita kematian seseorang.

Na’yu Hukumnya Bisa Menjadi Mustahab

Na’yu bahkan terkadang hukumnya menjadi mustahab (dianjurkan) dan tidak hanya sekedar mubah (jaiz), sebagaimana kata Al Imam An Nawawi:
 
“Berdasarkan hadits-hadits shahih yang sudah kami sebutkan di atas disimpulkan bahwa mengumumkan kematian seseorang bagi yang belum mengetahuinya bukanlah hal yang dimakruhkan.
 
Bahkan jika maksud dari pemberitahuan tersebut adalah untuk memperbanyak orang yang menshalatinya maka hukumnya menjadi mustahab (sunnah).
 
Hanya saja yang dimakruhkan adalah ketika pengumuman tersebut diiringi dengan penyebutan kebaikan-kebaikannya secara berlebihan. Demikian juga sambil berkeliling kampung menyebarkan kebaikannya. Yang demikian ini menyerupai na’yunya kaum jahiliah.”
 
(Al Majmu’ Syarhul Muhadzab 5/215-216)

Syarat Na’yu yang Diperbolehkan

Yang perlu diperhatikan adalah disana ada beberapa ketentuan tentang na’yu yang diperbolehkan. Sebagaimana yang disebutkan oleh Al Imam An Nawawi di dalam Syarah Shahih Muslim (7/21) ketika mensyarah hadits  tentang kematian Najasyi. Beliau berkata:
 
“Pada hadits ini terdapat anjuran untuk mengumumkan berita kematian seseorang, akan tetapi bukan dengan cara-cara kaum jahiliah. (Maka ketentuan na’yu diperbolehkan adalah dengan tujuan):

  1. Hanya sekedar mengumumkan untuk menyolatinya dan mengurus jenazahnya
  2. Memberi semangat dan meneguhkan hati keluarganya
  3. Agar segera tertunaikan tanggungan-tanggungan si mayit (berupa utang dan yang semisalnya)
  4. Tidak diiringi dengan penyebutan kemuliannya dan yang semisalnya dari pujian yang berlebihan.

Oleh karena itu ketika ada seseorang yang meninggal terkhusus dari orang yang memiliki keutamaan dan kemuliaan maka tidak perlu diiringi penyebutan kemuliaan-kemuliannya dalam pengumumannya.
 
Seperti ucapan sebagian orang ketika mengumumkan seorang alim yang meninggal, “telah meninggal alim fulan yang sudah memiliki andil besar dalam dakwah”, “telah meninggal seorang alim yang menolong sunnah” atau kalimat yang semakna dengan ini.
 
Cukup dalam penyampaian kabar kematian adalah dimaksudkan agar orang datang menshalatinya dan menunaikan pengurusan jenazahnya.
 
Wallahu a’lam bishowab
 

Ditulis oleh:
Abu Abdil Karim Ubaidullah

Tinggalkan Balasan