Bersholawat di Akhir Doa Qunut, Contoh Atsar Sahabat yang Bisa Dijadikan Hujjah
Qunut witir dan nazilah dimaklumi sebagai salah satu jenis ibadah doa. Sebagaimana ibadah lainnya, tatacaranya tentu memerlukan rambu syariat, tanpa memberi kebebasan bagi setiap orang berinovasi sendiri. Redaksi doa qunut jelas ada riwayat pengajaran Nabi kepada cucu beliau Al Hasan bin Ali radhiyallahu anhuma. Muncul pertanyaan terkait tambahan sholawat bagi Nabi shallallahu alaihi wasallam yang tidak ternukil dalam pengajaran beliau secara khusus dalam penerapannya. Hukum sholawat di akhir doa qunut telah berlalu pembahasannya. Berikut sekelumit kutipan penjelasan ulama, yang mendudukkan posisi atsar sahabat sebagai salah satu hujjah tata cara ibadah apabila terpenuhi kriterianya. Semoga menjadi faedah tambahan dari pembahasan terkait sebelumnya.
Artikel terkait: Bersholawat Untuk Nabi Dalam Qunut Witir
Al ‘Allamah Ibnu Qayyim Al Jauziyyah rahimahullah menyebutkan,
اﻟﻤﻮﻃﻦ اﻟﺜﺎﻟﺚ ﻣﻦ ﻣﻮاﻃﻦ اﻟﺼﻼﺓ ﻋﻠﻰ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ اﻟﺼﻼﺓ ﻋﻠﻴﻪ ﺁﺧﺮ اﻟﻘﻨﻮﺕ
“Tempat ketiga dalam membaca sholawat bagi Nabi shallallahu alaihi wasallam, yaitu bersholawat bagi beliau di akhir doa qunut.
اﺳﺘﺤﺒﻪ اﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻭﻣﻦ ﻭاﻓﻘﻪ
Imam Asy-Syafi’i menilainya sebagai hal yang disunnahkan begitu pula ulama lain yang sepakat dengan beliau.”
Kemudian Ibnul Qoyyim memaparkan beberapa riwayat sebagai dalilnya, antara lain beliau rahimahullah menyebutkan riwayat atsar Ubay bin Ka’ab yang menjadi imam tarawih atas perintah Umar bin Al Khath-thab, lalu diperkuat dengan atsar sahabat Mu’adz Al Anshari radhiyallahu anhum jami’an,
ﻭﻗﺎﻝ ﺇﺳﻤﺎﻋﻴﻞ ﺑﻦ ﺇﺳﺤﺎﻕ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ اﻟﻤﺜﻨﻰ ﺣﺪﺛﻨﺎ ﻣﻌﺎﺫ ﺑﻦ ﻫﺸﺎﻡ ﺣﺪﺛﻨﻲ ﺃﺑﻲ ﻋﻦ ﻗﺘﺎﺩﺓ ﻋﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﻠﻪ ﺑﻦ اﻟﺤﺎﺭﺙ ﺃﻥ ﺃﺑﺎ ﺣﻠﻴﻤﺔ ﻣﻌﺎﺫا ﻛﺎﻥ ﻳﺼﻠﻲ ﻋﻠﻰ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻲ اﻟﻘﻨﻮﺕ ﺇﺳﻨﺎﺩﻩ ﺻﺤﻴﺢ
“Isma’il bin Ishaq (Al Qadhi) menyatakan (dalam kitabnya Fadhlush-sholatu ‘alan Nabi ﷺ), ‘Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna, telah menceritakan kepada kami Mu’adz bin Hisyam, telah menceritakan kepada saya ayahku dari Qotadah dari Abdullah bin Al Harits, bahwa Abu Halimah Mu’adz (Al Anshari, salah seorang imam tarawih yang juga ditunjuk Umar bin Al Khath-thab radhiyallahuma-pen) beliau dulu biasa membaca sholawat bagi Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam doa qunutnya.’ Sanadnya shahih.”*) (Jala-ul Afham, hal. 361-363)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah pernah berfatwa,
…
وبهذه المناسبة أقول: إن جاء طريقة غير هذه الطريق لهذا الأثر فإنه قد يكون حجة؛ لأنه عمل صحابي وإن لم يكن إجماعاً، فلا حاجة للإجماع إذا ثبت أنه عمل صحابي لم يخالفه أحد فإن قول الصحابي قد يحتج به، وأما إذا لم يثبت الأثر فإننا نقول: إن الصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم أمر محبوب وينبغي أن يقرن بها كل دعاء، لكن كوننا نجعلها من سنن القنوت، هذا محل نظر
…
“… Pada kesempatan ini saya menyatakan, apabila ada jakur selain jalur (dari Qotadah yang mu’an’an) ini tentang atsar tersebut maka dia bisa saja menjadi hujjah. Karena itu merupakan perbuatan sahabat nabi, walaupun bukan ijma’. Tidak sampai diperlukan harus ada ijma’ jika valid telah adanya perbuatan sahabat nabi yang tidak diingkari sahabat lainnya. Karena ucapan sahabat (dalam kriteria tertentu) dapat menjadi hujjah. Adapun jika atsar tersebut tidak valid, sesungguhnya kita hanya menyatakan bahwa membaca sholawat bagi Nabi ﷺ adalah perkara yang disukai, yang sepatutnya digandengkan dengannya semua jenis doa. Hanya saja kita memastikan bahwa itu termasuk bagian sunnah qunut, hal itu perlu penelitian…” (Majmu’ Fatawa wa Rasail Al Utsaimin 14/141)
Artikel terkait: Penjelasan Doa Dalam Qunut Witir
Walaupun tidak didapati riwayat marfu’ sebagai perbuatan langsung dari Nabi shallallahu alaihi wasallam sendiri, namun Syaikh Al Albani rahimahullah menjelaskan,
ﻭﻗﺪ ﺛﺒﺖ ﻓﻲ ﺣﺪﻳﺚ ﺇﻣﺎﻣﺔ ﺃﺑﻲ ﺑﻦ ﻛﻌﺐ اﻟﻨﺎﺱ ﻓﻲ ﻗﻴﺎﻡ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﺃﻧﻪ ﻛﺎﻥ ﻳﺼﻠﻲ ﻋﻠﻰ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻲ ﺁﺧﺮاﻟﻘﻨﻮﺕ، ﻭﺫﻟﻚ ﻓﻲ ﻋﻬﺪ ﻋﻤﺮ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ.ﺭﻭاﻩ اﺑﻦ ﺧﺰﻳﻤﺔ ﻓﻲ ” ﺻﺤﻴﺤﻪ ” (1097). ﻓﻬﻲ ﺯﻳﺎﺩﺓ ﻣﺸﺮﻭﻋﺔ؛ ﻟﻌﻤﻞ اﻟﺴﻠﻒ ﺑﻬﺎ، ﻓﻼ ﻳﻨﺒﻐﻲ ﺇﻃﻼﻕ اﻟﻘﻮﻝ ﺑﺄﻥ ﻫﺬﻩ اﻟﺰﻳﺎﺩﺓ ﺑﺪﻋﺔ. ﻭاﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ
“Telah valid dalam hadits Ubay bin Ka’ab yang bertugas mengimami masharakat pada shalat malam bulan Ramadhan, bahwa beliau membaca sholawat bagi Nabi shallallahu alaihi wasallam ketika akhir qunutnya. Dan itu terjadi di masa pemerintahan Umar radhiyallahu anhu, diriwayatkan Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya (no. 1097). Sehingga hal itu adalah tambahan (tata cara) yang disyariatkan, berdasarkan contoh perbuatan salaf menerapkannya. Maka tidaklah pantas menyamaratakan pandangan bahwa tambahan doa tersebut adalah bid’ah, wallahu a’lam.” (Ashlu Sifat Sholat 3/978)
Apakah memang atsar sahabat itu bisa menjadi hujjah (baca: dasar hukum)?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan,
ﻭﺃﻣﺎ ﺃﻗﻮاﻝ اﻟﺼﺤﺎﺑﺔ ﻓﺈﻥ اﻧﺘﺸﺮﺕ ﻭﻟﻢ ﺗﻨﻜﺮ ﻓﻲ ﺯﻣﺎﻧﻬﻢ ﻓﻬﻲ ﺣﺠﺔ ﻋﻨﺪ ﺟﻤﺎﻫﻴﺮ اﻟﻌﻠﻤﺎء. ﻭﺇﻥ ﺗﻨﺎﺯﻋﻮا ﺭﺩ ﻣﺎ ﺗﻨﺎﺯﻋﻮا ﻓﻴﻪ ﺇﻟﻰ اﻟﻠﻪ ﻭاﻟﺮﺳﻮﻝ، ﻭﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻗﻮﻝ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﺣﺠﺔ ﻣﻊ ﻣﺨﺎﻟﻔﺔ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻟﻪ ﺑﺎﺗﻔﺎﻕ اﻟﻌﻠﻤﺎء. ﻭﺇﻥ ﻗﺎﻝ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻗﻮﻻ ﻭﻟﻢ ﻳﻘﻞ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﺑﺨﻼﻓﻪ، ﻭﻟﻢ ﻳﻨﺘﺸﺮ، ﻓﻬﺬا ﻓﻴﻪ ﻧﺰاﻉ، ﻭﺟﻤﻬﻮﺭ اﻟﻌﻠﻤﺎء ﻳﺤﺘﺠﻮﻥ ﺑﻪ ﻛﺄﺑﻲ ﺣﻨﻴﻔﺔ ﻭﻣﺎﻟﻚ ﻭﺃﺣﻤﺪ ﻓﻲ اﻟﻤﺸﻬﻮﺭ ﻋﻨﻪ، اﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻓﻲ ﺃﺣﺪ ﻗﻮﻟﻴﻪ.
“Adapun pendapat-pendapat para sahabat, apabila tersebar dan tidak adak yang mengingkarinya pada masa mereka, hal itu menjadi hujjah menurut mayoritas ulama.
Namun apabila mereka berbeda pendapat, dirujuklah perkara yang mereka perselisihkan itu kepada Allah (melalu Al Quran) dan Ar Rasul (melalui hadits-hadits beliau). Dan (dalam kondisi itu) pendapat sebagian mereka belum bisa dijadikan hujjah ketika masih ada pendapat sahabat lain yang bertentangan, berdasar kesepakatan ulama.
Sementara apabila sebagian sahabat itu berpendapat dan tidak ada sahabat lainnya yang berbeda dengan pendapat itu, namun hal itu tidak tersebar luas, maka situasi semacam ini terdapat perbedaan pandang. Jumhur ulama mengategorikannya sebagai hujjah. Seperti yang dinyatakan oleh Imam Abu Hanifah, Malik, Ahmad dalam pendapat beliau yang lebih dikenal, juga itu adalah salah satu dari dua pendapat Imam Asy Syafi’i.” (Al Fatawa Al Kubro 5/79)
Artikel terkait: Kesepakatan dan Perbedaan Pendapat Ulama 4 Madzhab Tentang Qunut Witir
Jadi dapatlah kita menyimpulkan bahwa kondisi sholat tarawih yang diikuti sekian banyak sahabat dan anak-anak serta murid-murid mereka menunjukkan bahwa atsar Ubay dan Mu’adz radhiyallahu anhuma jelas dikenal luas. Sementara kita belum mendapati adanya pengingkaran dari sahabat lain dalam praktek tatacara qunut menambahkan sholawat dari redaksi dasar yang diajarkan Nabi shallallahu alaihi wasallam tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa, berdasar kesepakatan ulama yang dikutip Syaikhul Islam, begitu juga kesimpulan Syaikh Ibnu Utsaimin dan Al Albani rahimahumullah di atas, bahwa tambahan sholawat bisa diterapkan dan bukanlah bid’ah.
Walillahilhamd wal minnah.
*) Dishahihkan pula oleh Syaikh Al Albani rahimahullah dalam tahqiq beliau terhadap kitab Fadhlush-sholatu ‘alan Nabi ﷺ, riwayat no. 107, hal. 87.
Penulis: Abu Abdirrohman Sofian