Begitu Hikmah dan Adilnya Para Ulama Ahlussunnah Sehingga Tidak Gegabah Dalam Mengkafirkan Penguasa
Segala puji bagi Allah Ta’ala. Allah jadikan para Ulama Ahlussunnah sebagai pembimbing umat dan penerang jalan mereka agar mengikuti sunnah Nabi dan teladan para Sahabatnya.
Para Ulama Ahlussunnah tidak gegabah dalam mengkafirkan penguasa. Bahkan sekalipun dalam ucapan dan pemahaman yang jelas kekafirannya, jika masih memungkinkan ada udzur pada penguasa, mereka tidak serta merta mengkafirkan pribadi penguasanya. Para Ulama Ahlussunnah masih melihat adanya udzur pada penguasa yang dianggap belum mengerti hakikat permasalahan serta tertipu dengan Ulama-Ulama jahat yang mengitarinya.
Di masa al-Imam Ahmad bin Hanbal, setidaknya pada 3 pemerintahan khalifah waktu itu, pemahaman Jahmiyyah bahwa alQuran adalah makhluk didukung oleh penguasa. Pada pemerintahan al-Ma’mun (wafat 218 H), kemudian al-Mu’tashim (wafat 227 H), kemudian al-Watsiq (wafat 232 H). Bukan hanya didukung, tapi para penguasa itu juga menghukum para Ulama yang tidak sependapat dengan pemahaman tersebut. Sebagian Ulama dipenjarakan dan tidak sedikit yang dihukum mati. Meskipun pada al-Watsiq, sebagian referensi menyebutkan bahwa beliau bertobat sebelum meninggalnya.
Bagi yang mempelajari kitab-kitab aqidah Ahlussunnah terdahulu akan paham kalau pernyataan bahwa alQuran adalah makhluk merupakan ucapan dan keyakinan kekafiran. Tidak diragukan lagi. Keyakinan Ahlussunnah adalah bahwa alQuran adalah kalam/ firman Allah, bukan makhluk. Tapi keyakinan kafir Jahmiyyah menyatakan bahwa alQuran adalah makhluk.
Al-Imam Ahmad tidak mengkafirkan penguasa di masa itu. Padahal beliau merasakan sendiri penderitaan akibat tindakan para penguasa itu. Al-Imam Ahmad bahkan menegakkan hujjah dengan berdebat dengan Ulama jahat di masa itu di hadapan sebagian penguasa tersebut. Namun, beliau tidak rela jika kaum muslimin memberontak pada penguasanya yang demikian. Beliau masih mendoakan kebaikan dan ampunan untuk penguasa itu.
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin pernah ditanya, mengapa al-Imam Ahmad tidak menyerukan memberontak pada penguasa al-Ma’mun pada waktu itu padahal al-Ma’mun kafir. Artinya, penanya mengira bahwa al-Ma’mun sudah sampai pada taraf kafir. Namun, Syaikh Ibn Utsaimin menjawab bahwa al-Imam Ahmad masih menyebut al-Ma’mun sebagai Amirul Mukminin (pemimpin kaum beriman). Al-Imam Ahmad masih memberikan udzur pada al-Ma’mun tidak sampai mengkafirkannya.
Berikut ini transkrip tanya jawab tersebut:
السائل : طيب، يا شيخ مع الإمام أحمد بن حنبل قال المعتصم بخلق القرآن والمأمون … ما خرج عنه؟
الشيخ : أيش؟
السائل : ما خرج عليه، مع أنه كافر، والكافر يخرج عليه
الشيخ : الإمام أحمد رحمه الله يقول للمأمون: يا أمير المؤمنين، يخاطبه بهذا، لأن المأمون عنده حاشية لبست عليه، فالتبس عليه الأمر، وأهل السنة والجماعة يفرقون بين المعاند وبين المتأول، فهو لبس عليه، نسأل الله العافية. نعم
Penanya: Baik. Wahai Syaikh, mengapa al-Imam Ahmad bin Hanbal tidak memberontak kepada al-Mu’tashim dan al-Ma’mun, padahal mereka berkata bahwa alQuran adalah makhluk?
Syaikh Ibn Utsaimin: Bagaimana?
Penanya: (al-Imam Ahmad) tidak memberontak padanya, padahal ia kafir. Sedangkan (penguasa) yang kafir semestinya berhak untuk dilakukan pemberontakan padanya.
Syaikh Ibn Utsaimin: al-Imam Ahmad –semoga Allah merahmatinya- berkata kepada al-Ma’mun: Wahai Amirul Mukminin. Beliau memanggilnya dengan sebutan itu. Karena menurut al-Imam Ahmad, orang-orang di sekeliling al-Ma’mun telah membuat kerancuan padanya. Sedangkan Ahlussunnah wal Jamaah membedakan sikap terhadap orang yang menentang dan orang yang salah dalam menta’wil, sehingga rancu baginya. Kita meminta afiyat (kesehatan dan keselamatan). Demikian.
(Syarh Nuniyyah Ibnil Qoyyim kaset nomor 52a).
Baca Juga: Lengser dan Pemakzulan Terhadap Penguasa, Sebuah Tanggapan Kritis
Demikian juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, menguatkan sikap al-Imam Ahmad yang tidak mengkafirkan para penguasa di masa itu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan:
كَانُوا مِنْ وُلَاةِ الْأُمُورِ يَقُولُونَ بِقَوْلِ الْجَهْمِيَّة: إنَّ الْقُرْآنَ مَخْلُوقٌ وَإِنَّ اللَّهَ لَا يُرَى فِي الْآخِرَةِ وَغَيْرُ ذَلِكَ. وَيَدْعُونَ النَّاسَ إلَى ذَلِكَ ويمتحنونهم وَيُعَاقِبُونَهُمْ إذَا لَمْ يُجِيبُوهُمْ وَيُكَفِّرُونَ مَنْ لَمْ يُجِبْهُمْ. حَتَّى أَنَّهُمْ كَانُوا إذَا أَمْسَكُوا الْأَسِيرَ لَمْ يُطْلِقُوهُ حَتَّى يُقِرَّ بِقَوْلِ الْجَهْمِيَّة: إنَّ الْقُرْآنَ مَخْلُوقٌ وَغَيْرُ ذَلِكَ. وَلَا يُوَلُّونَ مُتَوَلِّيًا وَلَا يُعْطُونَ رِزْقًا مِنْ بَيْتِ الْمَالِ إلَّا لِمَنْ يَقُولُ ذَلِكَ وَمَعَ هَذَا فَالْإِمَامُ أَحْمَد رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى تَرَحَّمَ عَلَيْهِمْ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمْ لِعِلْمِهِ بِأَنَّهُمْ لَمْ يَتَبَيَّنْ لَهُمْ أَنَّهُمْ مُكَذِّبُونَ لِلرَّسُولِ وَلَا جَاحِدُونَ لِمَا جَاءَ بِهِ وَلَكِنْ تَأَوَّلُوا فَأَخْطَئُوا وَقَلَّدُوا مَنْ قَالَ لَهُمْ ذَلِكَ (مجموع الفتاوى لابن تيمية 23-349)
Para penguasa dahulu berkata dengan perkataan Jahmiyyah bahwasanya alQuran adalah makhluk, dan bahwasanya Allah tidak akan dilihat di akhirat, dan (ucapan lainnya). Para penguasa itu menyeru manusia pada pemahaman itu, menguji mereka dan menyiksa mereka jika tidak mau mengikuti seruan itu. Bahkan mereka pun mengkafirkan orang-orang yang tidak menjawab seruan mereka itu. Bahkan, jika mereka menahan tawanan, mereka tidak mau melepaskan tawanan itu hingga membenarkan ucapan Jahmiyyah bahwasanya alQuran adalah makhluk, dan pemahaman lainnya. Mereka tidak memberikan kepemimpinan, tidak juga memberi dana dari Baitul Maal kecuali bagi orang yang mau berkata demikian. Namun, meskipun begitu, al-Imam Ahmad –semoga Allah merahmatinya- mendoakan rahmat bagi mereka, memohonkan ampunan untuk mereka. Karena al-Imam Ahmad mengetahui bahwa belum jelas bagi mereka bahwa mereka sedang mendustakan Rasul maupun menentang ajaran yang dibawa Rasul. Mereka menta’wil (melakukan penafsiran) dan salah dalam penafsirannya itu, serta sekedar ikut-ikutan orang yang berbicara demikian (Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyyah 23/349)
Orang-orang yang belum nampak jelas petunjuk dan masih rancu serta samar baginya, tidaklah bisa dikafirkan. Karena di dalam banyak ayat alQuran Allah menyebutkan ketentuan “hingga nampak jelas baginya petunjuk”. Sebagaimana disebutkan dalam sebagian ayat alQuran:
إِنَّ ٱلَّذِينَ ٱرۡتَدُّواْ عَلَىٰٓ أَدۡبَٰرِهِم مِّنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ ٱلۡهُدَى ٱلشَّيۡطَٰنُ سَوَّلَ لَهُمۡ وَأَمۡلَىٰ لَهُمۡ
Sesungguhnya orang-orang yang murtad setelah nampak jelas bagi mereka petunjuk, setanlah yang memperindah perbuatan mereka dan menipu mereka (Q.S Muhammad ayat 25)
إِنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ وَصَدُّواْ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ وَشَآقُّواْ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ ٱلۡهُدَىٰ لَن يَضُرُّواْ ٱللَّهَ شَيۡـٔٗا وَسَيُحۡبِطُ أَعۡمَٰلَهُمۡ
Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan menghalangi dari jalan Allah, serta menyelisihi Rasul, setelah jelas bagi mereka petunjuk, mereka tidaklah memudaratkan Allah sama sekali, dan Dia (Allah) akan membatalkan amalan mereka (Q.S Muhammad ayat 32)
وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلۡهُدَىٰ وَيَتَّبِعۡ غَيۡرَ سَبِيلِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصۡلِهِۦ جَهَنَّمَۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرًا
Barang siapa yang menyelisihi Rasul, setelah nampak jelas baginya petunjuk, dan mengikuti selain jalan kaum beriman, Kami akan palingkan dia ke arah dia berpaling, dan Kami masukkan dia ke Jahannam, dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali (Q.S an-Nisaa’ ayat 115)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan:
ولكن لغلبة الجهل، وقلَّة العلم بآثار الرسالة في كثير من المتأخرين لم يمكن تكفيرهم حتى يتبيَّن لهم ما جاء به الرسول صلى الله عليه وسلم مما يخالف
Namun, karena kebodohan telah mendominasi, pengetahuan yang sedikit tentang jejak-jejak (ajaran) Rasul pada banyak orang-orang belakangan ini, tidak mungkin diterapkan pengkafiran terhadap mereka hingga nampak jelas bagi mereka ajaran yang dibawa oleh Rasul shollallahu alaihi wasallam dalam hal yang mereka selisihi (Mishbaahudz Dzholaam fir Raddi ‘alaa man kadzdzabasy Syaikh al-Imam wa nasabahu ilaa Takfiri Ahlil Iman wal Islam karya Syaikh Abdul Lathif bin Abdirrahman bin Hasan Aalusy Syaikh 3/497)
Wallaahu A’lam
Oleh: Abu Utsman Kharisman