Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Bukan hanya dalam menyikapi perbedaan karena prinsip keyakinan (aqidah). Sekian banyak masalah yang sebenarnya masuk ranah fiqh ibadah juga kerap menjadi ajang “cuci tangan” para penuduh setelah terlanjur memusuhi akibat kesimpulan sepihak.

Sikap kekanakan semacam itu acapkali diterapkan orang-orang yang mengandalkan kebiasaan nenek-moyang dalam menjalankan ibadah, sebagai alasan lemah yang kemudian terbantah dengan dalil syariat. Tak jarang – walaupun telah jelas bukti ilmiah dipaparkan – sifat fanatik buta terhadap pendapat golongannya menyebabkan para penuduh itu lebih memilih terus mencari alasan untuk tetap memusuhi pihak yang benar. Wallahul musta’an.


Baca Bagian Sebelumnya:


Syaikh Muhammad Nasiruddin Al Albani rahimahullah menuliskan pengalaman beliau sendiri seputar fenomena tersebut:

ﻓﺎﻟﻤﺆﻣﻦ ﻻ ﻳﺴﺘﻮﺣﺶ ﻣﻦ ﻗﻠﺔ اﻟﺴﺎﻟﻜﻴﻦ ﻋﻠﻰ ﻃﺮﻳﻖ اﻟﻬﺪﻯ ﻭﻻ ﻳﻀﺮﻩ ﻛﺜﺮﺓ اﻟﻤﺨﺎﻟﻔﻴﻦ. ﻗﺎﻝ اﻹﻣﺎﻡ اﻟﺸﺎﻃﺒﻲ ﻓﻲ “اﻻﻋﺘﺼﺎﻡ” 01 / 11 – 12
ﻭﻫﺬﻩ ﺳﻨﺔ اﻟﻠﻪ ﻓﻲ اﻟﺨﻠﻖ: ﺃﻥ ﺃﻫﻞ اﻟﺤﻖ ﻓﻲ ﺟﻨﺐ ﺃﻫﻞ اﻟﺒﺎﻃﻞ ﻗﻠﻴﻞ ﻟﻘﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ: {ﻭﻣﺎ ﺃﻛﺜﺮ اﻟﻨﺎﺱ ﻭﻟﻮ ﺣﺮﺻﺖ ﺑﻤﺆﻣﻨﻴﻦ}
ﻭﻗﻮﻟﻪ: {ﻭﻗﻠﻴﻞ ﻣﻦ ﻋﺒﺎﺩﻱ اﻟﺸﻜﻮﺭ}، ﻭﻟﻴﻨﺠﺰ اﻟﻠﻪ ﻣﺎ ﻭﻋﺪ ﺑﻪ ﻧﺒﻴﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻣﻦ ﻋﻮﺩ ﻭﺻﻒ اﻟﻐﺮﺑﺔ ﺇﻟﻴﻪ

“Seorang yang beriman tidak akan merasa gundah hanya karena sedikitnya orang yang menempuh jalan di atas petunjuk. Tidak pula membawa dampak negatif baginya banyaknya orang yang menyelisihinya. Imam Asy Syathibi menyatakan dalam Al I’tishom 01/11-12;

‘Dan inilah ketetapan Allah pada hamba-Nya, bahwa orang-orang yang benar sedikit jumlahnya dibandingkan orang-orang yang bersalah, berdasarkan Firman Allah Ta’ala:

وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ

Sementara sebagian besar manusia tidak akan beriman walaupun engkau sangat menginginkannya. (QS. Yusuf: 103)

Juga Firman-Nya,

وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ

Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur. (QS. Saba’: 13)’

Dan pasti Allah akan memenuhi isi janji Nabi-Nya ﷺ berupa akan kembalinya kondisi keterasingan kepadanya.”

— Dalam catatan kaki beliau menambahkan komentarnya:

ﻳﻌﻨﻲ اﻹﺳﻼﻡ ﻳﺸﻴﺮ ﺇﻟﻰ ﻗﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ: “بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا، وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا، فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ” ﺭﻭاﻩ ﻣﺴﻠﻢ ﻭﻏﻴﺮﻩ ﻭﻫﻮ ﻣﺨﺮﺝ ﻓﻲ “اﻟﺼﺤﻴﺤﺔ” (1273)

“Yaitu (keterasingan) agama Islam ini, yang diisyaratkan dalam sabda beliau ﷺ:

بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا، وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا، فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ 

‘Islam bermula dalam keadaan terasing, dan kondisinya akan kembali asing seperti permulaannya. Sehingga berbahagialah (dengan janji surga) bagi orang-orang yang terasing (karena komitmen keislamannya)’

Riwayat Imam Muslim dan selain beliau, yang riwayat ini kami sebutkan dalam ‘Ash-Shahihah’ no. 1273.” —


Artikel lain yang semoga juga bermanfaat: Jangan Menyelisihi Sunnah Agar Tidak Terkena Fitnah


Kemudian kata beliau rahimahullah:

ﻓﺈﻥ اﻟﻐﺮﺑﺔ ﻻ ﺗﻜﻮﻥ ﺇﻻ ﻣﻊ ﻓﻘﺪ اﻷﻫﻞ ﺃﻭ ﻗﻠﺘﻬﻢ ﻭﺫﻟﻚ ﺣﻴﻦ ﻳﺼﻴﺮ اﻟﻤﻌﺮﻭﻑ ﻣﻨﻜﺮا ﻭاﻟﻤﻨﻜﺮ ﻣﻌﺮﻭﻓﺎ ﻭﺗﺼﻴﺮ اﻟﺴﻨﺔ ﺑﺪﻋﺔ ﻭاﻟﺒﺪﻋﺔ ﺳﻨﺔ ﻓﻴﻘﺎﻡ ﻋﻠﻰ ﺃﻫﻞ اﻟﺴﻨﺔ ﺑﺎﻟﺘﺮﻳﺚ ﻭاﻟﺘﻌﻨﻴﻒ1

“(Demikianlah) sesungguhnya keterasingan tidak terjadi kecuali pada orang yang kehilangan keluarga atau kekurangan jumlah mereka. Yang demikian itu terjadi tatkala hal-hal yang baik telah dinilai sebagai keburukan. Sementara hal buruk dianggap baik. Sunnahpun (dalam pandangan masyarakat) dikira bid’ah. Sedangkan bid’ah telah dianggap sebagai sunnah. Sehingga orang banyak menyikapi ahlussunah secara tidak ramah lagi kaku.”

— Lalu dalam catatan kaki berikutnya, Syaikh Al Albani rahimahullah memberikan contoh:

ﻛﻤﺎ ﻓﻌﻞ ﻣﺆﻟﻔﻮ “اﻹﺻﺎﺑﺔ” ﺑﻨﺎ ﻓﺈﻧﻬﻢ ﺑﻌﺪ ﺃﻥ اﺿﻄﺮﺑﻮا ﻓﻲ ﺑﻴﺎﻥ ﺭﺃﻳﻬﻢ ﻓﻲ “ﺻﻼﺓ اﻟﻌﻴﺪ ﻓﻲ اﻟﺼﺤﺮاء” ﻛﻤﺎ ﺳﺒﻖ ﻗﺎﻟﻮا: “ﻭاﻟﻤﺴﻠﻤﻮﻥ ﻟﻢ ﻳﺰﻝ ﻓﻴﻬﻢ ﻣﻦ ﻳﺤﺎﻓﻈﻮﻥ ﻋﻠﻰ اﻟﺼﻠﻮاﺕ ﻭﻋﻠﻰ ﺃﻭاﻣﺮ ﺩﻳﻨﻬﻢ ﻭﺻﻼﺗﻬﻢ ﻓﻘﺎﻣﺖ ﻫﺬﻩ اﻟﺸﺮﺫﻣﺔ ﺗﻨﻜﺮ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻭﺗﻔﺮﻕ ﺟﻤﺎﻋﺘﻬﻢ

ﻓﺘﺄﻣﻞ ﻛﻴﻒ ﺟﻌﻠﻮا اﻟﺪﻋﻮﺓ ﺇﻟﻰ اﻟﺴﻨﺔ ﺗﻔﺮﻳﻘﺎ ﻟﻠﺠﻤﺎﻋﺔ ﻭﺻﺪﻕ ﻣﻦ ﻗﺎﻝ: ﺭﻣﺘﻨﻲ ﺑﺪاﺋﻬﺎ ﻭاﻧﺴﻠﺖ

“Sebagaimana dilakukan para penulis kitab ‘Al Ishobah’ terhadap diri kami. Sungguh mereka setelah kebingungan dalam menjelaskan pendapat mereka terkait ‘sholat ied di tanah lapang’ sebagaimana telah lalu (pembahasannya), mereka menyatakan: ‘Senantiasa ada di tengah kaum muslimin orang-orang yang melestarikan semua sholat dan seluruh perkara yang diperintahkan (dalam) agama mereka serta (kewajiban dalam) sholat-sholat (di masjid-masjid) mereka. Lalu muncul suara minoritas ini yang mengingkari penerapan muslimin (sholat id di masjid) serta memecah belah persatuan mereka.’

Maka perhatikanlah, bagaimana mereka memosisikan dakwah menuju sunnah (Nabi ﷺ) sebagai pemecah belah persatuan. Sungguh benar ungkapan suatu ucapan: Dia telah melemparkan masalahnya kepadaku, lalu dia pergi bersembunyi!” —

Beliau melanjutkan rahimahullah:

ﻛﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﺃﻭﻻ ﻳﻘﺎﻡ ﻋﻠﻰ ﺃﻫﻞ اﻟﺒﺪﻋﺔ ﻃﻤﻌﺎ ﻣﻦ اﻟﻤﺒﺘﺪﻉ ﺃﻥ ﺗﺠﺘﻤﻊ ﻛﻠﻤﺔ اﻟﻀﻼﻝ ﻭﻳﺄﺑﻰ اﻟﻠﻪ ﺃﻥ ﺗﺠﺘﻤﻊ ﺣﺘﻰ ﺗﻘﻮﻡ اﻟﺴﺎﻋﺔ ﻓﻼ ﺗﺠﺘﻤﻊ اﻟﻔﺮﻕ ﻛﻠﻬﺎ ﻋﻠﻰ ﻛﺜﺮﺗﻬﺎ ﻋﻠﻰ ﻣﺨﺎﻟﻔﺔ اﻟﺴﻨﺔ ﻋﺎﺩﺓ ﻭﺳﻤﻌﺎ ﺑﻞ ﻻ ﺑﺪ ﺃﻥ ﺗﺜﺒﺖ ﺟﻤﺎﻋﺔ ﺃﻫﻞ اﻟﺴﻨﺔ ﺣﺘﻰ ﻳﺄﺗﻲ ﺃﻣﺮ اﻟﻠﻪ ﻏﻴﺮ ﺃﻧﻬﻢ ﻟﻜﺜﺮﺓ ﻣﺎ ﺗﻨﺎﻭﺷﻬﻢ اﻟﻔﺮﻕ اﻟﻀﺎﻟﺔ ﻭﺗﻨﺎﺻﺒﻬﻢ اﻟﻌﺪاﻭﺓ ﻭاﻟﺒﻐﻀﺎء اﺳﺘﺪﻋﺎء ﺇﻟﻰ ﻣﻮاﻓﻘﺘﻬﻢ ﻻ ﻳﺰاﻟﻮﻥ ﻓﻲ ﺟﻬﺎﺩ ﻭﻧﺰاﻉ ﻭﻣﺪاﻓﻌﺔ ﻭﻗﺮاﻉ ﺃﻧﺎء اﻟﻠﻴﻞ ﻭاﻟﻨﻬﺎﺭ ﻭﺑﺬﻟﻚ ﻳﻀﺎﻋﻒ اﻟﻠﻪ ﻟﻬﻢ اﻷﺟﺮ اﻟﺠﺰﻳﻞ ﻭﻳﺜﻴﺒﻬﻢ اﻟﺜﻮاﺏ اﻟﻌﻈﻴﻢ.

ﺃﺳﺄﻝ اﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺃﻥ ﻳﺜﺒﺘﻨﺎ ﻋﻠﻰ اﻟﺴﻨﺔ ﻭﻳﻤﻴﺘﻨﺎ ﻋﻠﻴﻬﺎ

ﻭﻫﺬا ﺁﺧﺮ ﻣﺎ ﺗﻴﺴﺮ ﺟﻤﻌﻪ ﻓﻲ ﻫﺬﻩ اﻟﻌﺠﺎﻟﺔ ﻭاﻟﺤﻤﺪ ﻟﻠﻪ ﺭﺏ اﻟﻌﺎﻟﻤﻴﻦ

“Sebagaimana dulu di awal (generasi ummat ini, sikap tegas itu) diterapkan kepada ahli bid’ah. Para pelaku kebidahan itu berharap mereka bisa bersatu (menerapkan sikap keras) di atas kesesatannya. Namun Allah tidak menghendaki terwujudnya persatuan mereka sampai terjadi kiamat sekalipun. Memang sekalipun jumlah mereka banyak, tetap tidak akan pernah bisa bersatu seluruh sekte itu dalam menyelisihi sunnah, (sebuah kepastian yang diperoleh) berdasar pengalaman maupun dari menyimak (dalil syariat). Justru (kita) optimis akan terwujud persatuan Ahlus Sunnah sampai batas yang Allah tentukan.

Hanya saja karena demikian banyaknya serangan sekte-sekte sesat dan mereka terus melestarikan permusuhan serta kebencian, dengan tuntutan agar (ahlussunnah) setuju dengan (kebiasaan) mereka. Sehingga (ahlussunah) senantiasa berada dalam jihad, perlawanan, saling membela diri dan menyerang (menghadapi pihak yang memusuhi) sepanjang siang dan malam. Sehingga dengan hal itu Allah melipatgandakan pahala melimpah bagi mereka (ahlussunnah) serta memberikan balasan kebaikan yang besar.

Saya memohon kepada Allah Ta’ala agar Dia mengukuhkan kita di atas Sunnah dan mewafatkan kita di atasnya. Dan ini merupakan akhir dari hal yang dimudahkan bagi saya untuk merangkumnya di kesempatan singkat ini. Dan segala pujian kesempurnaan hanya bagiTuhan semesta alam.”

(Sholatul ‘Idain hal. 47-48)

 

?️ Penulis: Abu Abdirrohman Sofian

Tinggalkan Balasan