Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Al-Imam al-Baiquniy rahimahullah menyatakan:

وَمُبْهَمٌ مَا فِيهِ رَاوٍ لَمْ يُسَمْ

dan mubham adalah yang di dalamnya terdapat perawi yang tidak disebutkan namanya
(Mandzhumah al-Baiquniyyah)

Penjelasan:

Definisi mubham adalah hadits yang dalam silsilah mata rantai perawinya ada perawi yang tidak disebutkan namanya. Misalkan hanya disebutkan: dari seorang laki-laki, atau dari seorang wanita, dan semisalnya. Mubham pada perawi menyebabkan perawi itu tidak bisa diketahui apakah terpercaya atau tidak.

Hadits mubham tidak mengapa jika pada bagian perawi yang mubham dipastikan adalah:

1) Sahabat Nabi, atau:

2) dengan isyarat tanpa nama itu sudah diketahui siapa sebenarnya perawi tersebut karena sudah masyhur dan ia tergolong perawi yang diterima periwayatannya. Contoh: dalam suatu hadits, disebut perawi: Kaatibul Mughiroh (juru tulis al-Mughiroh). Ini sudah dimaklumi bahwa juru tulis al-Mughiroh adalah Warrood ats-Tsaqofiy yang tsiqoh. Atau,

3) dalam satu jalur riwayat disebutkan secara mubham, namun tidak mubham pada jalur lain.

Jika tidak memenuhi ke-3 kriteria tersebut, sehingga tidak diketahui siapa orang yang mubham tersebut, maka ini tergolong lemah karena tidak diketahui siapa dan bagaimana status perawi tersebut, terpercaya atau tidak. Padahal salah satu kriteria hadits shahih adalah perawinya adil dan dhobith (tsiqoh).


Simak pembahasan sebelumnya: Pembahasan Hadits Mu’an’an


Contoh Hadits Mubham yang Shahih

Berikut ini akan disebutkan 2 contoh hadits Nabi yang mubham, namun perawi yang mubham dipastikan adalah Sahabat Nabi. Hal itu tidak mengapa. Karena sudah dipastikan bahwa seluruh Sahabat Nabi terpercaya.

Contoh pertama:

عَنْ مَعْمَرٍ عَنِ الزُّهْرِىِّ قَالَ أَخْبَرَنِى أَبُو أُمَامَةَ بْنُ سَهْلٍ : أَنَّهُ أَخْبَرَهُ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم : أَنَّ السُّنَّةَ فِى الصَّلاَةِ عَلَى الْجَنَازَةِ أَنْ يُكَبِّرَ الإِمَامُ ، ثُمَّ يَقْرَأُ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ بَعْدَ التَّكْبِيرَةِ الأُولَى سِرًّا فِى نَفْسِهِ ، ثُمَّ يُصَلِّى عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- وَيُخْلِصُ الدُّعَاءَ لِلْجَنَازَةِ فِى التَّكْبِيرَاتِ لاَ يَقْرَأُ فِى شَىْءٍ مِنْهُنَّ ، ثُمَّ يُسَلِّمُ سِرًّا فِى نَفْسِهِ

Dari Ma’mar dari az-Zuhriy ia berkata: telah mengkhabarkan kepadaku Abu Umamah bin Sahl bahwasanya seorang Sahabat Nabi telah mengkhabarkan kepadanya: Sesungguhnya sunnah dalam sholat jenazah adalah Imam bertakbir kemudian membaca surat al-Fatihah setelah takbir pertama secara sirr (lirih) dalam dirinya, kemudian bersholawat kepada Nabi shollallahu alaihi wasallam dan mengikhlaskan doa untuk jenazah dalam takbir-takbir berikutnya, tidak membaca (surat) apapun. Kemudian mengucapkan salam secara sirr (lirih) dalam dirinya (H.R al-Baihaqiy)

Syaikh al-Albaniy rahimahullah menilai shahih hadits ini dalam Irwaul Gholiil dengan penguat dari riwayat al-Imam asy-Syafii dalam al-Umm dan riwayat Ibnu Abi Syaibah secara mursal.

Contoh kedua:

أَخْبَرَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْحَسَنِ قَالَ حَدَّثَنَا حَجَّاجٌ عَنْ لَيْثِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ صَالِحٍ أَنَّ صَفْوَانَ بْنَ عَمْرٍو حَدَّثَهُ عَنْ رَاشِدِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا بَالُ الْمُؤْمِنِينَ يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ إِلَّا الشَّهِيدَ قَالَ كَفَى بِبَارِقَةِ السُّيُوفِ عَلَى رَأْسِهِ فِتْنَةً (رواه النسائي)

(anNasaai menyatakan) Telah mengkhabarkan kepada kami Ibrahim bin al-Hasan ia berkata: telah menceritakan kepada kami Hajjaj dari Laits bin Sa’ad dari Muawiyah bin Sholih bahwasanya Shofwan bin ‘Amr menceritakan kepadanya dari Rosyid bin Sa’ad dari seorang laki-laki yang termasuk Sahabat Nabi shollallahu alaihi wasallam bahwasanya seseorang berkata: Wahai Rasulullah, mengapa kaum beriman mendapatkan ujian di kuburannya namun orang mati syahid tidak demikian? Nabi bersabda: Cukup kilatan pedang (sebelum menebas) kepalanya sebagai (pengganti) ujian (H.R anNasaai)

Hadits tersebut dishahihkan oleh Syaikh al-Albaniy. Seorang yang terbunuh di jalan Allah dalam jihad yang syar’i, itu sudah cukup sebagai pengganti ujian di dalam kubur, pertanyaan dari 2 Malaikat (disarikan dari syarh Riyadhis Sholihin karya Syaikh Ibn Utsaimin (1/1489)).

Contoh Hadits Mubham yang Lemah

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الْعَتَكِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ ثَابِتٍ حَدَّثَنِي رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الشَّامِ عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ أَوْ عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ بِلَالًا أَخَذَ فِي الْإِقَامَةِ فَلَمَّا أَنْ قَالَ قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقَامَهَا اللَّهُ وَأَدَامَهَا

(Abu Dawud menyatakan) Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Dawud al-’Atakiy (ia berkata) telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Tsabit (ia berkata) telah menceritakan kepadaku seorang laki-laki penduduk Syam dari Syahr bin Hawsyab dari Abu Umamah atau dari sebagian sahabat Nabi shollallahu alaihi wasallam bahwasanya Bilal mengumandangkan iqomat. Ketika sampai kalimat: Qod qoomatis sholaah, Nabi shollallahu alaihi wasallam mengucapkan: Aqoomahallaahu wa adaamaha. (H.R Abu Dawud)

Para Ulama menjelaskan bahwa hadits tersebut lemah, setidaknya karena 2 sebab:

Pertama: Perawi yang bernama Muhammad bin Tsabit (al-Abdiy) dilemahkan oleh Yahya bin Ma’in dan anNasaai (ad-Dhuafaa’ wal Matrukiin karya Ibnul Jauzi (3/45)).

Kedua: Perawi yang mubham, tidak disebut namanya. Sehingga tidak diketahui siapa dia. Hanya disebutkan: “seorang laki-laki penduduk Syam”.

Karena itu tidak disyariatkan mengucapkan Aqoomahallaahu wa adaamahaa saat menjawab iqomat: Qod Qoomatis Sholaah. Namun, kalau kita ingin menjawab seruan orang yang iqomat, hendaknya mengucapkan seperti yang diucapkan oleh orang yang iqomat itu. Jika dia mengucapkan Qod Qoomatis Sholaah, kita juga mengucapkan Qod Qoomatis sholaah. Karena iqomat semakna dengan adzan. Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda:

إِذَا سَمِعْتُمُ النِّدَاءَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ الْمُؤَذِّنُ

Jika kalian mendengar kumandang (adzan/iqomat), ucapkanlah semisal dengan yang diucapkan muadzin (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Abu Said al-Khudriy)

(Disarikan dari transkrip pelajaran syarh Sunan Abi Dawud yang disampaikan Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad (3/40)).

Adzan semakna dengan iqomat, berdasarkan hadits:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُغَفَّلٍ الْمُزَنِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ ثَلَاثًا لِمَنْ شَاءَ

Dari Abdullah bin Mughoffal al-Muzaniy bahwasanya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Antara setiap 2 adzan ada sholat (beliau mengucapkan demikian 3 kali). Bagi siapa saja yang mau melaksanakannya (H.R al-Bukhari dan Muslim)

Maksud antara 2 adzan itu kata para Ulama adalah antara adzan dan iqomat.

 

Penulis:
Abu Utsman Kharisman

Tinggalkan Balasan