Menimbang Maslahat Antara Penyampaian Nasihat Umum dengan Nasihat Khusus

Agama Islam ini berlandaskan an-Nashihah, di antaranya tulus mengharapkan kebaikan untuk orang lain.
الدِّينُ النَّصِيحَةُ
Agama ini adalah an-Nashihah (H.R Muslim dari Tamim ad-Daariy)
Penyampaian nasihat semestinya mengandung prinsip an-Nashihah, berharap kebaikan untuk diri kita maupun saudara kita. Tidak ada niatan untuk mencelakakan atau merugikan orang lain.
Apabila kita mencermati bagian bimbingan Nabi shollallahu alaihi wasallam dalam hadits-hadits yang shahih, kita akan mendapatkan penyampaian nasihat dari Nabi itu ada yang disampaikan secara umum, ada pula yang beliau sampaikan langsung pada orangnya, atau secara khusus.
Penyampaian nasihat langsung empat mata, di antaranya disampaikan kepada penguasa muslim. Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ نَصِيحَةٌ لِذِي سُلْطَانٍ فَلَا يُكَلِّمُهُ بِهَا عَلَانِيَةً، وَلْيَأْخُذْ بِيَدِهِ، وَلْيُخْلِ بِهِ، فَإِنْ قَبِلَهَا قَبِلَهَا، وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ وَالَّذِي لَهُ
Barang siapa yang memiliki nasihat yang akan disampaikan kepada penguasa, janganlah ia sampaikan secara terang terangan (diketahui pihak lain). Hendaknya ia pegang tangan penguasa itu, agar bisa berduaan, (kemudian ia sampaikan nasihat tersebut). Jika penguasa itu menerima, maka ia akan menerimanya. Kalau tidak, penyampai nasihat itu sudah menjalankan kewajibannya (H.R al-Hakim dari Iyaadl bin Ghonm)
Penyampaian nasihat 4 mata akan lebih mengena dan membuat seseorang yang dinasihati terlindungi hak privasinya. Tidak dipermalukan di hadapan banyak orang.
Al-Imam asy-Syafi’iy rahimahullah menyatakan:
مَنْ وَعَظَ أَخَاهُ سِرًّا فَقَدْ نَصَحَهُ وَزَانَهُ وَمَنْ وَعَظَهُ عَلَانِيَةً فَقَدْ فَضَحَهُ وَشَانَهُ
Barang siapa yang menasihati saudaranya secara tersembunyi, ia telah menerapkan nasihat (yang benar) dan memperindahnya. Barang siapa yang menasihatinya secara terang-terangan, ia telah mempermalukan orang itu dan memperburuk keadaannya (dinukil oleh an-Nawawiy dalam Syarh Shahih Muslim 2/24)
Ini adalah metode penyampaian nasihat yang terbaik dan paling ideal. Orang yang dinasihati akan lebih merasa bahwa penyampai nasihat memang benar-benar menginginkan kebaikan untuk dirinya. Tidak ingin mempermalukan dia di hadapan banyak orang.
Adakalanya penyampaian nasihat dari Nabi shollallahu alaihi wasallam disampaikan di hadapan khalayak ramai tanpa menunjuk person tertentu yang dimaksud. Sebagian orang jika disindir dalam nasihat umum seperti ini kadang lebih terpengaruh dan berubah menjadi baik.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا بَلَغَهُ عَنِ الرَّجُلِ الشَّيْءُ لَمْ يَقُلْ: مَا بَالُ فُلَانٍ يَقُولُ؟ وَلَكِنْ يَقُولُ: مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَقُولُونَ كَذَا وَكَذَا؟
Dari Aisyah -semoga Allah meridhainya- ia berkata: Nabi shollallahu alaihi wasallam jika sampai suatu informasi tentang seseorang, beliau tidak mengatakan: Mengapa fulan berkata demikian? Namun beliau menyatakan: Mengapa ada suatu kaum yang berkata demikian dan demikian (H.R Abu Dawud, dishahihkan Syaikh al-Albaniy)
Ada sebagian orang yang memang senang jika disindir secara umum. Tipe orang yang seperti itu akan lebih tepat jika diterapkan demikian.
Namun, yang perlu diperhatikan adalah sebenarnya cara penyampaian seperti ini lebih cocok jika mayoritas orang yang mendengar nasihat itu tidak paham siapa yang dimaksud oleh Nabi. Sedangkan faidah ilmunya menjadi tersebar secara umum, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Sehingga orang yang dituju mudah untuk tersadar bahwa yang dimaksud adalah dia, orang umum tidak terlalu mengerti bahwa fulan itu yang sebenarnya dimaksudkan.
Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafidzhahullah menyatakan:
أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا حصل من الشخص شيء يحتاج إلى أن ينبه عليه فإنه لا ينبه عليه على الملأ، ويقول: ما بال فلان يقول كذا وكذا؟ فهو يمكن أن يكلمه فيما بينه وبينه، ولكنه من أجل أن يبين للناس الطريقة الصحيحة في مثل هذا الحادث أو في مثل هذا الأمر الذي عرض، دون أن يعرفوا الشخص الذي حصل منه ذلك الشيء الذي هو السبب في إيراد الكلام
Sesungguhnya Nabi shollallahu alaihi wasallam jika terjadi sesuatu pada seseorang dan beliau ingin memberi peringatan kepadanya, tidaklah beliau memberi peringatan di hadapan banyak orang dengan menyatakan: Mengapa fulan berkata demikian dan demikian? Dalam keadaan beliau memungkinkan untuk menyampaikan seperti itu dalam pertemuan empat mata. Namun, dengan tujuan agar manusia mengetahui metode yang benar dalam menghadapi kejadian tertentu itu atau keadaan seperti itu, tanpa mereka mengetahui siapa orang yang dimaksudkan dalam ucapan tersebut (Syarh Sunan Abi Dawud 545/10)
Sebagian orang ada yang selalu menempuh cara penyampaian sindiran secara umum. Padahal ia bisa menyampaikan 4 mata pada yang bersangkutan. Seringkali orang-orang yang di majelis mayoritasnya atau bahkan semuanya sudah paham bahwa fulan yang dimaksudkan. Hal ini adalah kondisi yang tidak tepat, bahkan bisa memperburuk keadaan. Adakalanya saat nasihat itu disampaikan dan kurang hikmah, seluruh mata tertuju kepada fulan, sehingga membuat fulan menjadi semakin tersudut. Ia merasa benar-benar dipermalukan, meskipun namanya tidak disebut. Apalagi dengan kemasan penyampaian yang kurang baik dan kurang bijak, membuat keadaan menjadi semakin tidak baik dan ukhuwah merenggang.
Efek negatif lain jika nasihat dengan tujuan menyindir itu disampaikan tidak dalam keadaan dan kemasan penyampaian yang tepat, berpotensi membuat semua pihak saling tuding dan berprasangka buruk pada saudaranya. Meskipun seharusnya, sikap mukmin yang baik saat menerima nasihat umum, ia merasa nasihat itu tertuju pada dirinya, dan menjadi bahan introspeksi bagi diri pribadinya.
Kadangkala Nabi memberi nasihat khusus pada seorang Sahabat karena kelemahan tertentu pada dirinya. Kemudian Sahabat yang mendapat nasihat itu menyampaikan hadits Nabi itu dengan kelapangan dadanya kepada pihak lain, hingga ternukil riwayat itu sampai kepada kita. Contohnya adalah nasihat Nabi kepada Abu Dzar radhiyallahu anhu.
عَنْ أَبِي ذَرٍّ : أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: يَا أَبَا ذَرٍّ، إِنِّي أَرَاكَ ضَعِيفًا، وَإِنِّي أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِي، لَا تَأَمَّرَنَّ عَلَى اثْنَيْنِ، وَلَا تَوَلَّيَنَّ مَالَ يَتِيمٍ
Dari Abu Dzar bahwasanya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Wahai Abu Dzar, sesungguhnya aku melihatmu sebagai orang yang lemah. Sesungguhnya aku suka hal (kebaikan) terjadi pada dirimu sebagaimana itu terjadi untuk diriku sendiri. Janganlah sekali-kali engkau memimpin 2 orang sekalipun dan jangan sekali-kali engkau mengurus harta anak yatim (H.R Muslim)
Artinya, bisa jadi karena saking terkesannya dengan nasihat dari Nabi itu, Abu Dzar pun menyampaikan pada orang lain. Meskipun di dalamnya ada muatan penyampaian kekurangan pada pribadi beliau. Beliau tidak sakit hati, justru ingin orang lain tahu. Benar-benar nasihat yang mengena, tepat sasaran, dan memberi keberkahan.
Sebagian orang memiliki itikad baik untuk menasihati saudaranya yang akan ikut di majelis ilmu tertentu. Ia berpesan kepada ustadz yang akan mengisi kajian ilmu agar menyelipkan nasihat tertentu di majelis ilmu tersebut. Ini adalah suatu hal yang baik. Jazaahullaahu khayran (semoga Allah memberi balasan kebaikan padanya). Namun, yang perlu disadari adalah bahwa usulan atau saran itu tidak selalu harus diterima. Seorang ustadz tersebut berhak untuk menimbang apakah usulan itu bisa diterapkan saat itu atau tidak. Perlu disampaikan saat itu ataukah ditunda di lain kesempatan, atau bahkan ditempuh cara lain untuk disampaikan secara personal.
Karena kadang ada orang tertentu yang baru bersemangat hadir di majelis ilmu. Ia tersentuh dan ingin selalu hadir di kajian-kajian ilmu. Akan tetapi ketika ia merasa sering disudutkan, dengan penyampaian yang kurang hikmah, ia pun menjauh dari majelis ilmu. Jangan sampai kita menjadi sebab menjauhnya orang dari kebaikan.
Semoga Allah Ta’ala senantiasa memperbaiki keadaan kita menjadi penebar kebaikan dan manfaat di manapun kita berada.
Penulis: Abu Utsman Kharisman