Para Pengikut Nabi Adalah Orang-Orang yang Berilmu dan Adil
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan:
أَتْبَاعُ الْأَنْبِيَاءِ هُمْ أَهْلُ الْعِلْمِ وَالْعَدْلِ، كَانَ كَلَامُ أَهْلِ الْإِسْلَامِ وَالسُّنَّةِ مَعَ الْكُفَّارِ، وَأَهْلِ الْبِدَعِ بِالْعِلْمِ وَالْعَدْلِ لَا بِالظَّنِّ، وَمَا تَهْوَى الْأَنْفُسُ وَلِهَذَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ: قَاضِيَانِ فِي النَّارِ، وَقَاضٍ فِي الْجَنَّةِ، رَجُلٌ عَلِمَ الْحَقَّ وَقَضَى بِهِ فَهُوَ فِي الْجَنَّةِ، وَرَجُلٌ عَلِمَ الْحَقَّ وَقَضَى بِخِلَافِهِ فَهُوَ فِي النَّارِ، وَرَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِي النَّارِ» رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَغَيْرُهُ
Para pengikut Nabi adalah orang-orang yang berilmu dan adil. Pernyataan yang disampaikan oleh orang-orang yang berpegang teguh dalam Islam dan Sunnah terhadap orang-orang kafir dan ahlul bid’ah itu tetap berlandaskan ilmu dan keadilan. Bukan dengan persangkaan dan hawa nafsu.
Karena itu, Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Hakim itu ada 3. Dua hakim di neraka, dan 1 hakim di surga. Seorang yang mengenal kebenaran serta memutuskan sesuai kebenaran (yang dia ketahui itu) dia berada di surga. Seorang yang mengenal kebenaran namun ia memutuskan berbeda dengan (kebenaran yang dia ketahui) itu, maka ia berada di neraka. Seorang yang memutuskan perkara antar manusia didasari ketidaktahuan, dia berada di neraka.” Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Dawud dan selainnya.
(al-Jawaabus Shohiih li man Baddala Diinal Masiih 1/107-108)
Pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tersebut sangatlah tepat. Para pengikut Nabi shollallahu alaihi wasallam semestinya mendasari sikap dan perbuatannya dengan ilmu dan keadilan.
Dengan ilmu artinya sesuai data, fakta, hujjah yang jelas. Bukan sekedar dugaan dan persangkaan. Sekedar persangkaan, bukanlah ilmu.
إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
…Sesungguhnya persangkaan tidaklah menghasilkan kebenaran (yang meyakinkan) sama sekali… (Q.S Yunus ayat 36)
Atau, sesuatu bisa jadi dianggap data dan fakta yang jelas, namun untuk memvonis dan menjatuhkan keputusan, perlu melihat alasan dan latar belakang mengapa data dan fakta itu muncul. Bisa jadi ada alasan yang dibenarkan mengapa seseorang berbuat perbuatan tertentu. Ya, benar faktanya dia berbuat demikian. Tapi, perlu ditanyakan mengapa ia berbuat demikian. Karena bisa jadi ada alasan yang dibenarkan sehingga kita tidak bisa menghukumi dia sebagai orang yang salah. Hal-hal semacam ini perlu juga untuk dicermati dan diklarifikasi, dalam rangka menghasilkan tindakan dan sikap yang adil.
Di dalam surah al-Kahfi, Allah Ta’ala menceritakan kisah Nabi Musa dan Nabi al-Khodhir. Nabi Musa melihat hal-hal yang secara dzhahir terlihat tidak benar dilakukan oleh Nabi al-Khodhir. Itu sebelum Nabi Musa mendapat penjelasan dari Nabi al-Khodhir. Setelah Nabi al-Khodhir menjelaskan latar belakang dan alasan mengapa beliau berbuat demikian, menjadi jelaslah bagi Nabi Musa bahwa perbuatan Nabi al-Khodhir itu tidak bisa disalahkan.
Seorang tidak bisa bersikap adil ketika hawa nafsu yang dominan. Karena hawa nafsu, seseorang bisa saja membungkus perselisihan atau kebencian pribadi kepada seseorang menjadi seakan-akan kebencian karena Allah.
Meskipun Ulama yang mempelajari masalah dengan seksama sudah menyatakan bahwa itu hanyalah masalah pribadi dan memutuskan bahwa fitnah telah selesai, tapi ia tetap bersikeras menganggap bahwa fitnah belum selesai. Ini bukanlah sikap yang adil, dan bukan demikian karakter orang-orang yang meneladani Nabi shollallahu alaihi wasallam.
Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita sebagai orang-orang yang senantiasa melandasi sikap dan perbuatannya berdasarkan ilmu dan keadilan.
Ditulis oleh: Abu Utsman Kharisman