Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Jika Suami Meninggalkan Istri Dalam Waktu yang Lama Kemudian Kembali, Bagaimana Status Pernikahannya?

Pertanyaan:

Seorang pendengar dari Republik Mesir yaitu Abdussalam Athiyyah bertanya: Saya mendengar bahwa seorang yang meninggalkan istrinya selama 6 bulan atau lebih, wajib baginya jika kembali pada istrinya itu untuk melakukan akad nikah syar’i yang baru. Saya selama 3 tahun berturut-turut telah meninggalkan istri saya. Apakah yang diucapkan orang-orang tersebut (bahwa sang suami yang lama meninggalkan istrinya kemudian kembali harus akad baru, pen) adalah ucapan yang benar?

Jawaban Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah menyatakan:

Ini tidak benar. Kalau seorang suami meninggalkan istrinya meski bertahun-tahun, ia tetap dalam ikatan pernikahan itu.

Kecuali jika hakim syar’i membatalkan pernikahannya. Apabila sang istri mengadu kepada hakim syar’i dan hakim menetapkan pembatalan pernikahan, hal ini dikembalikan pada hakim. Apabila ia hendak kembali pada istrinya itu dengan akad baru, itu dikembalikan pada hakim.

Adapun jika sang istri tetap dalam keadaannya, tidak menuntut cerai, dan tidak menuntut pembatalan pernikahan, maka nikahnya tetap seperti semula. Ia tetap istrinya yang sah. Tidak perlu akad baru. Baik masa meninggalkannya sebentar ataupun lama.

Namun, semestinya seorang mukmin berusaha untuk tidak lama-lama meninggalkan istrinya. Karena sang istri dalam kondisi yang membahayakan. Dia pun dalam kondisi yang membahayakan. Mestinya ia memiliki perhatian yang besar terhadap istrinya, jangan meninggalkannya dalam waktu yang lama. Allah Yang Maha Suci berfirman:

 وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Dan pergaulilah mereka (para istri kalian) secara ma’ruf (baik)(Q.S anNisaa’ ayat 19)

Bukanlah termasuk hal yang ma’ruf ketika seseorang lama meninggalkan istrinya. Hendaknya ia mendatangi istrinya di waktu-waktu tertentu hingga berakhir masa (tugas/pekerjaannya) itu. Misalkan setiap 3 bulan sekali, setiap dua bulan sekali, setiap 4 bulan sekali. Sehingga jangan sampai dalam durasi yang sangat lama meninggalkannya.

Diriwayatkan dari Umar bahwasanya ia ditanya tentang pejuang yang berjihad, diberi waktu (maksimal) 6 bulan. Apabila seseorang meninggalkan istrinya selama 6 bulan untuk keperluan penting, tidak mengapa, insyaallah.

Namun, semakin pendek durasi (masa meninggalkan istri), itu lebih utama dan lebih berhati-hati. Terutama di zaman ini yang begitu banyak fitnah, begitu banyak kejahatan, dan sedikit orang yang bersabar.

Semestinya seorang yang beriman mengenal kadar waktunya. Jangan terlalu lama meninggalkan istri. Hendaknya ia menjenguknya di waktu-waktu tertentu di sela-sela safarnya.

Atau ia bawa istrinya jika memungkinkan dalam safar itu. Kalau tidak memungkinkan, jenguklah sang istri di masa-masa yang kurang dari 6 bulan. Misalkan dalam 2 bulan sekali, tiga bulan sekali, atau 4 bulan sekali. Setiap kali mudah baginya, jenguklah istrinya itu selama beberapa hari, kemudian ia kembali. Hingga berakhir masa kerja/tugasnya.

Kita memohon kepada Allah taufiq untuk seluruhnya. Demikian


Sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas/9727/حكم-غياب-الزوج-عن-زوجته-مدة-طويلة

Transkrip Fatwa dalam Bahasa Arab:

السؤال: مستمع من جمهورية مصر العربية هو عبدالسلام عطية يقول: سمعت أن من غاب عن زوجته ستة أشهر، أو أكثر؛ يجب عليه عند وصوله إليها أن يعقد عليها عقدًا شرعيًا جديدًا، وأنا غبت عنها ثلاث سنوات متتالية، فهل ما قاله الناس صحيح

الجواب من الشيخ عبد العزيز بن عبد الله بن باز رحمه الله :

هذا ليس بصحيح، لو غاب عنها سنوات هو على نكاحه، إلا إذا فسخه الحاكم الشرعي، إذا اشتكت إلى الحاكم الشرعي، وفسخه الحاكم الشرعي؛ فهذا يراجع فيه الحاكم، إذا أراد العودة إليها بعقد جديد؛ يراجع الحاكم، أما إذا كانت على حالها لم تطلب الطلاق، ولم تفسخ؛ فنكاحه باقي، وزوجته باقية في حباله وعصمته، وليس هناك حاجة للعقد، سواء كانت مدة قصيرة أو طويلة

لكن ينبغي للمؤمن أن يجتهد في عدم الإطالة؛ لأن المرأة خطر، وهو عليه خطر أيضًا، كذلك لطول الغيبة، فينبغي له أن يكون عنده عناية بزوجته، وألا يطول الغيبة عنها، والله يقول سبحانه: وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ [النساء:19]، وليس من المعروف طول الغيبة، بل ينبغي له أن يأتي إليها بين وقت وآخر حتى تنتهي مدته، كل ثلاثة أشهر كل شهرين كل أربعة أشهر، حتى لا تطول الغيبة

وقد روي عن عمر أنه سئل عن هذا من جهة الغزاة؛ فوقت لهم ستة أشهر، فإذا غاب ستة أشهر لحاجة مهمة؛ فلا بأس إن شاء الله، ولكن كل ما أمكن من التقصير، وعدم التطويل؛ فهو أولى وأحوط، ولا سيما في هذا العصر الذي كثرت فيه الفتن، وكثرت فيه الشرور، وقل فيه الصبر

فينبغي للمؤمن أن يعرف قدر وقته، وألا يطيل الغربة عن زوجته، بل يزورها بين وقت وآخر من سفره، أو يحملها معه حيث أمكن حملها معه في السفر، وإلا فليأت بين وقت وآخر أقل من ستة أشهر، في شهرين.. ثلاثة.. أربعة، كلما تيسر له جاء، وزار أيامًا، ثم رجع حتى ينتهي عمله، نسأل الله للجميع التوفيق. نعم

Penerjemah: Abu Utsman Kharisman

Tinggalkan Balasan