Semua Perlu Rela Hati Terhadap Ketetapan Hukum
Bagi hamba Allah yang beriman, keputusan Allah dan Rasul-Nya shallallahu alahi wasallam haruslah dijunjung tinggi. Betapapun berat konsekwensi yang akan dihadapi, mukminin senantiasa memelihara keyakinan bahwa ketentuan agama akan menghidupkan iman dan amal shalih bagi mereka.
Allah Jalla wa ‘Ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ ۖ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَحُولُ بَيْنَ الْمَرْءِ وَقَلْبِهِ وَأَنَّهُ إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kalian, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kalian akan dikumpulkan.” (QS. Al Anfal: 24)
Imam Al Bukhori menyebutkan dalam shahihnya, bahwa Urwah bin Az Zubair rahimahullah mengabarkan, sesungguhnya Az Zubair (bin Al Awwam) radhiyallahu anhu telah menceritakan kepada Rasulullah shollallahu alaihi wasallam, bahwa dirinya tengah bersengketa dengan salah seorang dari kalangan Anshor – yang pernah mengikuti perang Badr – dalam perselisihan tentang hak pengairan yang sama-sama kedua ladang milik mereka berdua memanfaatkan satu aliran air. Sehingga Rasulullah shollallahu alaihi wasallam menyatakan kepada Az Zubair,
اسْقِ يَا زُبَيْرُ، ثُمَّ أَرْسِلْ إِلَى جَارِكَ
“Silakan engkau airi (ladangmu wahai Zubair), lalu alirkanlah menuju ladang tetanggamu!”
Ternyata keputusan itu membuat orang Anshor tersebut emosi, dia spontan mempertanyakan:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، آنْ كَانَ ابْنَ عَمَّتِكَ؟
“Apakah karena dia (Az Zubair) adalah putra bibi anda?”
Maka berubahlah raut muka Rasulullah shollallahu alaihi wasallam, kemudian beliau bersabda:
اسْقِ، ثُمَّ احْبِسْ حَتَّى يَبْلُغَ الْجَدْرَ
“(Wahai Zubair) Silakan engkau airi area ladangmu, kemudian tahanlah (beberapa lama) sampai genangan airnya mencapai tinggi rerumputan jadr!”
فَاسْتَوْعَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَئِذٍ حَقَّهُ لِلزُّبَيْرِ. وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْلَ ذَلِكَ أَشَارَ عَلَى الزُّبَيْرِ بِرَأْيٍ سَعَةٍ لَهُ وَلِلْأَنْصَارِيِّ
Jadi (keputusan akhirnya) Rasulullah shollallahu alaihi wasallam agar hak Zubair dipenuhi (terlebih dulu). Padahal sebelumnya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam memberi keputusan yang mengisyaratkan penunaian hak secara setara antara Az Zubair dengan orang Anshor tadi.
فَلَمَّا أَحْفَظَ الْأَنْصَارِيُّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَوْعَى لِلزُّبَيْرِ حَقَّهُ فِي صَرِيحِ الْحُكْمِ
Namun tatkala orang Anshor tersebut marah terhadap (keputusan) Rasulullah shollallahu alaihi wasallam, beliaupun (memberi pelajaran kepadanya dengan) menyempurnakan hak Az Zubair dengan hukum yang tegas.
Urwah berkata, Azzubair menyatakan:
Demi Allah aku mengira bahwa ayat ini tidaklah diturunkan kecuali terkait kejadian itu;
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ… الْآيَةَ
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan engkau sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan.”
(HR Al Bukhori dalam Kitab Ash Shulh pada Shahihnya, serta An Nasai dan Ahmad)
Artikel yang semoga bermanfaat pula: Muslim Gemar Kerukunan, Cinta Perdamaian dan Mengikuti Bimbingan
Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolani tatkala memberi penjelasan riwayat semakna dalam Kitab Asy Syirb, beliau antara lain mengutip salah satu kesimpulan ulama yang dihikayatkan Al Khoththobi rahimahumullah:
“Bahwa hadits di atas menjadi dalil diperbolehkannya seorang hakim merevisi vonis hukumnya. Karena Nabi awalnya telah memberikan keputusan dengan penyelesaian yang dapat dipilih manapun dari kedua cara yang dikehendaki. Jadi beliau mendahulukan solusi termudah agar (kedua pihak) mendahulukan sikap baik kepada tetangganya.
Namun tatkala salah satu pihak yang berselisih itu gagal memahami bagian haknya (yang tersirat), keputusan hukum awal itu dibatalkan. Lalu beliau alaihisholatu wassalam menetapkan keputusan kedua (yang justru lebih berat), supaya bisa menjadi hukuman yang setimpal bagi (sikap tidak patut)nya.”
Lalu Al Hafidz membandingkan dengan redaksi dari sekian riwayat lainnya, yang kemudian beliau menyimpulkan,
ﻓَﻤَﺠْﻤُﻮﻉُ اﻟﻄُّﺮُﻕِ ﺩَاﻝٌّ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻧَّﻪُ ﺃَﻣَﺮَ اﻟﺰُّﺑَﻴﺮَ ﺃَﻭَّﻻً ﺃَﻥ ﻳَﺘْﺮُﻙَ ﺑَﻌْﺾَ ﺣَﻘِّﻪِ ﻭَﺛَﺎﻧِﻴًﺎ ﺃَﻥ ﻳَﺴْﺘَﻮﻓِﻲَ ﺟَﻤِﻴﻊ ﺣَﻘّﻪِ
“Jalur-jalur riwayat lainnya jika dikumpulkan mengerucut pada kesimpulan yang menunjukkan bahwa beliau shollallahu alaihi wasallam awalnya memerintahkan Az Zubair untuk merelakan sebagian haknya, sementara keputusan yang kedua untuk menyempurnakan seluruh haknya (sendiri).”
(Fathul Bari 5/39)
Artikel yang semoga bermanfaat pula: Tetap Bersaudara Dalam Perbedaan Pendapat yang Bisa Ditoleransi
Masih dalam kitab yang sama, Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan sekian faedah ilmu dari hadits di atas, di antara yang beliau sebutkan:
- Hakim memang sepantasnya mengarahkan terjadinya perdamaian dan perbaikan hubungan (shulh) antara 2 pihak yang bersengketa, tidak menjadi keharusan kecuali jika pihak yang bertikai ridha.
- Hakim juga berhak memutuskan pemenuhan hak salah satu pihak, jika (upaya damai buntu) tidak dicapai keridhaan keduanya. Dan hendaklah hakim memberikan hak kepada pihak yang semestinya, walaupun pemilik hak tidak memintanya.
- Celaan terhadap orang yang bersikap kaku terhadap hakim dan (pantas adanya) hukuman baginya.
Demikianlah saudaraku, tidak memenuhi seruan Nabi menunjukkan sikap pihak yang memperturutkan hawa nafsunya dan akan berdampak menjauh dari hidayah Allah. Maha Suci Allah Yang telah berfirman:
فَإِن لَّمْ يَسْتَجِيبُوا لَكَ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَاءَهُمْ ۚ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Maka jika mereka tidak memenuhi (seruanmu) ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS Al Qoshosh: 50)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah menjelaskan,
أي: الذين صار الظلم لهم وصفا والعناد لهم نعتا، جاءهم الهدى فرفضوه، وعرض لهم الهوى، فتبعوه، سدوا على أنفسهم أبواب الهداية وطرقها، وفتحوا عليهم أبواب الغواية وسبلها، فهم في غيهم وظلمهم يعمهون، وفي شقائهم وهلاكهم يترددون.
“Maksudnya, orang-orang yang suka bersikap zhalim sehingga kezhaliman itu menjadi sifat mereka, sementara penentangan telah menjadi karakter mereka. Apabila petunjuk datang kepadanya merekapun menolaknya. Ketika terpaparkan hawa nafsu kepada mereka, justru mereka mengikutinya. Mereka sendirilah yang sengaja menutup pintu-pintu hidayah dan jalan-jalannya. Dengan sendirinyapun merekalah yang telah membuka pintu-pintu kesesatan beserta jalan-jalannya. Sehingga mereka kebingungan dalam kesesatan dan kezhalimannya. Serta mereka selalu bimbang dalam kesengsaraan dan kebinasaanya.” (Taisir Al Karim Ar Rahman hal. 617)
Artikel yang semoga bermanfaat pula: Hidup Harmonis Dalam Bertetangga
Namun yang juga perlu diingat bersama, bahwa kesalahan berucap, dan kekeliruan bersikap dapat terjadi kepada siapapun. Tak terkecuali terhadap sosok yang pernah turut berjuang bersama Rasulullah shollallahu alaihi wasallam di perang Badr. Para sahabat pejuang Badr memiliki keistimewaan yang tidak didapatkan muslimin lainnya.
Dalam salah satu kesempatan ketika Umar meminta ijin memenggal orang yang tertangkap hendak membocorkan rahasia kaum muslimin, Rasulullah shollallahu alaihi wasallam memberikan pembelaan dengan sabda beliau yang terkenal:
إِنَّهُ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا، وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَكُونَ قَدِ اطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ: اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ
“Orang ini telah ikut berjuang di Badr. Apakah engkau tahu bahwa Allah memperhatikan ke arah mereka, kemudian Dia berfirman: ‘Silakan kalian berbuat sekehendak kalian, sungguh Aku telah mengampuni kalian’.” (HR Al Bukhori dan Muslim).
Sementara selain para sahabat mulia, siapakah yang merasa aman dari murka Allah dan ancaman adzab-Nya ketika ketentuan hukum agama diabaikan? Tidak ada yang menjamin. Wallahulmusta’an.
Sepeninggal Nabi, keputusan sebagai hakim bagi perselisihan antar muslimin tentulah tetap ada yang melanjutkan. Dan jika hakim-hakim penerus tugas mulia tersebut bukan kita serahkan kepada para ulama tentu kita telah menempuh cara yang menyelisihi kandungan Al Kitab, Sunnah Nabi dan kesepakatan kaum muslimin.
Semoga bisa menjadi bahan renungan dan mawas diri untuk melangkah bersama lebih baik.
والله الموفق لما فيه صلاح البلاد والعباد
?️ Ditulis oleh:
Abu Abdirrohman Sofian