Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Menyingkirkan gangguan di jalan adalah bagian dari tindakan orang beriman. Perbuatan itu merupakan salah satu cabang keimanan.

الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيمَانِ

Iman itu tujuh puluh atau enam puluh sekian cabang. Yang paling utama adalah ucapan Laa Ilaaha Illallah, yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan (perasaan) malu adalah bagian dari cabang keimanan
(H.R Muslim)

Syaikh Muhammad Amaan al-Jaamiy rahimahullah:

Menyingkirkan gangguan dari jalan adalah termasuk amalan anggota tubuh. Kalau seandainya seseorang melihat ada kulit pisang di jalan, kemudian ia mengambilnya karena perasaan sayang dan kasihan pada orang-orang lain, khawatir kulit pisang tersebut membuat seseorang jatuh atau tergelincir. Dengan makna ini, dengan kasih sayang dan perhatian ini pada kaum muslimin, ia telah mengamalkan salah satu cabang keimanan. Ia akan diberi pahala atas hal itu. (Sedangkan) jika ia meninggalkan hal itu, keimanannya berkurang sesuai kadar apa yang ditinggalkannya. Karena ia meninggalkan salah satu cabang keimanan (al-Aqidah Awwalan halaman 9)


Baca Juga: Kelompok Sesat Tidak Akan Memberikan Kebaikan


Ada jalan fisik yang dilalui oleh manusia dan ada pula jalan abstrak yang tak terlihat secara langsung. Setiap orang beriman sedang berusaha menempuh perjalanan menuju Allah, di atas jalan Allah. Namun, ada orang-orang yang merintangi manusia dari jalan Allah dengan pemikiran dan pemahamannya yang menyimpang. Membela kebenaran dan membantah kebatilan agar jalan kebenaran tetap terang benderang dan supaya manusia mudah berjalan di atasnya adalah amalan yang lebih utama dan lebih besar pahalanya dibandingkan menyingkirkan gangguan dari jalan fisik yang terlihat.

Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullah menyatakan:

“Di dalam hadits ini terdapat dalil bahwasanya barang siapa yang menghilangkan gangguan dari kaum muslimin, ia akan mendapatkan pahala yang besar. Itu dalam perkara fisik (yang bisa terlihat, pent). Bagaimana dengan perkara yang abstrak? Sebagian orang, wal iyaadzu billah, adalah orang-orang yang buruk, penuh kejahatan, pemikiran yang jelek, dan akhlak yang bejat. Mereka menghalangi manusia dari agama Allah. Maka menyingkirkan orang-orang ini dari jalan kaum muslimin jauh lebih utama dan lebih besar pahalanya di sisi Allah. Jika mereka memiliki pemikiran yang buruk yang menyimpang, hendaknya mereka dibantah dan dijelaskan kebatilan pemikirannya” (Syarh Riyadhis Sholihin (1/145)).

Umar bin al-Khoththob radhiyallahu anhu selalu berusaha menutup celah-celah penyimpangan. Setiap kali ada pemahaman yang berbahaya dalam Islam, Umar bin al-Khoththob berusaha mengambil tindakan untuk menghambatnya. Beliau menggunakan kekuasaannya agar potensi penyimpangan yang bisa menghambat manusia berjalan di jalan Allah bisa dicegah.


Baca Juga: Menjaga Kemurnian Islam Dari Penyimpangan Kebid’ahan


Salah satu penyakit penyimpangan dalam hati adalah selalu bertanya-tanya tentang ayat-ayat mutasyabihat. Pertanyaan bukan dalam rangka mencari tahu makna yang benar, tapi untuk menebarkan fitnah.

Allah Azza Wa Jalla berfirman:

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آَيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ

Dialah (Allah) yang menurunkan kepadamu Kitab. Di antaranya ada yang berupa ayat-ayat muhkam, yang itu adalah induk (isi) Kitab, sedangkan yang lain adalah ayat-ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang yang di hati mereka terdapat penyimpangan, mereka mengikuti ayat-ayat mutasyabihat itu dalam rangka mencari fitnah dan mencari-cari penakwilannya…
(Q.S Ali Imran ayat 7)

Pernah ada seseorang bernama Shabigh bin ‘Isl dari Iraq yang memiliki sifat demikian. Ia suka bertanya-tanya tentang ayat-ayat mutasyabihat. Ada seseorang yang mengkhabarkan kepada Umar bin al-Khoththob -sebagai Amirul Mukminin waktu itu- tentang ‘penyakit’ Shabigh tersebut.

Umar pun berdoa:

اللَّهُمَّ أَمْكِنِّي مِنْهُ

Ya Allah, berikan aku kemampuan untuk menanganinya (riwayat al-Aajurriy dalam asy-Syari’ah)

Umar sudah menyiapkan sekian pelepah kurma sebagai ‘obat’ untuknya.

Saat Shabigh datang, ia bertanya kepada Umar tentang makna ayat-ayat permulaan surat adz-Dzaariyaat. Umar pun menjelaskan makna ayat per ayat yang ditanyakan. Diriwayatkan bahwa setiap kali menjelaskan setiap ayat, Umar menyatakan:

وَلَوْلا أَنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُهُ مَا قُلْتُهُ

(Demikianlah penjelasannya). Kalaulah aku tidak mendengar Rasulullah shollallahu alaihi wasallam menyampaikannya, aku tidak akan mengatakan demikian.

Kemudian Umar pun memukul Shabigh dengan pelepah kurma sebanyak 100 kali pukulan hingga kepalanya berdarah. Bahkan aliran darah itu sampai kakinya. Setelah itu Shabigh diberi kesempatan beristirahat hingga sembuh luka di kepalanya. Dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa setelah sembuh pada tahapan pertama ini dari luka di kepalanya, Shabigh dipukul lagi 100 kali. Hingga Shabigh menyatakan: Wahai Amirul Mukminin, jika anda hendak membunuhku, bunuhlah aku dengan cara yang baik. Namun jika anda menginginkan agar syubhat dalam kepalaku hilang, sesungguhnya itu sudah hilang.

Kemudian Umar mengutus orang untuk membawa Shabigh ke Bashrah dan berpesan agar jangan sampai ada muslim yang berbicara atau duduk bermajelis dengan Shabigh. Setiap kali Shabigh hendak menuju suatu majelis, majelis itu bubar, karena ingat dengan pesan Umar. Shabigh menjadi hina setelah sebelumnya mulia di tengah-tengah kaumnya.

Dijauhi oleh orang-orang membuat Shabigh benar-benar menderita. Beberapa waktu berselang, ia kemudian bersumpah dengan sungguh-sungguh kepada Abu Musa al-Asy’ariy bahwa ia telah benar-benar bertaubat dan berubah. Abu Musa pun mengirim surat kepada Umar, dan Umar pun memperbolehkan manusia bergaul lagi dengan Shabigh.

Kisah tentang sikap Umar terhadap Shabigh ini diriwayatkan oleh para Ulama dalam sebagian kitab-kitab mereka seperti asy-Syari’ah karya al-Imam al-Ajurriy, al-Ibanah karya Ibnu Baththoh, Sunan ad-Daarimiy, Musnad al-Bazzaar, Musnad Abdurrazzaq, Syarh Ushul I’tiqod Ahlissunnah karya al-Laalikaa-iy, dan lainnya.

“Terapi” yang diterapkan Umar kepada Shabigh tersebut benar-benar memberikan hasil yang sangat baik bagi Shabigh. Bahkan, saat ada sekelompok orang yang mengajak Shabigh untuk ikut dalam kelompok Khawarij, Shabigh tidak mau mengikutinya. Shabigh merasa bahwa hukuman Umar terhadapnya telah menimbulkan efek jera. Ia benar-benar enggan untuk ikut berbagai pemikiran yang menyimpang.


Baca Juga: Peringatan Keras Dari Kesesatan Khawarij


Shabigh berkata:

هَيْهَاتَ، نَفَعَنِي اللَّهُ بِمَوْعِظَةِ الرَّجُلِ الصَّالِحِ

Tidak, sungguh jauh hal itu untuk kulakukan. Allah telah memberikan manfaat kepadaku dengan nasihat dari seorang laki-laki yang sholih (Umar bin al-Khoththob)
(al-Ibaanah al-Kubro karya Ibnu Baththoh (1/417))


Baca Juga: Umar bin Abdil Aziz Menghukum Orang yang Mencela Muawiyah


Sikap tegas Umar terhadap orang yang memiliki pemikiran menyimpang menjadi pelajaran berharga yang ingin diikuti oleh para Ulama setelahnya. Saat ada seseorang yang terus menerus bertanya tentang ayat al-Quran padahal sudah jelas baginya, dengan sikap pertanyaan yang tidak semestinya dilakukan, Ibnu Abbas radhiyallahu anhu berkata:

أَتَدْرُونَ مَا مَثَلُ هَذَا مَثَلُ صَبِيغٍ الَّذِي ضَرَبَهُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ

Tahukah kalian, seperti apa permisalan orang ini? Ia adalah seperti Shabigh yang dipukul oleh Umar bin al-Khoththob
(riwayat Malik dalam Muwaththa’)

Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

حُكْمِي فِي أَهْلِ الكَلاَمِ حُكْمُ عُمَرَ فِي صَبِيْغٍ

Menurutku, hukuman yang tepat bagi orang ahli filsafat adalah seperti hukuman Umar kepada Shabigh
(riwayat adz-Dzahabiy dalam Tarikhul Islam)

Ketegasan Umar dalam bingkai ilmu itu adalah bagian dari kasih sayang terhadap kaum muslimin. Jangan sampai mereka menyimpang dari tuntunan Nabi shollallahu alaihi wasallam dan para Sahabatnya.

 

Dikutip dari:
Buku “Islam Rahmatan Lil ‘Alamin”, Abu Utsman Kharisman

Tinggalkan Balasan