Memahami Takbir Hari-hari Raya
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
يوم عرفة، ويوم النحر، وأيام التشريق: عيدنا أهل الإسلام، وهي أيام أكل وشرب
“Hari ‘Arofah, hari penyembelihan, dan hari-hari tasyriq adalah hari-hari raya bagi kita umat islam, yang hari-hari (penyembelihan dan tasyriq) itu merupakan hari-hari makan dan minum.”
(HR. Abu Dawud dan dishahihkan syaikh alAlbani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abi Dawud, dari sahabat ‘Uqbah bin Amir radhiyallahu ‘anhu).
Diantara jenis ibadah yang disyariatkan pada kurun waktu yang disebut dalam hadits sebagai hari raya umat islam adalah mengumandangkan takbir.
Dalam alQuran telah termaktub perintah berdzikir secara umum dan secara khusus di antaranya pada hari-hari yang dimaklumi dan pada hari yang berbilang.
وَأَذِّن فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ
لِّيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ ۖ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
“Dan serukanlah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan agar mereka berdzikir (menyebut) nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagiannya dan (sebagian lain) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.”
(AlHaj : 27-28)ﻭَﺍﺫْﻛُﺮُﻭﺍ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻓِﻲ ﺃَﻳَّﺎﻡٍ ﻣَﻌْﺪُﻭﺩَﺍﺕٍ ﻓَﻤَﻦْ ﺗَﻌَﺠَّﻞَ ﻓِﻲ ﻳَﻮْﻣَﻴْﻦِ ﻓَﻼ ﺇِﺛْﻢَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﻣَﻦْ ﺗَﺄَﺧَّﺮَ ﻓَﻼ ﺇِﺛْﻢَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻟِﻤَﻦِ ﺍﺗَّﻘَﻰ ﻭَﺍﺗَّﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻭَﺍﻋْﻠَﻤُﻮﺍ ﺃَﻧَّﻜُﻢْ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﺗُﺤْﺸَﺮُﻭﻥَ
“Dan berdzikirlah kalian (dengan menyebut) Allah pada beberapa hari yang berbilang. Barangsiapa yang ingin bersegera meninggalkan (Mina) sesudah dua hari, tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), tidak ada dosa pula baginya, bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa kalian akan dikumpulkan kepada-Nya.”
(AlBaqoroh: 203)
Sehingga yang pertama patut ditanamkan bahwa bertakbir pada hari raya dan hari-hari yang ditentukan sekitar itu adalah berasal dari perintah Allah dalam alQuran, bahkan ini bagian dari mengagungkan syiar Allah yang merupakan tanda ketaqwaan.
Penyebutan khusus rentang waktu antara hari arofah (9 Dzulhijjah) hingga tanggal 13 Dzulhijjah (akhir tasyriq) sebagai hari-hari raya umat islam tentu karena adanya amalan yang diserupakan pada periode tersebut. Ketika hari arofah disunnahkan berpuasa bagi selain jama’ah haji, maka dikenali bahwa kesamaan ibadah pada periode tersebut bukan berupa puasa, karena puasa diharamkan (bagi selain jama’ah haji) pada iedul adha dan hari-hari tasyriq. Bahkan ke-4 hari terakhir dalam urutan periode tersebut disebut sebagai “hari-hari makan dan minum.”
Masuknya hari arofah dan hari ke-13 dzulhijjah juga menyebabkan penyembelihan hewan qurban bukan ibadah yang menyatukan hari-hari tersebut. Maka takbir menjadi penyatu kelima hari tersebut.
Dan ketika pada hari-hari sebelumnya (sejak tanggal 1 Dzulhijjah) sudah disyariatkan takbir, dibedakanlah takbir yang awal dengan takbir akhir ini dengan istilah mutlak dan muqoyyad.
Artikel bermanfaat lainnya: Takbir Tambahan Dalam Shalat Ied
TAKBIR MUTLAK DAN MUQOYYAD
AlFaqih Muwaffaquddin ibnu Qudamah alMaqdisi (wafat 620 H) merumuskan pilihan fiqih Imam Ahmad bin Hanbal dalam masalah ini, beliau rahimahullah menyatakan:
فصل
فأما التكبير في الأضحى فهو على ضربين: مطلق ومقيد. فأما المطلق فالتكبير في جميع الأوقات، من أول العشر إلى آخر أيام التشريق. وأما المقيد فهو التكبير في أدبار الصلوات، من صلاة الصبح يوم عرفة إلى العصر من آخر أيام التشريق
“Pasal: Adapun takbir pada Iedul Adha terbagi 2 berdasarkan 2 jenis riwayat: MUTLAK dan MUQOYYAD.
– adapun mutlak, yaitu takbir pada seluruh waktu (tanpa batasan -pent.) sejak permulaan 10 hari (pertama Dzulhijjah), hingga akhir hari-hari tasyriq
– sedangkan muqoyyad, berupa takbir setelah sholat-sholat (fardhu -pent.) sejak subuh hari arofah hingga ashar terakhir hari-hari tasyriq.
(AlKafi fi Fiqhi Imam Ahmad, juz 1 hal. 343)
Bagi kita muslimin di Indonesia yang mayoritas diantara kita merujuk pada pandangan madzhab asySyafi’i, mari kita perhatikan pendapat para imam syafi’iyyah, yang ternyata serupa dalam masalah ini.
Imam Ali bin Muhammad alMawardi rahimahullah (wafat 450 H) dalam alHawi alKabir (Syarh Mukhtashor alMuzani juz 2 hal. 485) menyatakan:
فصل
التكبير على ضربين: مطلق ومقيد. فالمقيد: ما انتظر به أدبار الصلوات. والمطلق: ما لم ينتظر به حال دون حال
فالتكبير المقيد بالصلوات مسنون في عيد الأضحى وأيام التشريق
“(Pasal) Takbir terbagi 2 jenis: Mutlak dan Muqoyyad. Adapun muqoyyad (maksudnya) yang pelaksanaanya menunggu setiap selesai sholat-sholat. Sedangkan mutlak, adalah yang tidak perlu menunggu situasi tertentu.
Takbir muqoyyad setelah sholat-sholat (wajib) disunnahkan pada iedul adha dan hari-hari tasyriq…”
Artikel bermanfaat lainnya: Hari-hari Terbaik Beramal Shalih (10 Hari Pertama Dzulhijjah)
APA DALIL TAKBIR MUQOYYAD?
1. AYAT ALQURAN
Sebagaimana ayat yang disebutkan di awal, telah disebutkan perintah dzikir khusus pada hari-hari yang berbilang sebagaimana diperintahkan pula pada hari-hari yang tertentu/dimaklumi.
ﻭَﺍﺫْﻛُﺮُﻭﺍ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻓِﻲ ﺃَﻳَّﺎﻡٍ ﻣَﻌْﺪُﻭﺩَﺍﺕ
“Dan berdzikirlah kalian (dengan menyebut) Allah pada beberapa hari yang berbilang.”
وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَات
“… dan agar mereka berdzikir (menyebut) nama Allah pada hari yang telah ditentukan.”
Berikut sebagian penjelasan sahabat dan tabi’in dinukilkan Ibnu Katsir dalam kitab tafsir beliau.
ﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ: “ﺍﻷﻳﺎﻡ ﺍﻟﻤﻌﺪﻭﺩﺍﺕ” ﺃﻳﺎﻡ ﺍﻟﺘﺸﺮﻳﻖ ، ﻭ “ﺍﻷﻳﺎﻡ ﺍﻟﻤﻌﻠﻮﻣﺎﺕ ” ﺃﻳﺎﻡ ﺍﻟﻌَﺸْﺮ . ﻭﻗﺎﻝ ﻋﻜﺮﻣﺔ : {ﻭَﺍﺫْﻛُﺮُﻭﺍ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻓِﻲ ﺃَﻳَّﺎﻡٍ ﻣَﻌْﺪُﻭﺩَﺍﺕٍ} ﻳﻌﻨﻲ : ﺍﻟﺘﻜﺒﻴﺮ ﺃﻳﺎﻡَ ﺍﻟﺘﺸﺮﻳﻖ ﺑﻌﺪﺍﻟﺼﻠﻮﺍﺕ ﺍﻟﻤﻜﺘﻮﺑﺎﺕ : ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻛﺒﺮ ، ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻛﺒﺮ
“Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhuma- berkata: hari-hari yang berbilang yaitu hari-hari tasyriq, sedangkan hari-hari yang ditentukan maksudnya sepuluh hari pertama (dari bulan Dzulhijjah).
Ikrimah rahimahullah berkata: Dan berdzikirlah kepada Allah pada hari-hari yang berbilang yaitu takbir hari-hari tasyriq setelah sholat wajib berupa takbir: Allahu Akbar, Allahu Akbar.”
2. HADITS MARFU’ YANG TEGAS NAMUN LEMAH
Sebenarnya sebagian ulama mendasarkan masalah ini pada hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu:
كان يكبر في صلاة الفجر يوم عرفة إلى صلاة العصر من آخري أيام التشريق؛ حين يسلم من المكتوبات
“Dulu (Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam) beliau biasa bertakbir sejak sholat subuh di hari arofah hingga shokat ashar pada akhir hari-hari tasyriq, ketika selesai dari sholat wajib.”
(HR. athThobaroni dalam Fadhl ‘Asyr DzilHijjah, dan alBaihaqi)
Dan dalam riwayat Imam adDaruquthni rahimahullah dalam sunannya dengan redaksi:
كان إذا صلى الصبح من غداة عرفة يقبل على أصحابه فيقول: “على مكانكم ” ويقول: “الله أكبر الله أكبر الله أكبر، لا إله إلا الله، الله أكبر ولله الحمد”، فيكبر من غداة عرفة إلى صلاة العصر من آخر أيام التشريق
“Dulu beliau – shollallahu ‘alaihi wasallam – apabila selesai sholat subuh di pagi hari arofah, beliau menghadap ke arah para sahabatnya kemudian bersabda: “Tetaplah pada posisi kalian!” dan mengucapkan:
الله أكبر الله أكبر الله أكبر، لا إله إلا الله، الله أكبر ولله الحمد
sehingga beliau -shollallahu ‘alaihi wasallam – bertakbir (dimulai) dari pagi hari arofah sampai (setelah) sholat ashar hari tasyriq terakhir.”
Namun para ulama ahli hadits mengkritik keras riwayat-riwayat ini karena pada riwayat pertama rawi Amr bin Syamr; ibnu Hayyan menyebutnya sebagai Rafidhi, pencela sahabat Nabi. Dan juga Jabir alJu’fi; alBaihaqi menyatakan tidak bisa dipakai hujjah, artinya keduanya melemahkan derajat hadits.
Sementara pada riwayat kedua (adDaruquthni) terdapat rawi Nail bin Najih yang juga lemah.
Sehingga Kesimpulan beberapa peneliti hadits memasukkan dalam kategori dhoif (lemah) sampai maudhu’ (palsu). Detail pembahasannya dibahas syaikh Muhammad Nashiruddin alAlbani rahimahullah dalam Silsilah alAhadits adhDho’ifah pada nomor 5578.
Artikel bermanfaat lainnya: Nabi Berkurban untuk Diri, Keluarga, dan Umat Beliau
3. CONTOH PERBUATAN SAHABAT (yang tidak diingkari sahabat lainnya).
Sebagian ulama membahasakan hal semacam ini dengan sebutan IJMA’.
Ibnu Qudamah rahimahullah (masih dalam alKafi) melanjutkan:
قيل لأحمد: بأي حديث تذهب إلى أن التكبير في صلاة الفجر يوم عرفة إلى العصر من آخر أيام التشريق؟ قال: بالإجماع عن عمر وعلي وابن عباس وابن مسعود رضي الله عنهم
Ditanyakan kepada Imam Ahmad rahimahullah; dengan dasar hadits apakah anda berpendapat bahwa takbir (muqoyyad) dilaksanakan sejak (selesai) sholat fajar (yaitu subuh -pent.) hari arofah sampai (selesainya) sholat ashar di akhir hari-hari tasyriq? Beliaupun menjawab: “DENGAN IJMA’ (kesepakatan) UMAR, ALI, IBNU ABBAS, dan IBNU MAS’UD radhiyallahu ‘anhum.”
AlHafidz anNawawi rahimahullah (wafat 676 H) dalam alMajmu’ Syarh alMuhadzdzab (Bab Takbir; juz 5 hal. 30) menyebutkan 3 pendapat yang berkembang dalam madzhab asySyafi’i terkait waktu takbir iedul adha, pada pendapat ke-3 beliau tuliskan:
والثالث: أن يبتدئ بعد صلاة الصبح من يوم عرفة ويقطعه بعد صلاة العصر من آخر ايام التشريق لما روى عمر وعلي رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يكبر في دبر كل صلاة بعد صلاة الصبح يوم عرفة إلى بعد صلاة العصر من آخر ايام التشريق
“(dan yang ke-3) memulai setelah sholat shubuh pada hari arofah dan mengakhirinya setelah sholat ashar di akhir hari-hari tasyriq, berdasarkan riwayat Umar dan Ali radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dulu beliau bertakbir pada setiap selesai sholat, (dimulai) setelah sholat shubuh hari arofah hingga sesudah sholat ashar dari hari-hari tasyriq terakhir.”
Selanjutnya beliau menyebutkan kesimpulannya:
فصل: السنة ان يكبر في هذه الايام خلف الفرائض لنقل الخلف عن السلف
“Pasal, (bahwa) yang disunnahkan adalah bertakbir pada hari-hari tersebut pada setiap selesai sholat fardhu, dengan adanya peninggalan teladan dari generasi salaf.”
Kemudian pada halaman 32 beliau tegaskan:
وأما التكبير المقيد فيشرع في عيد الأضحى بلا خلاف لإجماع الأمة
“Adapun takbir muqoyyad adalah disyariatkan pada iedul adha tanpa ada perselisihan karena telah adanya ijma’ (konsensus) umat.”
Pernyataan beliau ini menyiratkan kemufakatan dengan yang telah disebutkan Imam Ahmad rahimahullah, yang telah dinukilkan sebelumnya, bahwa takbir muqoyyad pada iedul adha (dengan perselisihan batasan waktu dan caranya) secara asal merupakan ijma’.
Sedangkan dalam manhaj ahlussunnah, ijma’ adalah salah satu sumber rujukan dalam melaksanakan ibadah. Jikapun disebut ijma’ yang diungkapkan di sini bukanlah ijma’ seluruh ulama, maka berpegangnya seseorang dengan teladan kholifah yang disebut rosyidun (terbimbing) hakekatnya melaksanakan perintah Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, dalam hal ini Umar bin alKhoththob dan Ali bin Abi Tholib mewakilinya.
Perintah yang dimaksudkan adalah hadits:
عليكم بسنتي، وسنة الخلفاء الراشدين المهديين
“Wajib bagi kalian berpegang teguh dengan sunnahku, dan sunnahnya para kholifah yang terbimbing lagi memperoleh hidayah…”
SEKILAS PERBEDAAN PENDAPAT
Adapun perselisihan yang banyak terjadi adalah berkisar pada apakah takbir muqoyyad ini adalah bagian dari takbir mutlak, sehingga tidak perlu ditentukan setiap selesai sholat, sebagaimana dipilih syaikh Muhammad Nashiruddin alAlbani, dan syaikh Muqbil rahimahumallah dalam sebagian fatwa kedua beliau.
Ataukah justru memang berbeda, ada yang mutlak dan ada pula muqoyyad, sebagaimana batasan yang dijelaskan sebelumnya.
Parameter dibedakannya penyebutan hari-hari berbilang dari hari-hari yang dimaklumi dalam alQuran, tafsirnya, serta contoh beberapa sahabat yang merupakan khulafa’ arRosyidin dan amal generasi salaf telah mencondongkan penguatan pendapat para ulama asySyafi’iyyah dan Hanabilah bahwa disyariatkan takbir muqoyyad dengan batasan berbeda dari takbir mutlak.
Inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah, para ulama dalam alLajnah adDaimah Kerajaan Saudi Arabia, Syaikh ibnu ‘Utsaimin dan yang lainnya.
والله الموفق لما فيه رضاه
✒Penulis:
Abu Abdirrohman Sofian