Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Tidak Hanya Belajar Yang Baik Saja, Namun Juga Belajar Keburukan Untuk Dihindari

Ajaran Nabi kita Muhammad shollallahu alaihi wasallam adalah ajaran yang lengkap dan sempurna. Beliau tidak hanya mengajarkan kebaikan untuk dilakukan. Namun juga mengajarkan keburukan-keburukan untuk dihindari.

Allah Ta’ala berfirman:

لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آَيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ

Sungguh Allah telah menganugerahkan kepada orang-orang beriman, ketika Dia mengutus pada mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri yang membacakan kepada mereka ayat-ayatNya dan menyucikan mereka, serta mengajarkan kepada mereka alQuran dan hikmah (sunnah). Sebelumnya mereka benar-benar berada dalam kesesatan yang nyata
Q.S Ali Imran ayat 164

Dalam ayat ini, Allah Ta’ala menjelaskan begitu besarnya nikmat diutusnya Rasul. Sebelumnya manusia yang berada dalam kesesatan menjadi mendapatkan petunjuk. Rasul tersebut menyucikan mereka dan mengajarkan alQuran dan Sunnah.

Sebagian ahli tafsir menjelaskan makna “menyucikan mereka” itu adalah:

  1. Membersihkan mereka dari kesyirikan dan dosa-dosa (Tafsir al-Baghowiy).
  2. (Menyucikan mereka) dari kesyirikan, kemaksiatan, perbuatan-perbuatan yang hina dan berbagai akhlak yang buruk (Tafsir as-Sa’diy).

Jadi, selain mengajarkan kebaikan, isi dakwah Nabi juga adalah membersihkan dari berbagai kotoran kesyirikan, kemaksiatan, maupun penyimpangan-penyimpangan syariat lainnya. Bahkan Allah menyebut muatan dakwah ini terlebih dahulu sebelum pengajaran al-Quran dan Sunnah.

Sahabat Nabi Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu anhu menyatakan:

وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي

Dan aku bertanya kepada beliau (Nabi) tentang keburukan, karena khawatir keburukan itu menimpaku
H.R al-Bukhari dan Muslim

Sebagian kelompok ada yang hanya menaruh perhatian dakwahnya pada ajakan kebaikan saja. Mereka hanya memerintahkan pada yang ma’ruf. Tidak ada larangan kepada kemunkaran. Ini menyelisihi dakwah para Rasul.

Dakwah para Rasul itu berisi dua hal utama, yaitu:

  1. Pembersihan
  2. Pengisian ajaran wahyu

Pembersihan itu sebagian Ulama mengistilahkan dengan Tashfiyah. Artinya adalah pemurnian, sebagaimana istilah Syaikh al-Albaniy. Ada pula yang menyebut pembersihan itu dengan Takhliyah (pengosongan). Sedangkan pengajaran wahyu itu adalah Tarbiyah (pengajaran). Ada pula yang menyebut sebagai Tahliyah (penghiasan).

Sehingga dakwah Nabi itu mengandung Tashfiyah dan Tarbiyah (pemurnian dan pengajaran), atau Takhliyah dan Tahliyah (pengosongan dan penghiasan). Pembersihan dan pengisian.

Saat ini di masa kita semakin jauh dari masa Nabi dan para Sahabat, semakin banyak penyimpangan. Sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik riwayat al-Bukhari yang menjelaskan bahwa semakin bertambah tahun semakin buruk keadaannya.

Di masa Nabi belum ada kebid’ahan sama sekali. Belum ada 72 golongan yang akan masuk neraka karena penyimpangan akibat hal-hal baru yang diada-adakan dalam Dien. Di masa beliau masih hidup, seorang yang muslim di masa itu terjamin dari penyimpangan kebid’ahan. Godaan bagi seorang muslim di masa itu adalah kembali murtad, menjadi munafik, atau terjerumus dalam kemaksiatan.

Sedangkan di masa kita pemahaman-pemahaman baru yang menyimpang semakin bertambah, bertransformasi menjadi perpaduan beberapa penyimpangan, dalam bungkus yang berbeda-beda.

Proses pembersihan bisa jadi sangat banyak dibutuhkan. Semakin kotor sesuatu, pembersihannya tentu akan semakin intensif. Semakin merajalela suatu penyakit, obat atau vaksinnya semakin banyak dibutuhkan.

Sebagaimana kita menanam suatu tanaman. Di suatu tempat dan waktu di mana tidak ada gangguan penyakit atau hama, kita akan lebih banyak fokus untuk memupuk, memberi nutrisi tambahan dan kebaikan-kebaikan saja. Sedangkan di masa atau tempat yang berjangkit penyakit atau hama, akan banyak proses untuk mencegah dan mengobati penyakit atau hama itu.

Sekalipun pahit, tapi penjelasan tentang bahaya kesyirikan, kebid’ahan, atau kemaksiatan, itu sangat dibutuhkan. Semakin besar kebutuhan terhadapnya ketika ancaman bahaya itu nyata berada di sekitar.

Para Ulama Islam sejak dahulu banyak yang memiliki karya-karya bantahan dan sanggahan terhadap berbagai pemikiran yang menyimpang. Sebagai contoh, beberapa Ulama menyusun bantahan dalam kitab tersendiri terhadap pemahaman Jahmiyyah. Seperti kitab arRaddu ‘alal Jahmiyyah karya ad-Daarimiy dan Ibnu Abi Hatim. Ibnu Mandah juga punya kitab dengan judul serupa: arRaddu alal Jahmiyyah (Bantahan terhadap Jahmiyyah).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah penuh karyanya dengan bantahan-bantahan terhadap berbagai penyimpangan. Kaum muslimin setelahnya mendapat begitu banyak manfaat dari kitab-kitab bantahan tersebut.

Bahkan membaca bantahan terhadap penyimpangan memiliki banyak kelebihan. Kita menjadi tahu bahwa penyimpangan itu benar-benar riil diucapkan atau diyakini oleh seseorang, bukan hanya sebagai sebuah teori di masa lampau saja. Karena itu, jangan alergi terhadap bantahan ilmiah yang disertai hujah dan penyampaian yang hikmah.

Yang tidak diperbolehkan adalah jika bantahan itu tidak didasari ilmu. Hanya tuduhan tanpa bukti. Atau sekedar menjelek-jelekkan person tertentu. Ini tidaklah ilmiah. Bantahan yang dicontohkan Ulama Ahlus Sunnah tidaklah demikian.

Bantahan yang ilmiah adalah meluruskan penyimpangan yang ada pada suatu ceramah, video, atau tulisan dengan disertai hujah yang kuat baik berupa dalil alQuran, hadits Nabi, kesepakatan maupun ucapan Ulama Ahlus Sunnah.
Bantahan itupun dibuat bukan untuk mencari popularitas atau membunuh karakter seseorang sebagai tendensi pribadi. Tapi sebagai bentuk ibadah kepada Allah, tanggungjawab ilmiah ketika suatu akidah yang benar atau sunnah Nabi dipermainkan. Pembelajaran yang benar bagi umat ketika terjadi sebuah pembodohan publik dalam hal agama dipertontonkan.

 

Abu Utsman Kharisman


??????
WA al I’tishom

Tinggalkan Balasan