Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Secara makna yang luas, hadits bukan hanya ucapan atau perbuatan Nabi, namun juga orang lain. Baik itu Sahabat Nabi maupun orang-orang setelahnya. Hadits dalam makna ini lebih ke makna secara bahasa, yaitu berita atau khabar.

Al-Imam al-Baiquniy rahimahullah menyatakan:

وَمَا أُضِيفَ لِلنَّبِي الْمَرْفُوعُ … وَمَا لِتَابِعٍ هُوَ الْمَقْطُوعُ

Dan hal-hal yang dinisbatkan kepada Nabi itu adalah marfu’… sedangkan yang dinisbatkan kepada Tabi’i (atau di bawahnya) adalah maqthu’
(Mandzhumah al-Baiquniyyah)

Berdasarkan penisbatannya, suatu hadits terbagi menjadi 3, yaitu:

  1. Marfu’ : penisbatannya pada Nabi shollallahu alaihi wasallam.
  2. Mauquf: penisbatannya pada Sahabat Nabi ridhwaanullaahi alaihim ajmain.
  3. Maqthu’: penisbatannya pada Tabi’i atau orang-orang setelahnya.

Pada bagian ini, al-Imam al-Baiquniy hanya menyebutkan marfu’ dan maqthu’ saja. Beliau akan menjelaskan mauquf di bagian lain pada mandzhumah beliau tersebut.

Sahabat Nabi adalah orang yang pernah berjumpa dengan Nabi dalam keadaan beriman dan meninggal dalam keadaan beriman. Sedangkan Tabiin adalah orang-orang yang pernah mengambil ilmu dari setidaknya seorang Sahabat Nabi. Satu orang dari kalangan Tabi’in disebut Tabi’i.

Pembagian suatu hadits menjadi marfu’, mauquf, dan maqthu’ ini adalah dari sisi penisbatan. Kepada siapa hadits itu dinisbatkan matannya? Jika kepada Nabi, itu adalah marfu’. Jika kepada Sahabat, itu adalah mauquf. Namun jika dinisbatkan kepada orang-orang setelah Sahabat Nabi, baik Tabiin maupun setelahnya, itu adalah maqthu’.

Jika berupa ucapan, hadits marfu’ berarti dinisbatkan sebagai ucapan Nabi. Jika berupa perbuatan, hadits marfu’ berarti itu adalah perbuatan yang dinisbatkan kepada Nabi. Demikian seterusnya.

Pembagian tersebut tanpa melihat apakah riwayat itu shahih atau tidak. Sehingga ada riwayat marfu’ yang shahih, ada yang tidak. Ada riwayat mauquf yang shahih, ada pula yang tidak. Demikian pula berlaku untuk riwayat maqthu’.


Baca Bagian Sebelumnya di: Kajian Ilmu Mushtholah Hadits (Hadits Shohih, Hasan, dan Dho’if)


Berikut ini akan disebutkan contoh-contohnya:

Contoh Hadits Marfu’ Shahih

حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ أَبِي قَابُوسَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمْ الرَّحْمَنُ ارْحَمُوا مَنْ فِي الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ

(atTirmidzi menyatakan):Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Umar (ia berkata) telah menceritakan kepada kami Sufyan dari ‘Amr bin Dinar dari Abu Qobuus dari Abdullah bin ‘Amr –semoga Allah meridhainya- ia berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: “Orang-orang yang memiliki kasih sayang akan disayangi oleh arRahmaan (Allah). Berkasih sayanglah terhadap yang ada di bumi, niscaya Yang di atas langit akan menyayangimu.” (H.R atTirmidzi, dishahihkan Syaikh al-Albaniy)

Contoh Hadits Marfu’ yang Tidak Shahih

Perintah menjawab salam Imam saat sholat:

حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ الْهُذَلِيُّ عَنْ قَتَادَةَ عَنِ الْحَسَنِ عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدَبٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا سَلَّمَ الْإِمَامُ فَرُدُّوا عَلَيْهِ

(Ibnu Majah menyatakan): Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin ‘Ammaar (ia berkata) telah menceritakan kepada kami Ismail bin Ayyaasy (ia berkata) telah menceritakan kepada kami Abu Bakr al-Hudzaliy dari Qotadah dari al-Hasan dari Samuroh bin Jundab bahwasanya Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda: “Jika Imam mengucapkan salam, jawablah oleh kalian salamnya.” (H.R Ibnu Majah, dilemahkan Syaikh al-Albaniy)

Penyebab kelemahan riwayat ini ada 3, yaitu:

Pertama: al-Hasan (al-Bashriy) adalah perawi yang mudallis, dan ini adalah periwayatan secara mu’an-‘an atau an-‘anah. Secara lebih detail penjelasan tentang mudallas dan mu’an-an akan dijelaskan insyaallah pada bagian tersendiri pada bait syair al-Baiquniyyah selanjutnya.

Kedua: Abu Bakr al-Hudzaliy adalah perawi yang matruk (ditinggalkan periwayatannya).

Ketiga: Ismail bin Ayyasy, jika meriwayatkan hadits dari perawi yang bukan dari Syam adalah lemah.

Ketiga penyebab kelemahan riwayat ini dijelaskan oleh Syaikh al-Albaniy dalam Silsilah al-Ahaadits ad-Dhaifah.

Contoh Hadits Mauquf yang Shahih

Contoh berikut ini kita nukil hanya pada matan dan Sahabat Nabi yang menyampaikannya.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ : الاِقْتِصَادُ فِى السُّنَّةِ أَحْسَنُ مِنَ الاِجْتِهَادِ فِى الْبِدْعَةِ

Dari Abdullah (bin Mas’ud) -semoga Allah meridhainya- ia berkata: Sederhana dalam Sunnah itu lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam kebid’ahan. (Riwayat al-Baihaqiy dalam as-Sunan al-Kubro, al-Hakim dalam al-Mustadrak, dinyatakan shahih sesuai syarat al-Bukhari dan Muslim oleh adz-Dzahabiy)

Ini adalah hadits mauquf yang merupakan ucapan seorang Sahabat Nabi Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu. Hadits itu memberikan pelajaran bagi kita bahwa yang terpenting dalam menjalankan Dien ini adalah ketepatan sesuai dengan Sunnah Nabi. Meski kita hanya sedikit dalam mengamalkan sunnah Nabi, itu jauh lebih baik dibandingkan banyak ibadah, namun berkubang dalam kebid’ahan.


Baca Juga: Tunaikanlah Ruku’ dan Sujud dalam Shalat Secara Sempurna, Jangan Tergesa-gesa


Contoh Hadits Mauquf yang Tidak Shahih

Berikut ini adalah contoh hadits mauquf yang tidak shahih, tentang bacaan di dalam sholat, yang disebutkan dalam Sunan Abi Dawud:

حَدَّثَنَا أَبُو تَوْبَةَ الرَّبِيعُ بْنُ نَافِعٍ أَخْبَرَنَا أَبُو إِسْحَقَ يَعْنِي الْفَزَارِيَّ عَنْ حُمَيْدٍ عَنِ الْحَسَنِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كُنَّا نُصَلِّي التَّطَوُّعَ نَدْعُو قِيَامًا وَقُعُودًا وَنُسَبِّحُ رُكُوعًا وَسُجُودًا

(Abu Dawud menyatakan): Telah menceritakan kepada kami Abu Taubah arRabi’ bin Naafi’ (ia berkata) telah mengkhabarkan kepada kami Abu Ishaq yaitu al-Fazaariy dari Humaid dari  al-Hasan dari Jabir bin Abdillah -semoga Allah meridhainya- ia berkata: “Kami melakukan sholat tathowwu’ (sunnah), kami berdoa saat berdiri dan duduk, dan kami bertasbih saat ruku’ dan sujud.” (H.R Abu Dawud) 

Hadits ini dinisbatkan sebagai ucapan Sahabat Nabi Jabir bin Abdillah. Namun riwayatnya lemah. Meski semua perawinya tsiqoh, namun sanadnya terputus antara al-Hasan dengan Jabir. Karena al-Hasan (al-Bashri) tidak pernah bertemu dengan Jabir bin Abdillah.

Ali bin al-Madiniy (salah seorang guru al-Imam al-Bukhari) menyatakan:

الْحَسَن لَمْ يَسْمَعْ مِنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ شَيْئًا

Al-Hasan tidak pernah mendengar (riwayat) apapun dari Jabir bin Abdillah. (al-Marosiil karya Ibnu Abi Hatim (1/36))

Selain itu, al-Hasan al-Bashri adalah seorang perawi yang mudallis. Periwayatan darinya lemah dalam riwayat mu’an-‘an, seperti hadits tersebut. Lebih lanjut tentang mudallis dan mu’an-‘an akan ada pembahasan tersendiri, insyaallah.

Hadits ini secara makna juga lemah, karena bertentangan dengan riwayat-riwayat lain yang shahih, bahwa pada kondisi berdiri dalam sholat, setidaknya harus membaca al-Fatihah di dalamnya. Tidak bisa digantikan dengan sekedar berdoa.

Contoh Hadits Maqthu’ yang Shahih

Muhammad bin Sirin –rahimahullah- adalah salah seorang Tabi’i, murid dari sekian banyak Sahabat Nabi, seperti Anas bin Malik dan Abu Hurairah. Beliau menasihati kaum muslimin untuk selektif dalam mengambil ilmu Dien, hanya dari orang yang berilmu dan Ahlussunnah. Tidak mengambil ilmu agama dari Ahlul Bid’ah.

Berikut ini adalah beberapa kutipan perkataannya yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah Shahih Muslim:

عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ قَالَ إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ

Dari Muhammad bin Sirin ia berkata: Sesungguhnya Ilmu ini adalah Dien. Maka lihatlah kalian dari siapa kalian mengambil (ilmu) Dien kalian. (Riwayat Muslim dalam Muqoddimah Shahih Muslim)

عَنِ ابْنِ سِيرِينَ قَالَ لَمْ يَكُونُوا يَسْأَلُونَ عَنِ الإِسْنَادِ فَلَمَّا وَقَعَتِ الْفِتْنَةُ قَالُوا سَمُّوا لَنَا رِجَالَكُمْ فَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ وَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ الْبِدَعِ فَلاَ يُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ

Dari (Muhammad) Ibnu Sirin ia berkata: Dulu mereka tidaklah bertanya tentang isnad. Ketika terjadi fitnah, mereka berkata: Sebutkanlah nama para perawi (hadits) kalian. Untuk dilihat (apakah berasal dari) Ahlussunnah, sehingga diambil (diterima) haditsnya. Dan dilihat (apakah berasal dari) Ahlul Bid’ah sehingga tidak diambil hadits mereka. (Riwayat Muslim dalam Muqoddimah Shahih Muslim)

Kedua riwayat yang kami kutipkan tersebut adalah termasuk hadits maqthu’ yang shahih. Artinya, ucapan itu benar-benar disampaikan oleh Muhammad bin Sirin.

Contoh Hadits Maqthu’ yang Tidak Shahih

Di antara contoh hadits maqthu’ yang tidak shahih adalah ucapan yang dinisbatkan kepada Thowus –seorang Tabi’i- bahwa surat as-Sajdah dan surat al-Mulk memiliki kelebihan 70 kebaikan dibandingkan surat lain dalam al-Quran. Dalam sunan atTirmidzi, disebutkan:

حَدَّثَنَا هُرَيْمُ بْنُ مِسْعَرٍ حَدَّثَنَا فُضَيْلٌ عَنْ لَيْثٍ عَنْ طَاوُسٍ قَالَ تَفْضُلَانِ عَلَى كُلِّ سُورَةٍ فِي الْقُرْآنِ بِسَبْعِينَ حَسَنَةً

(atTirmidzi menyatakan): Telah menceritakan kepada kami Huraim bin Mis’ar (ia berkata) telah menceritakan kepada kami Fudhail dari Laits dari Thowus ia berkata: Kedua surat ini (as-Sajdah dan al-Mulk) memiliki kelebihan dibandingkan semua surat lain dalam al-Quran dengan 70 kebaikan. (H.R atTirmidzi)

Syaikh al-Albaniy menilai riwayat tersebut sebagai dhaif maqthu’. Sehingga penisbatan ucapan itu kepada Thowus adalah tidak shahih atau tidak valid.

Salah satu sebab kelemahan riwayat itu setidaknya karena perawi Laits (bin Abi Sulaim) yang ditinggalkan periwayatannya oleh Yahya al-Qoththon, Yahya bin Main, Ibnu Mahdi, dan Ahmad bin Hanbal (ad-Dhuafaa’ wal Matrukiin karya Ibnul Jauziy (3/29)).

 

Penulis:
Abu Utsman Kharisman

Tinggalkan Balasan