Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Kutipan Ceramah Syaikh Ubaid bin Abdillah Al Jabiri hafidzahullah

Pada pandangan kami (asy Syaikh Ubaid) bahwa pendapat ahlul ijtihad ada tiga jenis:

Pertama:

Pendapat seorang yang faqih dan berilmu yang kukuh ilmunya, seorang pemberi nasehat ketika terjadi sebuah permasalahan yang tidak didapati dalil penyelesaiannya (secara langsung) baik dari Al Qur’an ataupun Sunnah bahkan ijma’ ulama, maka alim tersebut akan mengerahkan seluruh kemampuannya sehingga dibutuhkan kecerdikan, dia memandang harus ada pendapat – yang bisa menuntaskan – permasalahan ini.

(Apabila) ternyata pendapatnya sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallahu alahi wa sallam, maka jenis pendapat ini termasuk yang disebutkan oleh Al Bukhari dan selainnya tentang Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa telah terjadi suatu kejadian, yaitu ada seorang wanita yang meninggal suaminya dalam keadaan belum pernah melakukan jima’.

Maka Ibnu Mas’ud berkata:

“Aku menyatakan dalam permasalahan ini dengan pendapatku, apabila benar (maka datang) dari Allah, dan apabila salah (murni) dari diriku, Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari pendapat tersebut; Aku memandang bagi wanita tersebut tetap berhak mendapat mahar, harta warisan dan berlaku baginya (masa) ‘iddah.”

Kemudian berdirilah seseorang serta mengatakan: ‘Aku bersaksi bahwa Rasulullah shallallahu alai wasallam telah menetapkan demikian pada wanita dari kalangan kami sebagaimana yang engkau tetapkan wahai Ibnu Mas’ud.’

Maka Ibnu Mas’ud pun bertakbir bergembira dikarenakan pendapatnya sesuai dengan sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam.

Sehingga wahai pendengar sekalian dari kalangan muslimin dan muslimat, perhatikanlah pemikiran ini adalah suatu pendapat yang baik dan muncul dari orang yang baik, (ditinjau dari beberapa alasan):

– ketika ia telah berupaya dan bersungguh-sungguh
– bersandar kepada suatu pendapat ketika belum didapati suatu dalil (yang dia ketahui)
– ide/pendapatnya mencocoki sunnah (nabi shalallahu alahi wasallam)

Maka ini taufiq dari Allah subhanahu wata’ala.


Artikel bermanfaat lainnya: Kerukuan dan Persatuan Lebih Diutamakan daripada Menerapkan Pendapat Pilihan dalam Fiqh


Kedua:

Pendapat seorang ahli (faqih) yang termasuk ahli ijtihad. Dia memberi nasehat ketika terjadi sebuah permasalahan, maka dia berijtihad dengan pendapatnya dari hasil kesungguhannya (dalam mencari solusi), akan tetapi (ternyata) belum sesuai dengan sunnah Rasul shallallahu alaihi wasallam. Maka seorang faqih tersebut tetap terpuji dan dihargai,  dan dipuji sebagaimana layaknya dipuji orang yang berilmu dan beriman. Akan tetapi pendapatnya tidak diterima, disebabkan tidak sesuai dengan sunnah Rasul shallallahu alai wasallam. Dan perbuatan ini dibenarkan oleh Rasulullah shallallahu alahi wa sallam:

إِذَا اجْتَهَدَ الْحَاكِمُ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا اجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ

“Apabila seorang hakim berijtihad , jika benar -pendapatnya-  maka baginya dua pahala, dan jika salah maka baginya 1 pahala.”

Yang demikian di sisi para ulama al mujtahidin sebuah perkara yang baik, diampuni kesalahannya in sya Allah, diberikan udzur padanya, dan diberi pahala atas usahanya.

Maka dengan ini para ahlul ijtihad dengan jenis ini tidak dicela oleh para ulama. Bahkan dijaga kemulian dan kehormatannya. Dan mereka mengakui kemuliaan dan kedudukan yang terhormat bagi ahlul ijtihad yang senior.
Walaupun tidak diikuti pada sesuatu yang ada kesalahannya. Yang demikian ini sudah menjadi suatu yang disepakati bahwa tidak dibenarkan untuk mengikuti pendapat seorang yang salah ketika dalil menyelisihi pendapat tersebut.


Artikel bermanfaat lainnya: Bolehkan Saling Membiarkan Perbedaan Prinsip dalam Agama?


Ketiga:

Pendapatnya pengekor hawa nafsu yang sesat, yang tidak menjadikan akal-akal mereka mengikuti ayat ataupun hadits, maka pikiran seperti ini diperingatkan oleh para ulama, serta dicela bagi siapa yang mengikutinya, dikarenakan mengandung penentangan terhadap nash dan tidak mengamalkan nash tersebut, bahkan bersandar dengan ucapan manusia.

Imam Ahmad sangat mencela pendapat orang yang hanya mengikuti pendapat mayoritas, beliau mengatakan:

عجبت لقوم عرفوا الإسناد وصحته يذهبون إلى رأي سفيان

‘Aku heran terhadap suatu kaum, mereka mengetahui ilmu sanad dan keshahihannya akan tetapi memilih pendapat Sufyan’.


Artikel penting lainnya: Kasih Sayang dan Keadilan Ahlussunnah kepada Para Makhluk Allah


Demikianlah para ulama dan ahlul iman mengecam jenis pendapat seperti ini dan pelakunya serta mencela mereka sebagaimana yg dikatakan oleh Mufadhdhol Ibnu Muhalhal rahimahullah:

 لو كان صاحب البدعة يحدثك في أول أمره بالبدعة لحذرته ونفرت منه، ولكنه يحدثك في بُدُوِّ مجلسه بالسنة، ثم يدخل عليك من بدعته فلعلها تلزم قلبك فمتى تفارق قلبك

‘Kalaulah pelaku bid’ah berbicara denganmu dengan kebid’ahannya di awal pertemuan denganmu, maka engkau akan menghindar bahkan lari darinya, akan tetapi ahlul bid’ah berbicara pada awalnya dengan Sunnah kemudian mencampurkan dengan kebidahan, sehingga tertancap pada hatimu, maka ketika itu kapan akan lepas dari hatimu’.

Dan berkata Mus’ab bin Sa’ad rahimahullah:

لا تجالس مفتوناً؛ فإنه لن يخطئك منه إحدى اثنتين، إما أن يفتنك فتتابعه، أو يؤذيك قبل أن تفارقه

‘Jangan engkau duduk bersama orang yang terbawa fitnah, karena tidak akan lepas padamu salah satu dari dua hal darinya;

– bisa jadi engkau terkesima dengan ucapannya sehingga engkau terpengaruh (mengikutinya),
atau
– menjauh darinya setelah engkau tersakiti dengan ucapannya.”

 

Sumber artikel:
is.gd/7p9l5r

Penerjemah:
Abu Abdil Majid Fauzan

Tinggalkan Balasan