Wasiat Agung Dalam Baiat Untuk Bersikap Mendengar Dan Taat
عَنْ جُنَادَةَ بْنِ أَبِي أُمَيَّةَ قَالَ دَخَلْنَا عَلَى عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ وَهُوَ مَرِيضٌ فَقُلْنَا حَدِّثْنَا أَصْلَحَكَ اللَّهُ بِحَدِيثٍ يَنْفَعُ اللَّهُ بِهِ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ دَعَانَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ فَكَانَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ قَالَ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
Dari Junaadah bin Abi Umayyah ia berkata: Kami masuk menemui Ubadah bin as-Shomit –semoga Allah meridhainya- dalam keadaan beliau sakit. Kami berkata: Sampaikan kepada kami hadits yang akan memberikan manfaat dengannya yang anda dengar dari Rasulullah shollallahu alaihi wasallam, semoga Allah memperbaiki keadaan anda.
Ubadah bin as-Shomit menyatakan: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam pernah memanggil kami dan membaiat kami. Salah satu isi perjanjiannya adalah kami berbaiat untuk bersikap mendengar dan taat (kepada pemimpin muslim) baik dalam kondisi kami bersemangat ataupun membencinya. Baik dalam kondisi kami sulit ataupun mudah. Meski pemimpin itu adalah orang yang mementingkan (diri atau kelompoknya) sendiri. Kami juga dilarang untuk memberontak kepada pemimpin tersebut. Nabi bersabda: Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang jelas yang kalian memiliki hujjah nantinya di hadapan Allah.
(H.R al-Bukhari dan Muslim)
Al-Imam anNawawiy rahimahullah memberikan judul bab Shahih Muslim terkait hadits ini dengan: Kewajiban Taat kepada Pemimpin dalam Hal yang Bukan Maksiat, Serta Haramnya Taat kepada Mereka dalam Hal Maksiat.
Semangat Salaf dalam Belajar dan Menyampaikan Ilmu
Hadits ini memberikan contoh keteladanan Ulama Salaf dalam semangat mencari dan berbagi ilmu. Junaadah bin Abi Umayyah mengharapkan faidah hadits dari Sahabat Nabi Ubadah bin as-Shomit, sedangkan Ubadah menyampaikan hadits meski dalam kondisi sakit.
Terlihat juga adab Junaadah sebagai murid, mendoakan kebaikan bagi gurunya dengan menyatakan: Ashlahakallaah (semoga Allah memperbaiki keadaan anda).
Perintah Nabi untuk Bersikap Mendengar dan Taat kepada Pemimpin
Ubadah bin as-Shomit radhiyallahu anhu menjelaskan bahwa salah satu isi baiat Sahabat dengan Nabi adalah untuk bersikap mendengar dan taat kepada pemimpin muslim dalam hal yang ma’ruf (bukan kemaksiatan).
Sikap ini diharapkan dilakukan dalam setiap keadaan: baik kondisinya menyenangkan ataupun tidak menyenangkan. Baik pemimpinnya adil ataupun dzhalim.
Hal ini menunjukkan bahwa bersikap mendengar dan taat kepada pemimpin muslim bukanlah perkara yang ringan dan remeh. Namun justru sangat diperhatikan oleh Nabi dan ditekankan benar untuk diamalkan Sahabatnya. Karena itu, hal tersebut menjadi salah satu poin isi baiat.
Sebagian pihak ada yang hanya taat kepada Waliyyul Amr (pemimpin muslim) jika kondisinya menguntungkan mereka. Namun, saat keadaan sebaliknya, mereka justru tidak mau taat kepada penguasa. Hal ini bertentangan dengan bimbingan Nabi shollallahu alaihi wasallamtersebut.
Ahlussunnah selalu berusaha mentaati penguasanya dalam hal yang ma’ruf, baik kondisinya menguntungkan mereka atau tidak menguntungkan.
Bersabar Menghadapi Pemimpin yang Lebih Mementingkan Diri atau Kelompoknya
Jauh sebelum muncul slogan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), Nabi shollallahu alaihi wasallam sudah memberikan bimbingan kepada rakyat kaum muslimin agar bersabar menghadapi penguasa muslim yang lebih mementingkan diri dan kelompoknya sendiri. Sifat pemimpin yang demikian dalam istilah hadits Nabi disebut sebagai atsaroh.
Dalam sebagian hadits, Nabi membimbing kita untuk sabar menghadapi pemimpin tersebut dengan tetap menjalankan kewajiban kita sebagai rakyat yang baik, dan meminta hak kita yang banyak diambil atau terampas kepada Allah.
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً وَأُمُورًا تُنْكِرُونَهَا قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَدُّوا إِلَيْهِمْ حَقَّهُمْ وَسَلُوا اللَّهَ حَقَّكُمْ
Sesungguhnya kalian akan melihat sepeninggalku, pemimpin yang atsaroh (lebih mementingkan diri atau kelompoknya) dan hal-hal yang kalian ingkari. Para Sahabat bertanya: Apa yang anda perintahkan kepada kami wahai Rasulullah? Nabi bersabda: Tunaikanlah hak mereka dan mintalah kepada Allah hak kalian. (H.R al-Bukhari dari Abdullah bin Mas’ud)
Nabi mengajarkan rakyat untuk bersabar jika melihat hal-hal yang tidak dia sukai ada pada sifat penguasa tersebut. Nabi tidak menganjurkan mereka untuk memperjuangkan haknya dengan demonstrasi atau pemberontakan.
Di dalam hadits yang lain Nabi menjelaskan bahwa kesabaran dalam menghadapi pemimpin yang lebih mementingkan diri dan kelompoknya tersebut akan menghantarkan seseorang menikmati telaga Nabi shollallahu alaihi wasallam di akhirat nanti.
سَتَلْقَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِي وَمَوْعِدُكُمْ الْحَوْضُ
Kalian nanti akan menjumpai pemimpin yang lebih mementingkan diri dan kelompoknya. Bersabarlah hingga kalian menjumpai aku. Tempat bertemu yang dijanjikan untuk kalian adalah telaga (H.R al-Bukhari dan Muslim)
Tidak Memberontak Kepada Penguasa Kecuali Jika Melihat Kekufuran yang Nyata
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan ada 5 syarat kebolehan kaum muslimin memberontak kepada pemerintahnya yang telah kafir. Berikut ini kelima hal tersebut yang kami intisarikan:
Syarat Pertama: ia melihat langsung kekufuran itu, bukan sekedar mendengar, atau menukil “katanya dan katanya” saja. Karena dalam hadits di atas, Nabi menyatakan:
أَن تَرَوْا
yang artinya: kalian melihat.
Syarat Kedua: Hal itu adalah kekufuran. Bukan sekedar kefasikan atau kemaksiatan.
Syarat Ketiga: Kekufurannya itu jelas dan terang-terangan. Tidak memungkinkan untuk ditakwil. Jika kita menganggap itu kekufuran, tapi penguasa itu tidak menganggap sebagai kekufuran -baik karena ijtihad mereka atau taqlid kepada orang yang dianggap layak berijtihad- kita tidak boleh memberontak kepadanya.
Syarat Keempat: Kita memiliki hujjah yang jelas di hadapan Allah. Kita memiliki dalil yang jelas dan tegas bahwa itu kekufuran. Sangat jelas, bukan sekedar: mungkin saja ini adalah kekufuran. Mungkin juga tidak kufur.
Syarat Kelima: Kita memiliki kemampuan untuk menggulingkannya. Tanpa menimbulkan mudharat yang lebih besar. Jangan sampai persenjataan canggih penguasa berupa roket atau tank dilawan oleh rakyat dengan pisau dapur atau tongkat (penghalau) keledai.
(Disarikan dari Syarh Shahih al-Bukhari libni Utsaimin jilid 9 halaman 490-491)
Syarat yang ke-5 adalah poin yang perlu mendapatkan perhatian besar. Kadang terjadi kondisi terpenuhinya syarat 1 sampai 4, namun kaum muslimin di suatu negara tidak memiliki kemampuan.
Setiap ibadah yang Allah perintahkan kepada hambaNya, selalu mempersyaratkan adanya kemampuan untuk melaksanakannya. Termasuk dalam masalah ini.
Namun, sayangnya banyak kejadian kaum muslimin terprovokasi berusaha menggulingkan penguasanya yang kafir, padahal mereka tidak memiliki kemampuan. Akibatnya, sangat banyak korban jiwa, harta, maupun kehormatan dialami kaum muslimin tersebut dan justru tujuannya tidak tercapai. Kemudharatan yang didapatkan jauh lebih besar dibandingkan jika mereka menahan diri.
Untuk menilai kelayakan apakah kaum muslimin dalam suatu kasus tertentu sudah terpenuhi semua syaratnya atau tidak, membutuhkan bimbingan Ulama Ahlussunnah yang masih hidup pada saat itu dan memahami benar kondisi yang sebenarnya terjadi.
Semoga Allah Azza Wa Jalla senantiasa memberikan taufiq dan pertolongan kepada segenap kaum muslimin untuk menjadi rakyat yang baik atau pemimpin yang baik, berjalan sesuai aturan Allah sesuai jabatan dan kedudukan masing-masing.
Penulis: Abu Utsman Kharisman