Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Pandangan Al-Imam Asy-Syafii dan Ulama Syafiiyyah tentang Berkumpul untuk Makan di Rumah Duka

عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنْ النِّيَاحَةِ

Dari Jarir bin Abdillah al-Bajaliy –radhiyallahu anhu- beliau berkata: Kami (para Sahabat Nabi) memandang berkumpulnya orang-orang pada keluarga mayit dan keluarga mayit membuatkan makanan untuk mereka setelah dikuburkan, adalah termasuk niyahah (meratap)
(H.R Ahmad dan Ibnu Majah, dinyatakan sanadnya shahih oleh anNawawiy dalam al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab)

Perbuatan niyahah (meratap) adalah kebiasaan di masa Jahiliyyah yang hal itu termasuk dosa besar. Dalam hadits yang lain dinyatakan:

النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ

Wanita yang melakukan ‘niyahah’ (meratap) jika tidak bertaubat sebelum meninggal, pada hari kiamat akan diberdirikan (di hadapan para makhluk) dengan memakai pakaian dari ter (cairan timah panas) dan pakaian kudis
(H.R Muslim)


Baca Juga: Takziyah Tidak Selalu Berkunjung ke Rumah


Al-Imam asy-Syafi’i dan para Ulama yang bermadzhab Syafi’iyyah -semoga Allah merahmati mereka- memandang berkumpulnya orang-orang di rumah duka bahkan makan-makan di sana adalah hal yang dibenci bahkan bid’ah yang harus dihindari. Berikut ini akan disampaikan kutipan ucapan mereka dalam kitab-kitab fiqh rujukan dalam madzhab al-Imam asy-Syafii.

Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah menyatakan:

وَأَكْرَهُ الْمَأْتَمَ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ بُكَاءٌ فَإِنَّ ذَلِكَ يُجَدِّدُ الْحُزْنَ وَيُكَلِّفُ الْمُؤْنَةَ

Dan saya membenci al-Ma’tam yaitu berkumpul (duduk-duduk dalam suasana duka) meskipun tidak ada tangisan. Karena hal itu akan memperbaharui perasaan sedih dan membebani pengeluaran.
(al-Umm (1/279))

Salah seorang Ulama bermadzhab Syafiiyyah, yaitu anNawawiy rahimahullah menyatakan:

قَالَ صَاحِبُ الشَّامِل وَأَمَّا إِصْلاَح ُأَهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا وَجَمْعُهُمُ النَّاس عَلَيْه فَلَمْ يُنْقَلْ فِيْهِ شَىْءٌ قَالَ وَهُوَ بِدْعَةٌ غَيْرُ مُسْتَحَبَّةٍ وَهُوَ كَمَا قَالَ

Penulis kitab asy-Syamil berkata: Adapun keluarga mayit membuatkan makanan dan manusia berkumpul (untuk menyantap hidangan tersebut) tidaklah dinukil (riwayat apapun dari Nabi dan para Sahabat, pent). Itu adalah bid’ah yang tidak disukai. (anNawawiy berkata) benar, demikian seperti yang beliau nyatakan.
(Roudhotut Tholibin (2/145))

Dalam kitab Hasyiyah I’anatuth Tholibin, Abu Bakr ad-Dimyathiy rahimahullah menukil jawaban mufti di negeri al-Haram pada waktu itu:

مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنَ الْاِجْتِمَاعِ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعِ الطَّعَامِ، مِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ الَّتِي يُثَابُ عَلَى مَنْعِهَا وَالِي الْاَمْرِ

Apa yang dilakukan oleh orang-orang yang berkumpul di keluarga mayit dan dihidangkannya makanan adalah termasuk bid’ah yang munkar, yang jika pemimpin mencegahnya, ia akan mendapatkan pahala atas hal itu.
(Hasyiyah Ianatuth Tholibin (2/165)).

Syihabuddin Ahmad bin Hajar al-Haitamiy –salah seorang Ulama Syafiiyyah, beliau wafat di tahun 974 H- menyatakan:

وَمَا اُعْتِيدَ مِنْ جَعْلِ أَهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا لِيَدْعُوا النَّاسَ عَلَيْهِ بِدْعَةٌ مَكْرُوهَةٌ كَإِجَابَتِهِمْ لِذَلِكَ لِمَا صَحَّ عَنْ جَرِيرٍ كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصُنْعَهُمْ الطَّعَامَ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنْ النِّيَاحَةِ وَوَجْهُ عَدِّهِ مِنْ النِّيَاحَةِ مَا فِيهِ مِنْ شِدَّةِ الِاهْتِمَامِ بِأَمْرِ الْحُزْنِ وَمِنْ ثَمَّ كُرِهَ لِاجْتِمَاعِ أَهْلِ الْمَيِّتِ لِيُقْصَدُوا بِالْعَزَاءِ قَالَ الْأَئِمَّةُ بَلْ يَنْبَغِي أَنْ يَنْصَرِفُوا فِي حَوَائِجِهِمْ فَمَنْ صَادَفَهُمْ عَزَّاهُم

Kebiasaan keluarga mayit membuatkan makanan kemudian mengundang orang-orang (menikmati hidangan itu) adalah bid’ah yang dibenci. Demikian juga menghadiri undangan itu. Karena telah shahih dari Jarir: Kami menganggap berkumpul menuju keluarga mayit dan mereka menghidangkan makanan setelah dimakamkannya (jenazah) adalah termasuk niyahah (meratap). Diperhitungkannya hal itu termasuk meratap adalah karena (keluarga mayit tersebut sedang) dirundung kesedihan yang sangat. Atas dasar itu, berkumpul ke keluarga mayit dengan tujuan takziyah adalah dibenci. Para imam berkata: Justru semestinya masing-masing pergi menunaikan keperluan mereka. Barang siapa yang bertepatan bertemu, bisa menghibur (menguatkan hati) mereka.
(Tuhfatul Muhtaaj fi syarhil Minhaaj (11/440))

Muhammad bin Ahmad al-Khothib asy-Syirbiiniy rahimahullah menyatakan:

أَمَّا إصْلَاحُ أَهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا وَجَمْعُ النَّاسِ عَلَيْهِ فَبِدْعَةٌ غَيْرُ مُسْتَحَبٍّ

Keluarga mayit membuatkan makanan dan mengumpulkan manusia (untuk menyantap hidangan itu) adalah bid’ah, bukan hal yang dianjurkan.
(Mughniy al-Muhtaaj ilaa Ma’rifati Alfaadzhil Minhaaj (4/369))


Baca Juga: Pelajaran Berharga dari Percakapan Al-Muzani dan Al-Imam Asy-Syafi’i


Sebenarnya yang disunnahkan adalah para tetangga dan kerabat memberikan makanan untuk keluarga yang berduka. Berdasarkan hadits:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ لَمَّا جَاءَ نَعْيُ جَعْفَرٍ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اصْنَعُوا لِأَهْلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ جَاءَهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ

Dari Abdullah bin Ja’far radhiyallahu anhu beliau berkata: Ketika datang khabar kematian Ja’far, Nabi shollallaahu alaihi wasallam bersabda: Buatlah makanan untuk keluarga Ja’far karena mereka tengah mengalami (kesedihan) yang menyibukkan mereka.
(H.R atTirmidzi, Ibnu Majah)

Namun, yang perlu dipahami adalah bahwa hidangan yang dikirim oleh para kerabat atau tetangga itu adalah untuk keluarga yang berduka. Bukan untuk dihidangkan lagi pada para pengunjung. Demikian yang dijelaskan oleh al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah:

قَالَ الشَّافِعِي فِي الْمُخْتَصَرِ وَأُحِبُّ لِقَرَابَةِ الْمَيِّتِ وَجِيْرَانِهِ أَنْ يَعْمَلُوْا لِأَهْلِ الْمَيِّتِ فِي يَوْمِهِمْ وَلَيْلَتِهِمْ طَعَامًا يُشْبِعُهُمْ فَإِنَّهُ سُنَّة

Asy-Syafi’i berkata dalam al-mukhtashar: Saya suka jika kerabat dan tetangga mayit membuatkan makanan untuk keluarga mayit yang mencukupinya (mengenyangkan mereka) dalam sehari semalam, karena itu adalah sunnah.
(al-Majmu’ syarhul Muhadzdzab (5/319))

Semoga Allah Azza Wa Jalla senantiasa melimpahkan taufiq, rahmat, dan ampunan-Nya kepada segenap kaum muslimin.

 

Ditulis oleh:
Abu Utsman Kharisman

Tinggalkan Balasan