Ming 1 Jumadil awal 1446AH 3-11-2024AD

Hukum Memungut Bayaran dari Sebuah Fatwa (Keputusan)

Pertanyaan:

Jika seorang mufti melakukan suatu pekerjaan, semisal membagi warisan dan meminta imbalan (darinya) apakah hal itu diperbolehkan?

Jawaban Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz rahimahullah:

Ini berbeda-beda (keadaannya), dan ada rinciannya. Berbeda lagi jika seorang mufti mempunyai sesuatu untuk menjaga keadaannya dan merasa cukup dari (pemberian) manusia; dari baitul maal, wakaf atau dari dana penduduk desa, maka dia tidak berhak mengambil apa-apa, bahkan ia harus mengeluarkan fatwa kepada mereka dan menjelaskan tentang pembagian harta warisan, yang ini (si A) mendapatkan sekian, yang ini (si B) mendapatkan sekian dan yang ini (si C) mendapatkan sekian.

Adapun jika dia miskin dan dia telah (fokus) mendedikasikan pada pekerjaan mereka, para ulama telah menyebutkan bahwa tidak mengapa mensyaratkan dengan sesuatu yang diketahui dari mereka, tetapi tidak boleh berat sebelah (pilih kasih) kepada siapapun, sampai dia menjaga kondisinya. Yaitu setiap fatwa (ada nilainya) satu dirham dan setiap keputusan (ada nilainya) satu dirham, atau dua dirham, atau begitulah.

Hal ini disebutkan oleh sebagian ulama, (yang termasuk) sikap wara’ adalah sebisa mungkin meninggalkannya, namun ada sebagian ulama mengatakan bolehnya bagi hakim dan mufti untuk menentukan (tarifnya) dengan sesuatu yang diketahui, yang dengannya ia dapat memenuhi kebutuhan dan perbekalannya, jika ia terpaksa (untuk melakukan itu) dan ia tidak mempunyai gaji dari baitul maal, tidak pula dari (lembaga) wakaf atau dari pihak manapun, sedangkan dia membutuhkan hal itu, dan dia tidak mempunyai daya untuk mencari keuntungan (nafkah).

Sekelompok ulama telah menyebutkan, bolehnya mengharuskan (mensyaratkan tarif) dengan sesuatu yang diketahui kepada pihak-pihak yang berselisih, tanpa memihak kepada siapapun, termasuk para penanya, (yakni) semua orang yang datang meminta fatwa akan melakukan ini (hal yang sama).

Maka hal ini sesungguhnya adalah sesuatu yang berbahaya, dan sekiranya ia mampu untuk bersikap wara’ dan menjauhinya dengan berbagai cara, itu lebih baik bagi orang yang beriman, dan lebih baik bagi seorang mufti.


Sumber:

https://binbaz.org.sa/fatwas/2728/حكم-اخذ-الاجرة-على-الفتوى

Naskah fatwa dalam bahasa Arab:

حكم أخذ الأجرة على الفتوى

السؤال

لو عمل هذا المفتي بشيء من الأعمال، كقسمة المواريث، وطلب عليها الأجر، فهل يكون ذلك مباحًا له؟

الجواب

هذا يختلف، فيه تفصيل، هذا يختلف إذا كان المفتي له ما يقوم بحاله، ويغنيه عن الناس من بيت المال، أو من الأوقاف، أو من أهل القرية، فليس له أن يأخذ شيئًا، بل عليه أن يفتيهم، ويبين لهم قسمة المواريث، هذا له كذا، وهذا له كذا، وهذا له كذا

أما إذا كان فقيرًا، قد تفرغ لأعمالهم، فقد ذكر العلماء أنه لا بأس أن يشرط عليهم شيئًا معلومًا، لكن ليس فيه محاباة لأحد، حتى يقوم بحاله، يعني كل فتوى يكون له درهم، وكل حكم فيه درهم، أو درهمين، أو كذا

هذا ذكره بعض أهل العلم، والورع تركه مهما أمكن، وإلا نص بعض أهل العلم على أنه يجوز للحاكم، والمفتي أن يضع شيئًا معلومًا، يستعين به على حاجاته، ومؤنته إذا اضطر إلى ذلك، وليس له راتب من بيت المال، ولا من الأوقاف، ولا من أي جهة، وهو محتاج إلى هذا الشيء، وليس له كسب

قد ذكر جمع من أهل العلم: أنه يجوز أن يفرض شيئًا معلومًا على المتخاصمين، لا يحابي أحدًا، أو على المستفتين، كل من جاء للفتوى يكون عليه كذا، فهذا في الحقيقة أمر خطير، وإذا تيسر الورع عنه، والبعد عنه بأي وسيلة؛ فهو خير للمؤمن، وخير للمفتي

Penerjemah: Abu Abdillah Yusril

Tinggalkan Balasan