Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Bab Ke-21: Sikap Berlebihan Terhadap Kuburan Orang-Orang Sholeh Menyebabkan Kuburan Itu Menjadi Sesembahan Selain Allah (Bagian Pertama)

Serial Kajian Kitabut Tauhid Bagian Ke-74

Pendahuluan

Di dalam Islam, kuburan kaum muslimin seharusnya diperlakukan sesuai tuntunan syariat. Tidak bersikap direndahkan atau dihinakan, demikian juga tidak dimuliakan dan dikultuskan secara berlebihan.

Tidak boleh bagi orang muslim untuk menghinakan dan merendahkan kuburan dengan menginjak, menduduki, berjalan melangkahi areal kuburan dengan alas kaki – tanpa ada udzur-, mengotori kuburan, bersenda gurau dan tertawa-tawa di areal kuburan.

Tidak boleh pula meninggikan kuburan, membangun bangunan di atasnya, menulisi tulisan padanya, dan sikap-sikap berlebihan lainnya.

Berikut ini adalah beberapa dalil yang menunjukkan hal itu:

نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ, وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ, وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْه

Rasulullah shollallahu alaihi wasallam melarang kuburan dari  dikapur, diduduki di atasnya, dan dibangun atasnya
(H.R Muslim dari Jabir bin Abdillah)

عَنْ جَابِرٍ قَالَ نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُجَصَّصَ الْقُبُورُ وَأَنْ يُكْتَبَ عَلَيْهَا

Dari Jabir –radhiyallaahu anhu- ia berkata: Rasulullah shollallaahu alaihi wasallam melarang kuburan dikapur dan ditulisi
(H.R atTirmidzi no 972)

لَأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ثِيَابَهُ فَتَخْلُصَ إِلَى جِلْدِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ

Seandainya seseorang duduk di atas bara api sehingga membakar pakaiannya sampai kulitnya, itu lebih baik baginya dibandingkan duduk di atas kubur
(H.R Muslim no 1612)

Larangan duduk di atas kubur juga mencakup larangan berdiri di atas kubur –tepat di atas kubur seseorang- (syarh Sunan Abi Dawud li Abdil Muhsin al-Abbad (17/131)).

Disebutkan dalam hadits:

فَبَصُرَ بِرَجُلٍ يَمْشِي بَيْنَ الْمَقَابِرِ فِي نَعْلَيْهِ فَقَالَ وَيْحَكَ يَا صَاحِبَ السِّبْتِيَّتَيْنِ أَلْقِ سِبْتِيَّتَكَ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا فَنَظَرَ الرَّجُلُ فَلَمَّا رَأَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَلَعَ نَعْلَيْهِ

Kemudian Nabi melihat seorang laki-laki berjalan di antara pekuburan dengan menggunakan sandal. Nabi bersabda: Celaka engkau, wahai pemilik dua sandal dari kulit, lemparkan kedua sandalmu. Nabi menyebutkan hal itu dua kali atau tiga kali. Kemudian laki-laki itu melihat (kea rah sumber suara). Ketika ia melihat Rasulullah shollallahu alaihi wasallam ia kemudian melepas kedua sandalnya
(H.R Ahmad, Abu Dawud, anNasaai, Ibnu Majah, al-Bukhari dalam Adabul Mufrad, dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albany)

Al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolaany menyatakan: Saya katakan: Bisa saja larangan itu (memakai sandal di atas pekuburan) adalah untuk memuliakan mayit sebagaimana larangan duduk di atas kubur. Bukanlah penyebutan sandal dari kulit (as-sibtiyyataini) sebagai pengkhususan. Akan tetapi kejadiannya bersamaan dengan itu. Sesunguhnya larangannya adalah berjalan di atas kubur dengan menggunakan sandal (Fathul Baari syarh Shohih al-Bukhari karya Ibnu Hajar al-‘Asqolaany juz 10 halaman 309)

عَنْ أَبِي الْهَيَّاجِ الْأَسَدِيِّ قَالَ قَالَ لِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ

Dari Abul Hayyaah al-Asadiy beliau berkata: Ali bin Abi Tholib berkata kepada saya: Maukah aku utus engkau dengan (misi) sebagaimana Rasulullah shollallahu alaihi wasallam mengutusku? Yaitu janganlah engkau tinggalkan suatu patung/ gambar makhluk bernyawa kecuali engkau hapus, dan tidaklah ada kuburan yang ditinggikan kecuali engkau ratakan
(H.R Muslim no 1609)

Pada bab ini dalam Kitabut Tauhid akan dijelaskan dalil-dalil yang menunjukkan bahwa sikap berlebihan terhadap kubur seorang sholih akan menyebabkan kubur itu (pada akhirnya) disembah.

Al-Imam asy-Syaukany rahimahullah dalam Kitabnya Nailul Authar menyatakan:

Di antara perbuatan yang pertama kali masuk (larangannya) dalam hadits adalah membangun kubah-kubah dan cungkup-cungkup di atas kubur. Lagipula yang demikian itu termasuk menjadikan kubur sebagai masjid, padahal Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam telah mengutuk orang yang melakukan itu.

Banyak sudah kerusakan yang ditangisi Islam (kaum muslimin,pent) akibat dari pendirian bangunan-bangunan di atas kubur dan tindakan memperindahnya. Di antara kerusakan-kerusakan itu adalah kepercayaan orang-orang bodoh terhadap kubur seperti kepercayaan orang-orang kafir terhadap berhala. Dan semakin menjadi-jadi sehingga mereka menganggap bahwa kubur tersebut mampu mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan. Lalu mereka menjadikan kubur-kubur itu sebagai tempat tujuan untuk mencari hal-hal yang dapat menutupi kebutuhan mereka dan untuk keberhasilan maksud-maksud mereka. Mereka meminta kepada kubur-kubur itu apa yang diminta oleh hamba kepada Tuhannya.

Mereka bersusah payah melakukan perjalanan ke kubur-kubur tersebut lalu mengusap-usapnya serta meminta tolong agar terhindar dari bahaya. Walhasil, mereka tidak meninggalkan satupun dari apa yang dilakukan orang-orang Jahiliyyah terhadap berhala, melainkan pasti mereka kerjakan juga. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’un.

Tetapi meski ada kemungkaran yang keji dan kekufuran yang nyata ini, kami tidak menemukan seorangpun yang marah karena Allah dan tersinggung demi menjaga agama Allah yang lurus. Baik ia Ulama’, pelajar, gubernur, Menteri, ataupun raja. Padahal telah sampai kepada kita berita-berita yang tidak diragukan lagi kebenarannya bahwa para penyembah kubur itu atau sebagian besarnya, apabila diminta bersumpah atas nama Allah oleh pihak lawannya, mereka akan bersumpah palsu atas nama-Nya. Tetapi kalau sesudah itu mereka diminta bersumpah atas nama syekhnya atau wali fulan yang diyakininya, mereka menjadi bimbang dan menolak bersumpah lalu mengakui kesalahannya.

Demikian ini merupakan bukti yang paling jelas yang menunjukkan bahwa kesyirikan mereka telah melampaui kesyirikan orang yang mengatakan Allah itu oknum kedua atau ketiga dari tiga tuhan (Nashrani, pent).

Hai Ulama Islam dan para penguasa muslim, bencana apakah yang lebih berbahaya dari kekufuran?! Cobaan manakah yang lebih menimbulkan mudharat (bahaya/kerugian) terhadap agama daripada penyembahan kepada selain Allah. Musibah macam manakah yang menimpa kaum muslimin yang dapat menyamai musibah ini, dan kemungkaran yang bagaimana yang wajib ditentang jika kesyirikan yang nyata ini tidak wajib diingkari?!

(Nailul Authar karya asy-Syaukany (4/131)).

 

Oleh:
Abu Utsman Kharisman

Tinggalkan Balasan