Meninggalkan Ahlul Bid’ah
Terjemah Sebagian Bab: Hujrooni Ahlil Bida’ dalam Syarh Lum’atil I’tiqad karya Syaikh Ibn Utsaimin
Al-Hujroon adalah bentuk mashdar dari Hajaro. Secara bahasa artinya meninggalkan.
Yang dimaksud dengan meninggalkan Ahlul Bid’ah adalah menjauhi, meninggalkan sikap mencintai mereka, tidak berloyalitas kepada mereka, tidak mengucapkan salam kepada mereka, tidak berziarah maupun menjenguk mereka, dan semisalnya.
Meninggalkan Ahlul Bid’ah adalah wajib. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
لَا تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّوْنَ مَنْ حَادَّ اللهَ وَرَسُوْلَهُ.
Engkau tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan pihak yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya (Q.S al-Mujadilah ayat 22)
Karena Nabi shollallahu alaihi wasallam meninggalkan Kaab bin Malik dan kedua rekannya ketika mereka tertinggal dari perang Tabuk. (Jika untuk dosa besar saja ada anjuran untuk menjauhi pelakunya, untuk kebid’ahan yang bahayanya lebih besar, tentu lebih dianjurkan, pent).
Namun, jika dalam upaya bermajelis dengan mereka terdapat maslahat untuk menjelaskan kebenaran kepada mereka dan memperingatkan mereka dari kebid’ahan, hal itu tidak mengapa (dilakukan). Bahkan, bisa jadi hal itu diharapkan. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
اُدْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَن
Berdakwahlah (mengajak) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan nasihat yang baik, serta debatlah mereka dengan yang terbaik…(Q.S an-Nahl ayat 125).
Hal ini dilakukan dengan duduk berbincang, kadangkala dengan saling berkirim surat dan menyusun tulisan.
Di antara bentuk meninggalkan Ahlul Bid’ah adalah tidak membaca kitab-kitab (buku) karya mereka karena dikhawatirkan terjatuh ke dalam fitnah yang ada padanya, atau membuat manusia tertarik (untuk membacanya).
Menjauhi tempat-tempat kesesatan adalah wajib. Berdasarkan sabda Nabi shollallahu alaihi wasallam:
مَنْ سَمِعَ بِالدَّجَّالِ فَلْيَنْأَ عَنْهُ فَوَاللَّهِ إِنَّ الرَّجُلَ لَيَأْتِيهِ وَهُوَ يَحْسِبُ أَنَّهُ مُؤْمِنٌ فَيَتَّبِعُهُ مِمَّا يَبْعَثُ بِهِ مِنَ الشُّبُهَاتِ
Barang siapa yang mendengar (kedatangan) Dajjal, hendaklah menjauh darinya. Karena demi Allah, sesungguhnya ada seseorang yang benar-benar mendatanginya dalam keadaan dia menganggap bahwa dirinya beriman kemudian (ternyata) mengikuti Dajjal, karena syubhat-syubhat yang ditebarkannya.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Dawud dan al-Albaniy menyatakan bahwa sanadnya shahih.
Namun jika tujuan membaca kitab-kitab mereka adalah untuk mengenal kebid’ahan mereka agar bisa dibantah, hal itu tidaklah mengapa. Bagi orang yang memiliki akidah yang benar sebagai bentengnya dan mampu untuk membantahnya. Justru bisa jadi wajib. Karena membantah kebid’ahan adalah wajib. Sesuatu yang kewajiban tidaklah sempurna kecuali dengan adanya hal tersebut, maka hal tersebut adalah wajib.
Sumber: Syarh Lum’atil I’tiqad Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin
Naskah Asli:
هجران أهل البدع
الهجران مصدر هجر
وهو لغة: الترك.
والمراد بهجران أهل البدع: الابتعاد عنهم، وترك محبتهم، وموالاتهم، والسلام عليهم، وزيارتهم، وعيادتهم، ونحو ذلك.
وهجران أهل البدع واجب
لقوله تعالى:
(لا تجد قوماً يؤمنون بالله واليوم الآخر يوادون من حاد الله ورسوله.
ولأن النبي، صلى الله عليه وسلم ، هجر كعب بن مالك وصاحبيه حين تخلفوا عن غزوة تبوك.
لكن إن كان في مجالستهم مصلحة لتبيين الحق لهم وتحذيرهم من البدعة فلا بأس بذلك، وربما يكون ذلك مطلوباً لقوله تعالى:
(ادع إلى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتي هي أحسن(. وهذا قد يكون بالمجالسة، والمشافهة، وقد يكون بالمراسلة، والمكاتبة، ومن هجر أهل البدع: ترك النظر في كتبهم خوفاً من الفتنة بها، أو ترويجها بين الناس فالابتعاد عن مواطن الضلال واجب.
لقوله صلى الله عليه وسلم ، في الدجال:
“من سمع به فلينأ عنه فوالله إن الرجل ليأتيه وهو يحسب أنه مؤمن فيتبعه مما يبعث به من الشبهات”.
رواه أبو داود
قال الألباني: وإسناده صحيح.
لكن إن كان الغرض من النظر في كتبهم معرفة بدعتهم للرد عليها فلا بأس بذلك لمن كان عنده من العقيدة الصحيحة ما يتحصن به وكان قادراً على الرد عليهم، بل ربما كان واجباً، لأن رد البدعة واجب وما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب.
Penerjemah: Abu Utsman Kharisman
Baca Juga: Definisi Bid’ah
Catatan Tambahan
Bermajelis dalam rangka menasehati kebid’ahan ada ketentuan yang perlu dipenuhi:
A. Ketentuan sasaran yang hendak dinasehati:
1. Bukan jenis pelaku bid’ah mukaffiroh semisal qodariyyah, jahmiyyah, rofidhoh dan semisalnya.
(Disimpulkan dari fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah lainnya, sementara Syaikh Ubaid tidak memandang pemisahan antara mufassiqoh dan mukaffiroh namun dari sisi lainnya)
2. Bukan type orang yang mendakwahkan/menyerukan kebid’ahannya
(penjelasan Syaikh ‘Ubaid Al Jabiri hafidzahullah)
3. Tampak adanya kesalahan dalam memahami dalil, bukan dikenal sebagai pengikut hawa nafsu. Jika telah ada orang lain yang menyampaikan hujjah, sedangkan tanggapannya adalah tetap menentang dengan kesombongan, tidak ada kebutuhan dinasehati dengan hujjah yang sama.
(Keumuman atsar salaf, misal qoul Abu Qilabah)
4. Tidak ditampilkan terang terangan sehingga membingungkan awwam. Yang didatangi bukan perkumpulan orang banyak. Namun individu tertentu yang tampak maslahat nasehat bagi mereka secara tersembunyi.
(Fatwa Syaikh Ubaid al Jabiri)
B. Orang yang menasehati:
Haruslah seorang yang kukuh dalam keilmuan dan manhajnya serta disegani oleh pihak yang hendak dinasehati. Memahami syubhat yang dimiliki pihak yang hendak dinasehati.
Sehingga tidak bisa dilakukan oleh setiap orang yang berharap sampainya nasehat baik kepada mereka.
(Faidah dari ust Abu Abdirrahman Sofian)