Bab Kesepuluh: Kesyirikan Menyembelih untuk Selain Allah (bagian keempat)
KAJIAN KITABUT TAUHID (Bag ke-41)
Dalil Keempat:
عَنْ سَلْمَانَ قَالَ: دَخَلَ رَجُلٌ الْجَنَّةَ فِي ذُبَابٍ وَدَخَلَ رَجُلٌ النَّارَ فِي ذُبَابٍ، مَرَّ رَجُلاَنِ عَلَى قَوْمٍ قَدْ عَكَفُوا عَلَى صَنَمٍ لَهُمْ وَقَالُوا : لاَ يَمُرُّ عَلَيْنَا الْيَوْمَ أَحَدٌ إِلاَّ قَدَّمَ شَيْئًا. فَقَالُوا لأَحَدِهِمَا : قَدِّمْ شَيْئًا، فَأَبَى فَقُتِلَ. وَقَالُوا : لِلآخَرِ : قَدِّمْ شَيْئًا، فَقَالُوا : قَدِّمْ وَلَوْ ذُبَابًا. فَقَالَ : وَأَيْشٍ ذُبَابٌ , فَقَدَّمَ ذُبَابًا فَدَخَلَ النَّارَ ، فَقَالَ سَلْمَانُ : فَهَذَا دَخَلَ الْجَنَّةَ فِي ذُبَابٍ , وَدَخَلَ هَذَا النَّارَ فِي ذُبَابٍ
Dari Salman radhiyallahu anhu beliau berkata: Seseorang masuk Surga karena lalat dan masuk Neraka karena lalat. Dua orang laki-laki berjalan akan melewati suatu kaum yang sedang beri’tikaf (berdiam di samping) berhala mereka. Kaum itu berkata: Kami tidak akan membiarkan seorangpun lewat pada hari ini kecuali ia mempersembahkan sesuatu (untuk berhala). Mereka berkata kepada orang pertama: Persembahkan sesuatu. Orang itu menolak, kemudian ia dibunuh. Mereka juga berkata kepada satu orang lagi: Persembahkan sesuatu. Mereka berkata: Persembahkan sesuatu meski itu hanya seekor lalat. Orang itu berkata: Lalat yang mana saja? Kemudian ia mempersembahkan satu ekor lalat (pada berhala) kemudian dia masuk Neraka. Salman berkata: Maka ini ada satu orang masuk Surga karena lalat dan ada seseorang yang masuk Neraka karena lalat.
(Riwayat Ibnu Abi Syaibah, Ahmad dalam az-Zuhud, dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Awliyaa’. Riwayat Ibnu Abi Syaibah sanadnya shahih, semua perawinya adalah rijal al-Bukhari atau Muslim)
Baca bagian sebelumnya: Bab Kesepuluh: Kesyirikan Menyembelih untuk Selain Allah (bagian ketiga)
Penjelasan Dalil Keempat:
Hadits ini adalah hadits mauquf (ucapan Sahabat Nabi) namun hukumnya adalah hukum marfu’ (sama dengan ucapan Nabi) karena kisah yang disampaikan tidak mungkin berdasarkan ijtihad. Para Ulama berbeda pendapat apakah Sahabat Nabi Salman al-Farisy mendasarkan ucapannya tersebut berdasarkan Israiliyyat atau memang berasal dari Nabi.
Hadits ini mengisahkan kejadian pada umat sebelum kita. Ada dua orang yang berpapasan dengan suatu kaum penyembah berhala. Kaum ini tidak membiarkan siapapun lewat kecuali harus memberikan persembahan kurban kepada berhalanya. Satu orang yang tetap di atas tauhid tidak mau sama sekali mempersembahkan apapun kecuali kepada Allah. Dalam riwayat Ahmad, orang yang bertauhid itu menyatakan:
مَا كُنْتُ لِأُقَرِّب لِأَحَدٍ شَيْئًا دُوْنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
Aku tidak akan mempersembahkan sesuatu kepada siapapun selain Allah Azza Wa Jalla
Maka orang yang bertauhid ini kemudian dibunuh, sehingga ia masuk Jannah (Surga).
Sedangkan kepada satu orang lagi, kaum ini menyatakan: berikan persembahan. Orang yang kedua ini –dalam riwayat Ahmad- menyatakan:
لَيْسَ عِنْدِي شَيْءٌ
Saya tidak punya apa-apa
Ia tidak mengatakan: Saya tidak akan mempersembahkan apapun kepada selain Allah. Artinya, kalau ia punya sesuatu untuk dipersembahkan, ia akan persembahkan (penjelasan Syaikh Sholih al-Fauzan).
Kaum itu kemudian menyatakan: Persembahkan sesuatu meski hanya seekor lalat. Maka orang itupun mempersembahkan seekor lalat untuk berhala itu, kemudian ia masuk anNaar (Neraka).
Hal ini menunjukkan masalah akidah tidaklah bisa dianggap enteng dan ringan. Kita perhatikan dalam hadits tersebut bahwa seorang bisa masuk Neraka karena ia berkurban untuk selain Allah, meski itu hanya seekor lalat yang sangat kecil dan hina. Tapi akibatnya sangat besar.
Mungkin timbul pertanyaan:
Bagaimana dengan kita saat ini. Jika kita dipaksa dengan ancaman akan dibunuh, tapi harus berbuat kesyirikan, apakah kita harus menolak terang-terangan kesyirikan itu meski kita harus terbunuh? Atau ada keringanan selama hati kita masih beriman dan mentauhidkan Allah?
Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithy rahimahullah menjelaskan bahwa pada umat sebelum kita belum ada keringanan jika orang dipaksa berbuat atau berucap kekafiran. Berbeda dengan di umat Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam. Ada keringanan dari Allah bagi umat Nabi Muhammad yang ingin menghindar dari ancaman yang berat (ancaman pembunuhan) dan dipaksa untuk mengucapkan atau berbuat kekafiran, maka yang demikian boleh dilakukan, selama hatinya mengingkarinya dan tetap tenang dalam keimanan.
Beliau menjelaskan itu dalam 2 kitabnya yang agung Adhwaul Bayaan (3/251) dan Daf’u Iihaamil Idhthiroob (1/55) serta menyebutkan hadits ini sebagai dalil bahwa pada umat terdahulu tidak ada keringanan itu.
Beliau menyebutkan beberapa dalil lain bahwa kekhususan umat ini yang mendapatkan keringanan dalam hal jika dipaksa untuk berbuat kekafiran/ kesyirikan:
…إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْأِيمَانِ…
Kecuali orang yang dipaksa sedangkan hatinya tetap tenang dalam keimanan (Q.S anNahl: 106)
…وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلَالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ…
…dan dia (Nabi Muhammad) menghilangkan dari mereka (umat beliau) (beban-beban) yang memberatkan dan menyulitkan yang sebelumnya ada pada mereka (umat sebelumnya)… (Q.S al-A’raaf ayat 107)
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
Sesungguhnya Allah memaafkan dari umatku ketidaksengajaan, lupa, dan hal-hal yang dipaksakan kepadanya (H.R Ibnu Majah)
Hadits ini dijadikan dalil dalam bab ini untuk menunjukkan bahayanya berkurban untuk selain Allah dan itu termasuk kesyirikan. Keharaman berkurban untuk selain Allah itu tidak terhapus hingga syariat Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam.
Penulis:
Abu Utsman Kharisman