Menggunakan Cara Rukyat Bukan Semata Hisab Bentuk Ketaatan Sekaligus Menjauhi Tasyabbuh
Acapkali sebelum mengawali puasa, begitupun menjelang hari raya, pernyataan terlampau berani dari sebagian ormas terang-terangan lancang mendahului (juga menyelisihi) pengumuman resmi pemerintah muslim dalam menetapkannya. Tidak cukup menyuarakan toleransi dalam bab ini, mereka justru sedang memperjuangkan penyeragaman kalender waktu-waktu ibadah muslim seluruh dunia, karena silau dengan kesan seragamnya kalender masehi yang menjadi acuan sebagian besar non muslim menjalankan ibadahnya.
Muslim yang taat kepada Allah, Rasul-Nya tentulah akan berusaha menyempurnakan ketaatan tersebut dengan patuh terhadap ketentuan pemerintahnya. Bagi mereka tentu fenomena bangga dengan sistem hisab astronomi semacam itu perlu dibekali tameng penguatan ilmiah. Karena bukan semata menggoyahkan salah satu aspek ketaatan, nyatanya metode hisab semata merupakan bentuk tasyabbuh yang terlarang.
Berikut ini sekilas dikutipkan sebagian pernyataan ulama Islam yang mengungkapkannya.
Metode rukyat dan istikmal merupakan ijma’ ulama Islam
Silakan dibaca kembali penukilan Ibnu Hubairah, Al Hafidz Ibnu Hajar dan Ibnu Abdil Bar rahimahumullah tentang kesepakatan tersebut di: Kesepakatan Imam 4 Madzhab Untuk Tidak Menerapkan Hisab Dalam Penentuan Awal dan Berakhirnya Puasa
Menjauhi tasyabbuh terhadap non muslim
Tatkala menjelaskan sekian bentuk tasyabbuh (penyerupaan dengan kekhususan ibadah ahli kitab) yang terlarang, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyebutkan di antaranya,
ﻭﺃﻳﻀﺎ ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻋﻦ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ: «ﺇﻧﺎ ﺃﻣﺔ ﺃﻣﻴﺔ؛ ﻻ ﻧﻜﺘﺐ ﻭﻻ ﻧﺤﺴﺐ، اﻟﺸﻬﺮ: ﻫﻜﺬا ﻭﻫﻜﺬا» . ﻳﻌﻨﻲ ﻣﺮﺓ: ﺗﺴﻌﺔ ﻭﻋﺸﺮﻳﻦ، ﻭﻣﺮﺓ: ﺛﻼﺛﻴﻦ. ﺭﻭاﻩ اﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻭﻣﺴﻠﻢ
“Juga (yang termasuk bentuk tasyabbuh), dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma dari Nabi shallallahu alaihi berliau bersabda,
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ، لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ. الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا، يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ، وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ
Sesungguhnya kita ini adalah ummat yang ummi, tidak (memiliki asal) budaya menulis, tidak pula hisab/berhitung. (Namun yang jelas jumlah hari) dalam sebulan adalah “begini dan begini,” yaitu mengisyaratkan (dengan jari-jemari beliau) jumlah 29 hari pada kesempatan pertama, kemudian mengisyaratkan dengan jumlah 30 hari. (HR Al Bukhari dan Muslim).
ﻓﻮﺻﻒ ﻫﺬﻩ اﻷﻣﺔ ﺑﺘﺮﻙ اﻟﻜﺘﺎﺏ والحساب اﻟﺬﻱ ﻳﻔﻌﻠﻪ ﻏﻴﺮﻫﺎ ﻣﻦ اﻷﻣﻢ ﻓﻲ ﺃﻭﻗﺎﺕ ﻋﺒﺎﺩﺗﻬﻢ ﻭﺃﻋﻴﺎﺩﻫﻢ، ﻭﺃﺣﺎﻟﻬﺎ ﻋﻠﻰ اﻟﺮﺅﻳﺔ ﺣﻴﺚ ﻗﺎﻝ- ﻓﻲ ﻏﻴﺮ ﺣﺪﻳﺚ-: «ﺻﻮﻣﻮا ﻟﺮﺅﻳﺘﻪ ﻭﺃﻓﻄﺮﻭا ﻟﺮﺅﻳﺘﻪ» ﻭﻓﻲ ﺭﻭاﻳﺔ: «ﺻﻮﻣﻮا ﻣﻦ اﻟﻮﺿﺢ ﺇﻟﻰ اﻟﻮﺿﺢ» ﺃﻱ ﻣﻦ اﻟﻬﻼﻝ ﺇﻟﻰ اﻟﻬﻼﻝ
Beliau ﷺ menyematkan ciri asal umat ini dengan mengabaikan budaya penulisan dan perhitungan yang dijalani umat-umat selainnya dalam penentuan waktu ibadah dan hari raya mereka. Justru beliau mengalihkannya menuju cara rukyat, dengan ucapan beliau tidak hanya dalam satu hadits:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ
“(Mulai) berpuasalah berdasar hasil rukyat hilal, dan akhirilah puasa kalian juga berdasar hasil rukyatnya.”
ﻭﻫﺬا: ﺩﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﺃﺟﻤﻊ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﻤﺴﻠﻤﻮﻥ- ﺇﻻ ﻣﻦ ﺷﺬ ﻣﻦ ﺑﻌﺾ اﻟﻤﺘﺄﺧﺮﻳﻦ اﻟﻤﺨﺎﻟﻔﻴﻦ اﻟﻤﺴﺒﻮﻗﻴﻦ ﺑﺎﻹﺟﻤﺎﻉ- ﻣﻦ ﺃﻥ ﻣﻮاﻗﻴﺖ اﻟﺼﻮﻡ ﻭاﻟﻔﻄﺮ ﻭاﻟﻨﺴﻚ ﺇﻧﻤﺎ ﺗﻘﺎﻡ ﺑﺎﻟﺮﺅﻳﺔ ﻋﻨﺪ ﺇﻣﻜﺎﻧﻬﺎ، ﻻ ﺑﺎﻟﻜﺘﺎﺏ والحساب، اﻟﺬﻱ ﺗﺴﻠﻜﻪ اﻷﻋﺎﺟﻢ ﻣﻦ اﻟﺮﻭﻡ ﻭاﻟﻔﺮﺱ، ﻭاﻟﻘﺒﻂ، ﻭاﻟﻬﻨﺪ، ﻭﺃﻫﻞ اﻟﻜﺘﺎﺏ ﻣﻦ اﻟﻴﻬﻮﺩ ﻭاﻟﻨﺼﺎﺭﻯ
Hal ini menjadi dalil terhadap perkara yang telah menjadi ijma’ di kalangan muslimin kecuali beberapa pihak yang nyeleneh dari kalangan generasi belakangan yang memunculkan pendapat berbeda setelah terjadi ijma’ bahwa batas waktu (awal & akhir) puasa, hari raya, penyembelihan kurban, menggunakan cara rukyat semata di kala memungkinkan menerapkannya. Bukan dengan melakukan pencatatan jadwal ataupun perhitungan hisab sebagaimana telah ditempuh bangsa-bangsa non arab baik Romawi, Persia, Qibti, India, maupun Ahli Kitab Yahudi dan Nashara.
ﻭﻗﺪ ﺭﻭﻱ ﻋﻦ ﻏﻴﺮ ﻭاﺣﺪ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ اﻟﻌﻠﻢ: ﺃﻥ ﺃﻫﻞ اﻟﻜﺘﺎﺑﻴﻦ ﻗﺒﻠﻨﺎ ﺇﻧﻤﺎ ﺃﻣﺮﻭا ﺑﺎﻟﺮﺅﻳﺔ – ﺃﻳﻀﺎ – ﻓﻲ ﺻﻮﻣﻬﻢ ﻭﻋﺒﺎﺩاﺗﻬﻢ، ﻭﺗﺄﻭﻟﻮا ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ: {ﻛﺘﺐ ﻋﻠﻴﻜﻢ اﻟﺼﻴﺎﻡ ﻛﻤﺎ ﻛﺘﺐ ﻋﻠﻰ اﻟﺬﻳﻦ ﻣﻦ ﻗﺒﻠﻜﻢ اﻟﺒﻘﺮﺓ: 183 ﻭﻟﻜﻦ ﺃﻫﻞ اﻟﻜﺘﺎﺑﻴﻦ ﺑﺪﻟﻮا
Juga telah diriwayatkan tidak hanya dari seorang saja kalangan ulama, bahwa kedua Ahli Kitab sebelum kita mereka sebenarnya telah diperintahkan untuk menerapkan rukyat juga baik dalam (penetapan waktu) puasa mereka maupun ibadah-ibadah mereka (lainnya). Para ulama itu menakwilkan hal itu dari penafsirannya terhadap firman Allah ta’ala:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ
‘… diwajibkan bagi kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan bagi orang-orang sebelum kalian …’ (Al-Baqarah:183)
Hanya saja kemudian kedua Ahli Kitab tersebut justru mengubah ketentuannya.
ﻭﻟﻬﺬا ﻧﻬﻰ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻦ ﺗﻘﺪﻡ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﺑﺎﻟﻴﻮﻡ ﻭاﻟﻴﻮﻣﻴﻦ ﻭﻋﻠﻞ اﻟﻔﻘﻬﺎء ﺫﻟﻚ ﺑﻤﺎ ﻳﺨﺎﻑ ﻣﻦ ﺃﻥ ﻳﺰاﺩ ﻓﻲ اﻟﺼﻮﻡ اﻟﻤﻔﺮﻭﺽ ﻣﺎ ﻟﻴﺲ ﻣﻨﻪ ﻛﻤﺎ ﺯاﺩﻩ ﺃﻫﻞ اﻟﻜﺘﺎﺏ، ﻣﻦ اﻟﻨﺼﺎﺭﻯ، ﻓﺈﻧﻬﻢ ﺯاﺩﻭا ﻓﻲ ﺻﻮﻣﻬﻢ، ﻭﺟﻌﻠﻮﻩ ﻓﻴﻤﺎ ﺑﻴﻦ اﻟﺸﺘﺎء ﻭاﻟﺼﻴﻒ، ﻭﺟﻌﻠﻮا ﻟﻪ ﻃﺮﻳﻘﺔ ﻣﻦ الحساب ﻳﺘﻌﺮﻓﻮﻧﻪ ﺑﻬﺎ.
Karenanyalah Nabi shallallahu alaihi wasallam telah melarang seseorang mendahului puasa Ramadhan sehari maupun dua hari sebelumnya. Sedangkan para ahli fiqih bahwa hal itu pada kondisi dikhawatirkan ditambahkannya bagian puasa wajib yang bukan termasuk bagian asalnya, sebagaimana Ahli Kitab dari kalangan Nashara mereka telah melakukan penambahan pada puasa mereka. Mereka juga mengganti waktu puasanya berada di antara musim dingin dan panas. Begitu juga mereka menyusun metode perhitungan hisab sehingga menjadi teknik khusus yang dikenal di kalangan mereka.” (Iqtidho’ Ash-Shiroth Al Mustaqim, hal 285-287)
Menghindari tasyabbuh terhadap sekte sempalan Syiah
Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menyatakan,
وقد ذهب قوم إلى الرجوع إلى أهل التسيير في ذلك وهم الروافض، ونقل عن بعض الفقهاء موافقتهم. قال الباجي: وإجماع السلف الصالح حجة عليهم
“Sungguh beberapa golongan telah berpendapat untuk merujuk (hasil perhitungan) ahli astronomi dalam (penetapan waktu-waktu) itu. Mereka adalah para sekte Rafidhah. Dan telah dinukilkan dari beberapa ahli fiqih persetujuan mereka terhadap pandangan golongan tersebut. Al Baji menyatakan: ‘Sementara ijma’ para ulama salaf yang shalih telah menjadi hujjah yang membantah pandangan mereka itu.’…” (Fathul Bari 4/127)
Masihkah penggunaan metode hisab semata dianggap sebagai bagian bunga rampai keberagaman khasanah ilmu Islam?
Mari tetap mengarahkan perasaan kita dengan akal yang terbimbing secara ilmiah dan petunjuk generasi awal yang telah beroleh ridha ilahi. Semoga kita Allah selamatkan dari fitnah penyimpangan dan kesesatan dalam beragama.
Penulis: Abu Abdirrohman Sofian