Apabila Ada Perbedaan Pendapat Para Ahli Nahwu, Ambillah yang Paling Mudah
Dalam pembahasan ilmu Nahwu, tidak jarang terdapat perbedaan pandang para Ulama. Terutama kubu madrasah ahli Nahwu Bashrah dengan Kufah.
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullah memberikan sebuah kaidah kepada kita untuk perbedaan pendapat para Ulama dalam ilmu Nahwu hendaknya mengambil pendapat yang lebih mudah. Beliau rahimahullah menyatakan:
وَالْقَاعِدَةُ عِنْدَنَا إِذَا اخْتَلَفَ النَّحْوِيُّوْنَ فِي مَسْأَلَةِ: أَنْ نَتَّبِعَ الْأَسْهَلَ
Kaidah yang berlaku bagi kita adalah jika terjadi perbedaan pendapat para Ulama Nahwu tentang suatu permasalahan, hendaknya kita mengambil yang paling mudah (al-Qoulul Mufid ala Kitabit Tauhid 2/486)
Syaikh Imad bin Ahmad al-Adaniy dalam pelajaran pertama Mandzhumah asy-Syubraawiyyah menjelaskan bahwa kaidah ini berlaku dalam perbedaan pandang ilmu Nahwu. Tidak berlaku untuk diterapkan secara mutlak pada perbedaan pendapat dalam bidang keilmuan lain misalkan fiqh, dan semisalnya. Artinya, dalam perbedaan pendapat dalam hal yang lain, perlu dikaji secara mendalam hujjah masing-masing pihak.
Syaikh Ibn Utsaimin rahimahullah juga menegaskan dalam pernyataan beliau yang lain alasan mengapa kita memilih pendapat yang lebih mudah dalam perbedaan pandang Nahwu? Karena hal itu berlandaskan pada ijtihad. Beliau rahimahullah menyatakan:
وَنَحْنُ لَدَيْنَا قَاعِدَةٌ: أَنَّهُ إِذَا اخْتَلَفَ النُّحَاةُ فِي أَمْرٍ فَإِنَّنَا نَتَّبِعُ الْأَسْهَلَ؛ لِأَنَّ الْمَسْأَلَةَ اِجْتِهَادِيَّةٌ
Kita memiliki kaidah: Bahwa apabila para ahli Nahwu berbeda pendapat dalam suatu perkara, kita ikuti yang lebih mudah. Karena permasalahan ini adalah ijtihadiyyah (Tafsir Surah az-Zumar libni Utsaimin ayat 22)
Contoh penerapan kaidah ini sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Ibn Utsaimin dalam kitab al-Qoulul Mufid adalah ketika mengurai lafadz dalam hadits Nabi:
فَإِنْ هُمْ أَبَوْا…
Apabila mereka menolak….
Bagaimanakah analisis terhadap kata ganti (dhomir) هُمْ pada kalimat tersebut?
Para ahli Nahwu Bashrah menilai bahwa itu adalah penekanan (taukid) terhadap fail yang mahdzuf (tidak disebutkan) disertai fi’il syarth. Sehingga, seakan-akan taqdir dari kalimat itu adalah:
فَإِنْ أَبَوْا هُمْ
Sedangkan para ahli Nahwu Kufah menilai bahwa kata ganti dhomir tersebut adalah mubtada’, yang khobarnya adalah kalimat setelahnya. Ini dianggap yang lebih mudah dan dipilih oleh Syaikh Ibn Utsaimin.
(Mengikat Faidah Daurah Imam al-Muzani 3, Abu Utsman Kharisman)