Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Ketentuan Puasa, Sahur, Dan Berbuka Bag 2: Pembatal-Pembatal Puasa

Ada beberapa hal yang membatalkan puasa, yaitu:

  1. Makan dan minum atau perbuatan yang semakna dengan makan dan minum, seperti infus.
  2. Berhubungan suami istri atau mengeluarkan mani secara sengaja
  3. Muntah secara sengaja
  4. Obat tetes hidung
  5. Keluarnya darah haid atau nifas bagi wanita
  6. Memiliki niat dan tekad kuat untuk membatalkan puasa

Makan dan Minum atau Perbuatan yang Semakna dengannya

Telah dijelaskan dalam pembahasan tentang ayat puasa, yaitu pada ayat 187 surat al-Baqoroh bahwa Allah memperbolehkan makan dan minum pada waktu malam, sebelum fajar. Hal itu menunjukkan bahwa di waktu siang (dari Subuh hingga Maghrib), tidak diperbolehkan makan dan minum, maupun yang semakna dengan makan dan minum.

وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلْخَيْطُ ٱلْأَبْيَضُ مِنَ ٱلْخَيْطِ ٱلْأَسْوَدِ مِنَ ٱلْفَجْرِ

Dan makan dan minumlah hingga nampak jelas bagimu benang putih dari benang hitam pada fajar (Q.S al-Baqoroh:187)

Hal-hal yang semakna dengan makan dan minum adalah:

  1. Infus, memasukkan obat dan nutrisi tubuh melalui pembuluh darah. Sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih alUtsaimin.
  2. Cuci darah, sebagaimana dijelaskan oleh Fataawa al-Lajnah adDaaimah (10/19)).
  3. Demikian juga merokok termasuk membatalkan puasa. Dalam istilah bahasa Arab, merokok adalah syurbud dukhon (meminum uap), sehingga semakna dengan meminum. Selain itu ada unsur/ zat yang sampai tenggorokan atau bahkan lambung, sehingga semakna dengan makan atau minum (disarikan dari Majmu’ Fataawa Ibnu Utsaimin 203-204 melalui Fataawa al-Islaam Suaal wa Jawaab)

Berhubungan Suami Istri atau Mengeluarkan Mani dengan Sengaja

Jimak (berhubungan suami istri) di siang hari Romadhon yang dilakukan oleh orang yang wajib berpuasa, selain membatalkan puasa juga mengharuskan pembayaran kaffaroh.

Dalam sebuah hadits dinyatakan:

عَن أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : هَلَكْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ : وَمَا أَهلَكَكَ؟ قَالَ: وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي فِي رَمَضَانَ قَالَ: هَلْ تَجِدُ مَا تُعْتِقُ رَقَبَةً؟ قَالَ : لاَ قَالَ: فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ؟ قَالَ : لاَ فَقَالَ: فَهَلْ تَجِدُ مَا تُطعِمُ سِتِّينَ مِسْكِينًا؟ قَالَ: لاَ قَالَ: ثُمَّ جَلَسَ فَأُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَرَقٍ فِيهِ تَمْرٌ فَقَالَ: تَصَدَّقْ بِهَذَا قَالَ: أَفْقَرَ مِنَّا فَمَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا أَهْلُ بَيْتٍ أَحْوَجُ إِلَيهِ مِنَّا فَضَحِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ : اذْهَب فَأَطْعِمْهُ أَهْلَكَ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu: Datang seseorang kepada Nabi shollallahu alaihi wasallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah binasa!” Rasulullah bertanya, “Apa yang membinasakanmu?” Orang itu menjawab, “Aku telah berhubungan dengan istriku (jimak) di siang Ramadhan.” Rasulullah shollallahu alaihi wasallam kemudian mengatakan, “Mampukah engkau untuk memerdekakan budak?” Ia menjawab, “Tidak.” Kemudian kata beliau, “Mampukah engkau berpuasa selama dua bulan berturut-turut?” Ia menjawab, “Tidak.” Kemudian kata beliau, “Mampukah engkau memberi makan 60 orang miskin?” Ia menjawab, “Tidak.” Kemudian didatangkan satu wadah kurma kepada Nabi dan beliau berkata (kepada laki-laki itu), “Shadaqahkan ini.” Orang itu bertanya, “Kepada yang lebih fakir dari kami? Sungguh di Kota Madinah ini tiada yang lebih membutuhkan kurma ini daripada kami.” Mendengar itu Rasulullah shollallahu alaihi wasallam tertawa hingga terlihat gigi taringnya, kemudian beliau berkata, “Pulanglah dan berikan ini kepada keluargamu (H.R alBukhari dan Muslim)

Dari hadits di atas dapat diambil pelajaran bahwa kaffaroh bagi orang yang melakukan hubungan suami istri di siang hari Romadhan bagi yang wajib berpuasa adalah:

  1. memerdekakan budak, jika tidak mampu
  2. berpuasa dua bulan berturutturut. Jika tidak mampu:
  3. memberi makan 60 orang miskin.

Hal itu adalah urut-urutan jika tiap poin tidak mampu dijalankan. Bukan pilihan, tapi dijalankan berdasarkan urutan. Jika pada satu urutan tidak mampu, maka urutan berikutnya.

Paling akhir, jika tidak mampu semua adalah memberi makan 60 orang miskin. Satu orang miskin diberi takaran 1 mud bahan makanan pokok (Ihkaamul Ahkaam karya Ibnu Daqiiqil ‘Ied). Ukuran 1 mud adalah sekitar 0,75 kg. Namun, jika tidak mampu memberi makan 60 orang miskin maka gugur kewajiban dari dia, seperti pada laki-laki yang disebutkan dalam hadits di atas.

Namun, seseorang yang memiliki udzur untuk berpuasa, kemudian berhubungan (jimak) dengan istrinya, maka ia tidak terkena kaffaroh. Contohnya, seperti sepasang suami istri yang safar di bulan Romadhan, dan pada saat safar itu mereka berhubungan, maka mereka tidak terkena kaffaroh. Mereka hanya diharuskan mengganti puasanya di hari lain (asy-Syarhul Mukhtashar ala Bulughil Maram karya Ibnu Utsaimin)

Termasuk yang membatalkan puasa dalam kategori jenis ini adalah mengeluarkan mani secara
sengaja, seperti masturbasi/ onani.

Dalam suatu hadits Qudsi, Allah berfirman tentang orang yang berpuasa:

يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي

(Orang yang berpuasa itu) meninggalkan makan, minum, dan syahwatnya karena Aku (H.R alBukhari no 1761)

Dalam sebagian lafadz hadits, kata syahwat adalah istilah bagi mani. Sebagaimana dalam hadits:

وَفِيْ بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةً قَالُوا :يَارَسُوْلَ اللَّهِ أَيَأْتِيْ أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ؟ قَالَ: أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِيْ حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيْهَا وِزْرٌ؟ فَكَذَالِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِيْ الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ

…dan pada kemaluan kalian terdapat shodaqoh. Para Sahabat bertanya: Wahai Rasulullah, apakah salah seorang dari kami mendatangi syahwatnya tapi justru mendapat pahala? Nabi menjawab: Bagaimana pendapatmu, jika ia meletakkannya pada yang haram, bukankah ia mendapatkan dosa? Maka demikianlah, jika ia letakkan pada yang halal, maka itu baginya adalah pahala (H.R Muslim)

Yang ‘diletakkan’ dalam makna hadits tersebut adalah mani, yang diistilahkan dengan ‘syahwat’ pada kalimat sebelumnya. Ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa mengeluarkan mani secara sengaja pada siang hari Romadhon membatalkan puasa (penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Majmu’ Fataawa wa Rosaail (19/138).

Muntah Secara Sengaja

Muntah secara sengaja membatalkan puasa. Secara sengaja, contohnya: memasukkan jari ke mulut hingga pangkal lidah, sehingga muntah. Atau, menyengaja membaui bau-bau yang busuk agar muntah.

Demikian juga menyengaja melihat hal-hal yang menjijikkan dengan tujuan agar menjadi muntah. Hal-hal demikian adalah membatalkan puasa.

Namun bagi orang yang tidak menyengaja untuk muntah, tapi karena keadaan tertentu seperti seorang yang terserang masuk angin, kemudian muntah, maka ini tidak membatalkan puasa.

مَن ذَرَعَه القَيءُ فليس عَليه قَضَاءٌ وَمَنِ استَقاءَ عَمدًا فَلْيَقْضِ

Barang siapa yang terserang muntah (tidak sengaja) maka tidak harus mengganti (puasa). Barang siapa yang menyengaja muntah, maka hendaknya mengganti (puasa) (H.R Abu Dawud, atTirmidzi, Ahmad, dishahihkan Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Hakim, alAlbany. Lafadz sesuai riwayat atTirmidzi)

Obat Tetes Hidung

Pada saat berpuasa, Rasulullah shollallahu alaihi wasallam melarang seseorang yang berwudhu’ menghirup air ke hidungnya terlalu dalam:

وَبَالِغْ فِي الاِسْتِنْشَاقِ إلَّا أَن تَكُونَ صَائِمًا

Dan bersungguh-sungguhlah dalam istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung), kecuali jika engkau dalam keadaan berpuasa (H.R Abu Dawud, atTirmidzi, anNasaai, Ibnu Majah, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan alAlbany)

Hadits tersebut dijadikan dalil oleh sebagian Ulama yang menunjukkan bahwa penggunaan tetes hidung membatalkan puasa. Masuknya air ke hidung sehingga sampai kerongkongan akan membatalkan puasa.

Berbeda dengan sekedar menghirup kemudian mengeluarkan lagi, seperti yang dilakukan dalam berwudhu’, hal itu tidak membatalkan puasa.

Keluarnya Darah Haid dan Nifas pada Wanita

Telah dijelaskan di atas pada bab Orang yang Wajib Berpuasa, bahwa wanita yang haid dan nifas haram untuk berpuasa.

Memiliki Niat Kuat untuk Membatalkan Puasa

Seseorang yang memiliki niat dan azam yang sangat kuat untuk membatalkan puasa, maka terhitung puasanya telah batal, meski ia belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa.

Berbeda dengan jika sekedar terbetik keinginan sesaat untuk membatalkan puasa. Tidak berupa niat yang sangat kuat. Hanya sekelebat keinginan saja. Maka hal ini tidaklah membatalkan puasa. Sama dengan seseorang yang punya keinginan berbuat kejahatan. Jika sekedar keinginan yang sekelebatan, kemudian tidak dijadikan niat yang kuat, maka hal ini tidaklah terhitung sebagai suatu kejahatan, selama belum dilakukan.

Tapi, seseorang yang ingin berbuat kejahatan, dan berupaya keras untuk mempersiapkan kejahatan itu, bertekad dan memiliki niat yang sangat kuat, maka terhitung ia telah menjalankan kejahatan tersebut.

Seseorang yang berniat kuat untuk membunuh saudaranya sesama muslim karena masalah duniawi, dan telah mempersiapkan sarana untuk membunuh, namun ternyata justru dialah yang terbunuh, maka ia terhitung melakukan perbuatan penduduk neraka dan diancam dengan neraka.

إذَا التَقَى المُسْلِمَانِ بسَيْفَيْهِما فَالقَاتِلُ والمَقْتُولُ في النَّارِ فَقُلتُ: يا رَسولَ اللَّهِ، هذا القَاتِلُ فَما بَالُ المَقْتُولِ؟ قالَ: إنَّه كانَ حَرِيصًا علَى قَتْلِ صَاحِبِهِ

Jika dua orang muslim bertemu dengan pedang masing-masing, maka pembunuh dan yang dibunuh ada di neraka. Aku (seorang Sahabat) bertanya: (kalau) pembunuhnya sudah jelas (berdosa), mengapa yang terbunuh juga demikian? Rasul bersabda: karena dia bertekad kuat untuk membunuh lawannya (H.R alBukhari no 30)

Syarat-syarat Keadaan Batal Puasa

Jika seseorang melakukan salah satu hal yang membatalkan puasa, belum tentu puasanya secara otomatis menjadi batal. Masih ada syaratsyarat yang harus terpenuhi. Jika tidak terpenuhi syaratnya, maka puasanya tidak batal, karena dia memiliki udzur. Namun, syarat-syarat itu tidak berlaku untuk haid dan nifas.

Syarat-syarat tersebut adalah:

  1. Mengetahui
  2. Ingat, bukan dalam keadaan lupa.
  3. Dengan sukarela, bukan karena paksaan atau tidak sengaja

Jika seseorang melakukan pembatal puasa dan terpenuhi ketiga syarat tersebut, maka batal-lah puasanya.

Berikut ini adalah penjelasan dari syarat-syarat tersebut:

Mengetahui

Seseorang yang melakukan suatu hal pembatal puasa, namun ia tidak mengetahui bahwa sebenarnya hal itu membatalkan puasa, tidaklah batal puasanya. Contoh: seseorang yang muntah secara sengaja. Ia melakukannya karena tidak tahu bahwa sebenarnya hal itu membatalkan puasa, maka puasanya tidaklah terhitung batal.

Demikian juga seseorang yang melakukan pembatal puasa namun ia tidak mengetahui bahwa sebenarnya belum masuk waktu berbuka, sedangkan ia menyangka sudah masuk waktunya, tidaklah batal puasanya. Contoh: seseorang yang makan dan minum karena menyangka sudah masuk waktu Maghrib. Ia baru terbangun dari tidur. Jam di kamarnya menunjukkan waktu yang tidak cocok (lebih cepat), sedangkan di luar gelap karena mendung. Ia menyangka sudah masuk Maghrib, sehingga ia makan dan minum, maka tidaklah batal puasanya. Dengan catatan, setelah mengetahui kesalahannya ia tidak meneruskan pembatal puasa tersebut.

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ إِن نَّسِينَآ أَوْ أَخْطَأْنَا

Wahai Tuhan kami janganlah Engkau menyiksa kami jika kami lupa atau tersalah (tak sengaja) (Q.S al-Baqoroh: 286)

Ingat, Bukan dalam Keadaan Lupa

Jika seseorang melakukan pembatal puasa dalam keadaan lupa, maka puasanya tetap sah, tidak batal.

Barangsiapa yang lupa dalam keadaan berpuasa, kemudian ia makan dan minum, maka sempurnakanlah puasanya (jangan dibatalkan, pent). Karena itu adalah pemberian makan dan minum dari Allah (H.R alBukhari dan Muslim)

Dengan catatan: benar-benar lupa, dan setelah ingat segera menghentikan. Orang yang melihatnya wajib mengingatkan.

Dengan Sukarela, Bukan Karena Paksaan atau Tidak Sengaja

Seseorang yang melakukan pembatal puasa karena tidak sengaja, puasanya tetap sah. Contoh: seseorang yang sedang berkumur, tanpa sengaja air masuk hingga tenggorokan.

Contoh lain: seseorang yang mimpi basah (ihtilam). Ia mengeluarkan mani tanpa sengaja. Puasanya tetap sah. Berbeda dengan mengeluarkan mani secara sengaja (dengan masturbasi), itu membatalkan puasa. Sebagaimana telah dijelaskan di atas.

إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِي عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوْا عَلَيْهِ

Sesungguhnya Allah memaafkan dari umatku keadaan tersalah (tidak sengaja), lupa, dan hal-hal yang terpaksa (bukan kehendak sendiri) (H.R Ibnu Majah, dishahihkan Ibnu Hibban dan alAlbany)

Hal-Hal yang Tidak Membatalkan Puasa

Beberapa hal yang tidak dikategorikan perbuatan membatalkan puasa, di antaranya:

  1. Sikat gigi/ siwak
  2. Mimpi basah
  3. Berkumur
  4. Mandi/ mengguyurkan air di atas kepala
  5. Mencium istri, sebagai bentuk kasih sayang, bukan karena syahwat
  6. Muntah bukan karena kesengajaan
  7. Tukang masak mencicipi masakan karena kebutuhan dan tidak menelannya
  8. Tes darah atau ada anggota tubuh yang terluka
  9. Menangis
  10. Menggunakan celak mata dan tetes mata
  11. Membersihkan telinga dengan cotton buds atau semisalnya.
  12. Obat yang dimasukkan melalui dubur

Sumber: Materi Kajian Kajian Fiqh di Masjid An Nuur Perum PJB Paiton-Probolinggo, 25 Rabu, 18 Juni 2014 / 20 Syaban 1435 H

Penulis: Abu Utsman Kharisman

Tinggalkan Balasan