Ketika Seorang Guru Menegur Keras Muridnya Sesuai Fakta
Adakalanya seorang guru memarahi muridnya. Bukan karena sang guru benci pada muridnya. Tapi itu adalah nasihat dan teguran untuk berbenah. Bagian dari kasih sayang karena tidak ingin muridnya berperilaku menyimpang.
Al-Imam al-Bukhari menulis judul sebuah Bab dalam Kitabul Ilmi Shahih al-Bukhari:
بَاب: الْغَضَبِ فِي الْمَوْعِظَةِ وَالتَّعْلِيمِ، إِذَا رَأَى مَا يَكْرَهُ
Bab : Marah dalam Menyampaikan Nasihat dan Pengajaran Ketika Melihat Hal yang Dibenci (Bab ke-28 Kitabul Ilmi Shahih al-Bukhari)
Dalam bab itu, al-Imam al-Bukhari menyebutkan 3 hadits yang mengisahkan kemarahan Nabi saat menyampaikan pengajaran ilmu dan nasihat:
Hadits pertama: hadits dari Sahabat Abu Mas’ud al-Anshariy, Nabi marah ketika mengetahui ada orang yang mengimami manusia dalam durasi yang terlalu lama. Hal itu bisa membuat manusia lari menjauh dari penerapan agama, tidak mau menghadiri shalat berjamaah.
Hadits kedua: hadits dari Sahabat Zaid bin Kholid al-Juhaniy, Nabi marah karena ada yang mempertanyakan bagaimana bersikap terhadap unta yang hilang terlepas dari tuannya. Padahal unta itu bisa menjaga dirinya.
Hadits ketiga: hadits dari Sahabat Abu Musa al-Asy’ariy, Nabi menampakkan wajah marah ketika begitu banyak orang yang bertanya sampai dalam hal-hal yang sebenarnya tidak perlu ditanyakan, karena tidak berkaitan dengan ilmu syariat. Meskipun beliau selalu menjawab pertanyaan yang diajukan.
Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhaliy hafidzhahullah menyatakan: “Disyariatkannya marah ketika menyampaikan nasihat apabila orang yang menyampaikan nasihat atau ilmu melihat hal yang dibenci. Hal itu disyariatkan dan terpuji, bukanlah tercela. Karena marah saat menyampaikan nasihat ataupun ilmu dalam perkara yang diperlukan untuk bersikap demikian lebih berkesan dan memberikan pengaruh pada jiwa manusia” (Nuzhatul Qooriy fi Syarhi Kitabil Ilmi min Shahih al-Bukhari halaman 151)
Adalah sikap yang bodoh dari sang murid jika ketika guru marah kepadanya, sang murid segera menghindar tidak lagi mau mengambil ilmu dari guru itu. Dengan alasan gurunya telah bersikap buruk akhlaknya, hingga ia menjauhinya.
Nasihat semakna itu pernah disampaikan oleh al-Imam Sufyan bin Uyainah rahimahullah, dikutip oleh al-Imam asy-Syafii rahimahullah.
قَالَ الشَّافِعِيُّ: قِيلَ لِسُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ: إِنَّ قَوْمًا يَأْتُونَكَ مِنْ أَقْطَارِ الأَرْضِ، تَغْضَبُ عَلَيْهِمْ، يُوشِكُ أَنْ يَذْهَبُوا وَيَتْرُكُوكَ. قَالَ: هُمْ حُمْقَى إِذَنْ مِثْلَكَ، أَنْ يَتْرُكُوا مَا يَنْفَعَهُمْ لِسُوءِ خُلُقِي
Asy-Syafii menyatakan: Ada yang berkata kepada Sufyan bin Uyainah: Sesungguhnya suatu kaum mendatangi anda dari berbagai penjuru bumi. Tapi anda kemudian marah kepada mereka. Bisa jadi mereka akan pergi dan menjauhi anda. Sufyan bin Uyainah berkata: Mereka dungu sepertimu jika sampai pergi meninggalkan (ilmu) yang bermanfaat untuk mereka dengan alasan karena buruknya akhlakku (riwayat Ibnu Abi Hatim dalam Aadabusy Syafii wa Manaqibuh 1/158)
Para Masyayikh Ahlussunnah adalah guru-guru bagi para asatidzah di Indonesia. Teguran keras dari para masyayikh itu adalah nasihat yang sangat berharga. Meskipun terasa pahit. Sangat pahit bahkan. Namun, jika diterima dengan keikhlasan hati, itu sebuah cambuk untuk berbenah diri. Bukan dimaknai sebagai celaan yang menyakitkan hati.
Saat para masyayikh Ahlussunnah itu mengikuti perkembangan fitnah perpecahan dari sejak masa pandemi dengan seksama dari awal, bahkan sebagiannya menjadi pihak yang disodori data-data dari para asatidzah itu, terlebih para asatidzah disuruh merevisi data yang dikirim dan telah dikirim ulang, ikut dalam sebagian jalsah secara langsung, menyimak perkembangan bagaimana sepak terjang para asatidzah itu dalam menerapkan komitmen yang telah dibuat bersama, maka nasihat darinya adalah berdasarkan ilmu dan hikmah.
Teguran keras dari masyayikh dengan ungkapan “Shifr alasy Syimal” yang bisa diartikan nol besar atau kosong sama sekali adalah nasihat dari Ahlul Ilmi. Teguran keras bahwa sikap para asatidzah jumhur itu kosong sama sekali dari hujjah yang bisa dipertanggungjawabkan. Saat diajak diskusi internal, diskusi persaudaraan sesama Salafiyyin di Indonesia, selalu menghindar. Saat di hadapan masyayikh, tidak bisa menyampaikan hujjah ilmiah. Seakan-akan menerima komitmen bersama, tapi secara kenyataan tidak diterapkan. Sikap para asatidzah jumhur itu kosong sama sekali dari penerapan bimbingan Ulama. Bukan celaan, itu adalah nasihat.
Sebagian orang mungkin akan beralasan: “Bukankah Masyayikh Ahlussunnah bukanlah orang-orang yang maksum yang terjaga dari kesalahan?”. Jawabannya adalah benar. Tidak ada seorang pun Ahlussunnah Salafiy yang menilai bahwa secara pribadi masyayikh Ahlussunnah terluput dari kesalahan. Namun, yang menjadi masalah adalah: Siapakah Masyayikh Ahlussunnah yang membenarkan sikap asatidzah jumhur untuk menjauhi para asatidzah Ma’had Minhajul Atsar Jember dan yang bersama mereka? Siapakah Masyayikh Ahlussunnah yang tidak mendukung pelaksanaan Daurah Imam al-Muzani dari sejak yang pertama hingga yang akan berlangsung yaitu ke-3?
Jika ada yang menyatakan: Ada, seorang Syaikh yang mendukung sikap asatidzah jumhur yang tidak ingin disebut namanya? Maka kita katakan: Sebutkan wahai saudaraku, siapa beliau. Agar bisa menjadi bagian dari penyampaian ilmu. Tapi apabila tidak disebutkan, menjadi 2 kemungkinan: Kemungkinan pertama, itu hanya dugaan yang tidak beralasan, kemungkinan kedua: penyampaian dari Syaikh tersebut telah disalahpahami.
Bukankah hadits yang shahih adalah hadits yang tidak mengandung sisi kelemahan, di antaranya tidak adanya perawi yang mubham (tidak tegas disebut namanya), maupun perawi yang majhul (tidak dikenal)? Ke mana pelaksanaan ilmu antum selama ini?
Seorang Salafiy yang jujur akan mempertanyakan: Benarkah sikap kami, jika ternyata tidak ada seorang pun masyayikh Ahlussunnah yang membenarkannya? Sebagaimana seseorang bisa saja punya penilaian dan hipotesis terkait kesehatan dirinya atau orang lain, tapi jika semua dokter yang berkompeten tidak ada yang membenarkan penilaian maupun hipotesis dia, apakah bisa dibenarkan dugaan dan sikap yang dilandasi penilaian itu? Sedangkan dokter yang sudah menjadi tempat konsultasi dia secara langsung justru menyalahkan penilaian dia itu? Tapi karena penilaian dokter itu tidak nyaman dirasakan: kemudian dia menyatakan: Bukankah dokter tidak luput dari kesalahan? Kadang juga salah mendiagnosa dan memberikan arahan?
Para masyayikh paham bahwa timbulnya suatu konflik bukanlah mutlak kesalahan satu pihak. Namun, masyayikh juga paham siapa di antara dua pihak itu yang dalam perjalanannya mau mengikuti nasihat dan teguran. Satu pihak mau berbenah, mengakui kesalahan –pernyataan permohonan maafnya disebarluaskan – sedangkan pihak lain tidak pernah mengakui kesalahannya, namun terkesan tidak bersalah sama sekali. Intinya adalah telah menuduh saudaranya menyimpang keluar dari manhaj Salaf, layak dijauhi, tapi penyampaian data-data yang disampaikan kepada Ulama tidak dibenarkan. Tidak valid dan tidak layak dijadikan hujjah. Padahal data yang disampaikan sudah direvisi ulang dalam rentang waktu berbulan-bulan kesempatan merevisinya.
Adakah secuil permintaan maaf: Kami mohon maaf, karena telah mengajak para ikhwah untuk menjauhi fulan, mengeluarkan anak-anaknya dari ma’had fulan, mengakibatkan perpecahan yang demikian meluas? Kami memohon maaf, karena ternyata tuduhan-tuduhan kami selama ini tidak benar? Kami mohon maaf, karena kami terlanjur bersikap sebelum berkonsultasi dengan Ulama?
Alhamdulillah pelaksanaan Daurah Imam al-Muzani dari sejak penyelenggaraan pertama selalu dan insyaallah akan disebarluaskan melalui radio Ahlussunnah Miratsul Anbiyaa’ (https://miraath.net). Sebuah saluran radio yang didukung penuh oleh Syaikh Robi’ bin Hadi al-Madkhaliy dari sejak kemunculannya. Syaikh Robi’ juga mengharapkan kepada Syaikh Sholih al-Luhaidan pada 15/8/1433 H untuk terlibat aktif mendukung saluran radio Salafiyyin tersebut. Tidak sulit bagi kita mendapatkan rekaman audio-audio Syaikh Robi’ maupun Ulama Ahlussunnah lainnya di saluran radio Miratsul Anbiyaa’. Bahkan, Syaikh Robi’ memberikan arahan secara khusus saat dibukanya saluran radio tersebut yang menambah fungsinya pada bahasa tertentu.
Mari saudaraku, saat Masyayikh Ahlussunnah berkunjung ke Indonesia, mari duduk bersama. Saling menimba ilmu yang berlimpah, berdiskusi ilmiah, saling membantu dan menguatkan di atas dakwah Salafiyyah. Belum terlambat kesempatan itu. Kalaupun seorang udzur hadir secara langsung, setidaknya dukungannya bisa diwujudkan dalam bentuk lain, baik dukungan moril, tenaga, pikiran, ataupun dana. Agar dakwah Salafiyyah Ahlussunnah ini semakin kuat dan tersebar menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Saluran resmi telegram Daurah Imam al-Muzani yang memfasilitasi itu adalah: t.me/daurahimamalmuzani.
Semoga Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan rahmat, taufiq, pertolongan, dan ampunan-Nya kepada segenap kaum muslimin.
(ditulis menjelang pelaksanaan Daurah Imam al-Muzani ke-3, Jumat 20 Muharram 1446 H/ 26 Juli 2024 M oleh Abu Utsman Kharisman)