Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Jangan Terburu Menilai Sosok Tertentu Kala Marah Maupun Cemburu

Tidak ada manusia yang makshum selain Nabi shallallahu alaihi wasallam. Termasuk dalam kemampuan menahan diri mencela dan melontarkan ucapan buruk terhadap orang lain, bahkan terhadap sesama sosok mulia. Terkhusus di saat mengalami ketidakstabilan emosi, tersulut marah atau terusik kecemburuannya.

Al Hafidz Syamsuddin Muhammad Bin Ahmad Adz Dzahabi (w. 748 H) rahimahullah menyatakan,

ﻭﻣﺎ ﺯاﻝ ﻳﻤﺮ ﺑﻲ اﻟﺮﺟﻞ اﻟﺜﺒﺖ ﻭﻓﻴﻪ ﻣﻘﺎﻝ ﻣﻦ ﻻ ﻳﻌﺒﺄ ﺑﻪ ﻭﻟﻮ ﻓﺘﺤﻨﺎ ﻫﺬا اﻟﺒﺎﺏ ﻋﻠﻰ ﻧﻔﻮﺳﻨﺎ ﻟﺪﺧﻞ ﻓﻴﻪ ﻋﺪﺓ ﻣﻦ اﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﻭاﻟﺘﺎﺑﻌﻴﻦ ﻭاﻻﺋﻤﺔ

“Dan sering kali aku menemukan pada biografi tokoh yang masuk kategori kukuh tingkat keterpercayaannya tetap saja ada kritikan yang tidak perlu digubris. Kalaulah seandainya kita beri peluang (kritikan semacam itu) untuk kita terima, niscaya akan dipermasalahkan sekian banyak nama tokoh besar dari kalangan sahabat, tabi’in dan para imam.”

Hingga ucapan beliau,

ﻓﻤﺎ ﻫﻢ ﺑﻤﻌﺼﻮﻣﻴﻦ

“Sehingga mereka semua bukanlah sosok-sosok yang makshum (yang terbebas dari kesalahan).” (Ar Ruwat Ats Tsiqot Al Mutakallam Fihim hal. 23)

Apabila kita memahami kelemahan manusiawi ini, hendaklah kita tidak terburu menetapkan vonis dan menjadikan pijakan sikap negatif kala kita mendengar ucapan buruk dari sesama ahlussunnah. Redam dan tanggapilah dengan hati lapang dan penuh kesabaran, akan baik akibatnya biidznillah.

Ibnu Abdil Bar (Abu Umar Yusuf Al Qurthubi, w. 463 H) rahimahullah mengingatkan kita dengan satu bab “Hukum Ucapan (buruk) Antar Ulama Satu Sama Lainnya”,

Beliau meriwayatkan antara lain,

“Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma beliau berkata:

ﺧﺬﻭا اﻟﻌﻠﻢ ﺣﻴﺚ ﻭﺟﺪﺗﻢ ﻭﻻ ﺗﻘﺒﻠﻮا ﻗﻮﻝ اﻟﻔﻘﻬﺎء ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻓﻲ ﺑﻌﺾ؛ ﻓﺈﻧﻬﻢ ﻳﺘﻐﺎﻳﺮﻭﻥ ﺗﻐﺎﻳﺮ اﻟﺘﻴﻮﺱ ﻓﻲ اﻟﺰﺭﻳﺒﺔ

“Silakan kalian mendulang ilmu dari siapapun (ulama sunnah) yang bisa kalian dapatkan. Namun janganlah kalian (begitu saja) menerima ucapan (buruk) antar sesama ahli fiqh. Karena mereka memiliki naluri kecemburuan sebagaimana kecemburuan kambing-kambing di kandangnya.” (Jami’ Bayan Al ‘Ilmi wa Fadhlihi 2/1091)

ﻭﻗﺪ ﻛﺎﻥ ﺑﻴﻦ ﺃﺻﺤﺎﺏ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﺟﻠﺔ اﻟﻌﻠﻤﺎء ﻋﻨﺪ اﻟﻐﻀﺐ كلام ﻫﻮ ﺃﻛﺜﺮ ﻣﻦ ﻫﺬا

“Dan sungguh (sejak) dulu telah terjadi (fenomena semacam itu) antar sesama sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam begitu pula antar para ulama yang mulia tatkala mereka marah, dengan ucapan-ucapan buruk yang lebih parah dari (beberapa contoh yang telah disebutkan) ini.

ﻭﻟﻜﻦ ﺃﻫﻞ اﻟﻌﻠﻢ ﻭاﻟﻔﻬﻢ ﻭاﻟﻔﻘﻪ ﻻ ﻳﺘﻠﻔﺘﻮﻥ ﺇﻟﻰ ﺫﻟﻚ ﻷﻧﻬﻢ ﺑﺸﺮ ﻳﻐﻀﺒﻮﻥ ﻭﻳﺮﺿﻮﻥ، ﻭاﻟﻘﻮﻝ ﻓﻲ اﻟﺮﺿﺎ ﻏﻴﺮ اﻟﻘﻮﻝ ﻓﻲ اﻟﻐﻀﺐ

Akan tetapi, orang-orang yang berilmu, berpemahaman baik, dan yang berpengetahuan mendalam tentu tidak akan menggubris hal-hal semacam itu.

Karena (bisa dimaklumi) bahwa mereka semua hanya manusia (biasa) yang bisa mengalami rasa marah maupun ridha.

Sementara jelas ucapan yang terlontar saat ridho berbeda dengan yang keluar di kala marah.

“ﻭﻟﻘﺪ ﺃﺣﺴﻦ اﻟﻘﺎﺋﻞ: “ﻻ ﺗﻌﺮﻑ اﻟﺤﻜﻴﻢ ﺇﻻ ﺳﺎﻋﺔ اﻟﻐﻀﺐ

Sungguh baik ungkapan seorang (sastrawan) yang menyatakan; ‘Belum bisa dikenali kadar hikmahnya seorang yang bijak, kecuali saat dia marah’.”

Kemudian Ibnu Abdil Bar rahimahullah menyebutkan sekian banyak kutipan contoh-contoh kritikan dan celaan antar tokoh besar di masa lalu dalam bab ini. Dan tidaklah ulama rabbani menggubris keadaan semacam itu sebagai dalih untuk menjatuhkan sesamanya. Lalu beliau juga menukilkan:

ﻭﻗﺪ ﺭﻭﻱ ﻋﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﺃﻧﻪ ﻗﻴﻞ ﻟﻪ: ﻣﻦ ﺃﻳﻦ ﻗﻠﺖ ﻓﻲ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺇﺳﺤﺎﻕ ﺃﻧﻪ ﻛﺬاﺏ؟ ﻓﻘﺎﻝ: ﺳﻤﻌﺖ ﻫﺸﺎﻡ ﺑﻦ ﻋﺮﻭﺓ ﻳﻘﻮﻟﻪ، ﻭﻫﺬا ﺗﻘﻠﻴﺪ ﻻ ﺑﺮﻫﺎﻥ ﻋﻠﻴﻪ، ﻭﻗﻴﻞ ﻟﻬﺸﺎﻡ ﺑﻦ ﻋﺮﻭﺓ: ﻣﻦ ﺃﻳﻦ ﻗﻠﺖ ﺫﻟﻚ؟ ﻗﺎﻝ: ﻫﻮ ﻳﺮﻭﻱ ﻋﻦ اﻣﺮﺃﺗﻲ ﻭﻭاﻟﻠﻪ ﻣﺎ ﺭﺁﻫﺎ ﻗﻂ، ﻗﺎﻝ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ ﻋﻨﺪ ﺫﻛﺮﻩ ﻫﺬﻩ اﻟﺤﻜﺎﻳﺔ: ﻗﺪ ﻳﻤﻜﻦ اﺑﻦ ﺇﺳﺤﺎﻕ ﺃﻥ ﻳﺮاﻫﺎ ﺃﻭ ﻳﺴﻤﻊ ﻣﻨﻬﺎ ﻣﻦ ﻭﺭاء ﺣﺠﺎﺏ ﻣﻦ ﺣﻴﺚ ﻟﻢ ﻳﻌﻠﻢ ﻫﺸﺎﻡ

“Dan sungguh telah diriwayatkan dari Malik bahwa pernah ditanyakan kepada beliau, “Atas dasar apakah anda menyatakan bahwa Muhammad Bin Ishaq pendusta?” Beliau rahimahullah menjawab, “(Dasarnya) Aku telah mendengar Hisyam Bin ‘Urwah telah mengatakan (penilaian) itu.” Sehingga ini jelas taqlid yang tidak memiliki bukti terhadap penilaiannya. Dan saat ditanyakan kepada Hisyam Bin ‘Urwah, “Dari bukti apa anda menyatakan seperti itu?” Dia berkata, “Orang itu (Muhammad Bin Ishaq) mengaku telah meriwayatkan dari istriku, padahal demi Allah istriku belum pernah melihatnya!”

(Sehingga) Imam Ahmad Bin Hanbal rahimahullah pada saat penyebutannya terhadap hikayat ini, “Masih ada kemungkinan bahwa Ibnu Ishaq (benar-benar) melihatnya atau sekadar mendengar (riwayat) darinya di balik hijab, dalam keadaan Hisyam memang tidak mengetahuinya.” (Jami’ Bayan Al ‘Ilmi wa Fadhlihi 2/1101)

Mari kita camkan pula petuah Al Hafidz Adz Dzahabi rahimahullah,

ﻭﻫﺬا ﻛﺜﻴﺮ ﻣﻦ ﻛﻼﻡ اﻷﻗﺮاﻥ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻓﻲ ﺑﻌﺾ ﻳﻨﺒﻐﻲ ﺃﻥ ﻳﻄﻮﻯ ﻭﻻ ﻳﺮﻭﻯ ﻭﻳﻄﺮﺡ ﻭﻻ ﻳﺠﻌﻞ ﻃﻌﻨﺎ ﻭﻳﻌﺎﻣﻞ اﻟﺮﺟﻞ ﺑﺎﻟﻌﺪﻝ ﻭاﻟﻘﺴﻂ ﻭﺳﻮﻑ اﺑﺴﻂ ﻓﺼﻼ ﻓﻲ ﻫﺬا اﻟﻤﻌﻨﻰ ﻳﻜﻮﻥ ﻓﺼﻼ ﺑﻴﻦ اﻟﺠﺮﺡ اﻟﻤﻌﺘﺒﺮ ﻭﺑﻴﻦ اﻟﺠﺮﺡ اﻟﻤﺮﺩﻭﺩ ﺇﻥ ﺷﺎء اﻟﻠﻪ

“Dan fenomena semacam ini banyak terjadi pada ucapan sesama tokoh yang setara, kritikan antar sesama mereka (jika tidak terbukti ilmiah) sepantasnya dilipat (lembarannya) dan tidak perlu disampaikan, lemparkan saja dan jangan dijadikan dasar untuk mencela. Dan hendaklah disikapi seorang tokoh dengan sikap adil dan jujur. Dan saya akan memaparkan satu pembahasan khusus tentang makna ini, yang akan dapat memilah secara jelas antara kritikan yang teranggap dibandingkan dengan kritikan yang tertolak, in syaAllah.” (Silakan merujuk ke karya beliau Ar Ruwat Ats Tsiqot Al Mutakallam Fihim hal. 24 dan setelahnya)

Terbatasi Dengan Hasil Penelitian Adil Ulama Ahlussunnah Pakar Bidang Ilmu Rijal

Agar pemahaman kita tidak menjadi lembek, tentunya toleransi dan sikap berhati-hati dalam menerima penilaian kritikan dari orang berilmu terhadap tokoh yang setara perlu memperhatikan batasan-batasan yang dijelaskan para ulama.

Seperti yang telah diisyaratkan Al Hafidz Adz Dzahabi rahimahullah di atas, memang terdapat kaedah dalam ilmu riwayat, yang sekilas seperti mendukung pembahasan kita ini. Yaitu kaedah:

كَـلامُ الأَقْـرَانِ يُـطْـوى ولا يُـرْوى

“Ucapan tokoh yang setara silakan dilipat (lembarannya) tidak perlu disampaikan riwayatnya.”

Apakah berarti tidak digubrisnya kritikan tokoh yang selevel berlaku mutlak? Atau justru berlaku dalam situasi tertentu yang terbatas?

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah pernah ditanya apakah filter praktis dalam menilai kritikan antar sesama tokoh selevel?

Maka beliau rahimahullah menjawab diantaranya,

الضابط أن يُنظر هل هذا الطاعن يحتمل أن يكون طعنه في معاصره بوازع عداوة شخصية أم لا، فاذا كان الاحتمال الأول لم يقبل و اذا كان الاحتمال الآخر قُبل، و كل من الاحتمالين ينبغي أن يدرس دراسة خاصة ، أي لا بد من ترجيح أحد الاحتمالين على الآخر بوجود دليل مرجح

“Parameter praktisnya adalah hendaknya dia memperhatikan apakah tokoh yang mengucapkan celaan itu ada kemungkinan bahwa celaannya terhadap tokoh semasanya muncul dari emosi permusuhan pribadi atau tidak?

Jadi apabila kemungkinan pertama yang terlihat, tidaklah diterima (celaannya). Akan tetapi jika kemungkinan lain yang diperoleh, hendaklah diterima.

Dan masing-masing dari dua kemungkinan tersebut mestinya dipelajari dengan penelitian khusus. Maksudnya, harus dilakukan penelitian mana yang lebih kuat dari dua potensi kemungkinan itu dengan mengacu pada adanya petunjuk yang menguatkan.

مثلا: عالمين متعاصريين بلدين، احتمال أن يكون بينهما شيء من التنافس أكثر مما لو كان المتعاصرين في بلدين بعيدين أحدهما على الآخر ، هذا مما يلفت النظر أن المسئلة تحتاج الى اجتهاد ، كذالك اذا جاء امام بعد ذالك التعاصر و أيضا طعن في من طعن فيه قرينه و معاصره فذالك مما يرجح أن الطعن ليس بسبب المعاصرة بل بسبب أن المطعون فيه يستحق الطعن

Misalkan, 2 sosok berilmu yang sama-sama hidup semasa di negeri yang sama; ada potensi bahwa telah terjadi sebagian dari bentuk persaingan yang lebih besar peluangnya dibandingkan jika keduanya memang hidup semasa namun masing-masingnya hidup terpisah di dua negeri yang berjauhan. Aspek ini termasuk hal yang menurut pandanganku permasalahannya memerlukan ijtihad.

Demikian pula jika ada seorang imam (dakwah) setelah masa tersebut, ternyata dia juga mencela tokoh yang pernah dicela sebelum itu oleh tokoh yang selevel dan semasa, maka hal itu menjadi salah satu penguat bahwa celaan tersebut bukanlah muncul hanya semata (persaingan) semasa, namun karena memang pihak yang dicela pantas untuk mendapat celaan.

ثم يتأكد الأمر في ما اذا تتابع علماء الحديث على تأييد ذالك الطعن على مر العصور، فهناك يتأكد أن رد هذه المطاعن المتوجهة للشخص الواحد انما سببه المعاصرة لأن هذه المعاصرة لم تتحق للذين جائوا من بعد المتعاصرين

Kemudian penilaian itu bisa diperkuat apabila terdapat hasil penelitian ulama hadits yang menguatkan vonis tersebut dalam rentang waktu beberapa masa. Sehingga keadaan tersebut semakin menguatkan bahwa sikap tidak menggubris berbagai celaan yang diarahkan kepada satu sosok tertentu itu karena dalih (kecurigaan persaingan tokoh) semasa (terbantahkan) karena alasan semas tidak ada pada para ulama yang hidup setelah masa dua pihak yang semasa tersebut.” (Fatawa Jeddah, Kaset no. 20 sisi 1)

Bagaimana dengan kita?

Saudaraku, janganlah kita mudah terpancing untuk memvonis bahwa tokoh-tokoh dakwah telah menyimpang hanya berbekal penilaian tidak ilmiah tokoh lain yang selevel dengannya. Begitu pula jangan sampai kita menolak penilaian ulama senior yang pakar dalam penelitian keadaan orang-orang di medan dakwah, hanya karena kerancuan kaedah ilmu riwayat yang dihembuskan para pengacau dakwah. Semoga Allah jaga persatuan ahlussunnah dengan saling bertoleransi di atas kebenaran dengan bimbingan hikmah para ulama, serta memberikan taufiq untuk istiqomah di atas aqidah dan manhaj yang benar.


Penulis: Abu Abdirrohman Sofian

Tinggalkan Balasan