Larangan Berpuasa di Hari yang Meragukan
KAJIAN KITABUS SHIYAAM MIN BULUGHIL MARAM (Bag ke-2)
Hadits no. 651
وَعَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ – رضي الله عنه – قَالَ: – مَنْ صَامَ الْيَوْمَ اَلَّذِي يُشَكُّ فِيهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ – صلى الله عليه وسلم – – وَذَكَرَهُ الْبُخَارِيُّ تَعْلِيقًا, وَوَصَلَهُ الخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ خُزَيْمَةَ, وَابْنُ حِبَّانَ
Dari ‘Ammaar bin Yasir –semoga Allah meridhainya- ia berkata: Barang siapa yang berpuasa di hari yang meragukan, maka ia telah bermaksiat kepada Abul Qosim shollallahu alaihi wasallam. (disebutkan oleh al-Bukhari secara ta’liq, diriwayatkan secara bersambung oleh Imam yang Lima, dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)
Penjelasan:
Hari yang meragukan itu adalah hari ke-30 Sya’ban jika hilal tidak terlihat karena adanya mendung atau penghalang lainnya. (Subulus Salam karya as-Shon’aaniy (2/151)).
Disebut meragukan, karena orang yang tidak paham akan ragu apakah hari itu masih Sya’ban ataukah sudah masuk Ramadhan. Padahal semestinya patokan masuknya Ramadhan dan bulan-bulan lain adalah dengan rukyatul hilal yang diputuskan oleh pemerintah muslim, sebagaimana insyaallah akan dijelaskan pada hadits-hadits berikutnya dalam Bulughul Maram.
Abul Qosim adalah kuniah Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam. Abul Qosim artinya ayah al-Qosim. Al-Qosim adalah putra tertua Nabi shollallahu alaihi wasallam (disarikan dari Zaadul Ma’ad karya Ibnul Qoyyim (1/100)).
Hadits tersebut disebutkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya tanpa menyebut sanad. Sedangkan lima penyusun kitab riwayat induk hadits yang lain meriwayatkan secara bersambung. Apabila dalam Bulughul Maram disebut Imam yang Lima, artinya adalah al-Imam Ahmad, Abu Dawud, atTirmidzi, anNasaai, dan Ibnu Majah.
__________________________________
Baca kajian puasa bagian pertama di:
Larangan berpuasa pada hari yang meragukan itu adalah jika motivasi melakukannya dalam rangka kehati-hatian. Adapun apabila hari itu bertepatan dengan puasa sunnah yang biasa dilakukan atau sedang mengganti tanggungan puasa wajib, maka hal itu tidak mengapa. Sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan hadits Abu Hurairah sebelum ini.
Hadits yang kita bahas ini memiliki kisah yang melatarbelakanginya. Shilah bin Zufar mengisahkan bahwa pada hari yang meragukan (tanggal 30 Sya’ban) mereka sedang berada di dekat Sahabat Nabi Ammar bin Yasir radhiyallahu anhu. Kemudian didatangkan kepada mereka hidangan makanan kambing yang dipanggang. Sebagian orang yang hadir waktu itu menghindar karena mereka berpuasa di hari itu. Maka Sahabat Nabi Ammar bin Yasir pun menyampaikan hadits tersebut bahwa barang siapa yang berpuasa di hari yang meragukan, ia telah bermaksiat kepada Abul Qosim, yaitu Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam.
عَنْ صِلَةَ قَالَ: كُنَّا عِنْدَ عَمَّارٍ فَأُتِيَ بِشَاةٍ مَصْلِيَّةٍ، فَقَالَ: كُلُوا، فَتَنَحَّى بَعْضُ الْقَوْمِ، قَالَ: إِنِّي صَائِمٌ، قَالَ عَمَّارٌ: «مَنْ صَامَ الْيَوْمَ الَّذِي يُشَكُّ فِيهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى الله عَلَيْه وَسَلَّمَ»
Dari Shilah ia berkata: Kami pernah berada di dekat Ammar (bin Yasir), kemudian didatangkanlah (hidangan) kambing yang sudah dipanggang. Ammar berkata: Silakan makan. Namun sebagian orang menyingkir, dan berkata: Sesungguhnya aku berpuasa. Ammar –semoga Allah meridhainya- berkata: Barang siapa yang berpuasa di hari yang meragukan, ia telah bermaksiat kepada Abul Qosim shollallahu alaihi wasallam. (H.R anNasaai)
Penulis: Abu Utsman Kharisman