Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Tuntunan Menghormati dan Rujuk Kepada Ulama Terutama di Kala Fitnah Melanda

Betapa besar jasa para ulama bagi umat. Di masa aman dan damai, mereka sibuk mengajarkan berbagai kebaikan agama, termasuk peringatan dari berbagai bahaya. Sehingga muslimin dapat berbekal untuk kehidupan abadi di akhirat kelak dengan mengikuti ilmu yang disampaikan ulama.

Ketika terjadi fitnah, merupakan kewajiban orang berilmu untuk menenangkan masyarakatnya. Memperingatkan saudara-saudaranya dari bahaya provokator, mengarahkan dengan takwa dan kesabaran, serta memberikan pengarahan yang menyejukkan.

Alim robbani tidak akan rela bergulir gosip dan isu picisan di tengah komunitasnya. Kehadiran ulama di tengah umat membicarakan fitnah justru akan meredam dan menunjukkan jalan keluarnya. Karena mereka berbicara berlandaskan ilmu dan misi mulia mengarahkan umat pada petunjuk agama secara tulus. Berbeda dengan yang bukan ulama, bisa jadi apa yang diucapkan atau dilakukannya menjadikan situasinya semakin suram, bertambah samar kebenaran, semakin sulit dibedakan dari kebatilan.

Pada generasi awal dulu, para sahabat Nabi merekalah ulamanya umat. Peran mereka terasa nyata, bukan sekedar mengajarkan kebaikan namun juga mencegah berbagai keburukan termasuk meredam gejolak fitnah dan pertikaian.


Baca Juga: Hindari Perdebatan yang Tercela


Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahihnya, setelah menyebutkan sanadnya sampai kepada Shofwan bin Muhriz rahimahumullah, bahwa dia menceritakan sesungguhnya Sahabat Nabi Jundab bin Abdillah Al Bajali radhiyallahu anhu mengirimkan pesan kepada ‘As’as bin Salamah rahimahullah di masa fitnah Ibnu Zubair dengan perkataan:

اجْمَعْ لِي نَفَرًا مِنْ إِخْوَانِكَ حَتَّى أُحَدِّثَهُمْ

“Kumpulkan beberapa orang dari saudaramu, agar aku dapat berbicara kepada mereka!”

Lalu diutuslah orang yang bertugas menyampaikan rencana tersebut kepada orang-orang tersebut. Ketika mereka sudah berkumpul, hadirlah Jundab sang alim rabbani, beliau radhiyallahu anhu yang ketika itu mengenakan burnus kuning, berkata:

تَحَدَّثُوا بِمَا كُنْتُمْ تَحَدَّثُونَ بِهِ حَتَّى دَارَ الْحَدِيثُ

“Silakan kalian ceritakan kembali, hal-hal yang kalian pernah memperbincangkannya (tentang fitnah ini)” sehingga terjadilah diskusi.

Kemudian beliau membacakan salah satu hadits Nabi tentang wajibnya menjaga darah orang yang telah bersyahadat walaupun diduga hanya sebagai dalih menyelamatkan diri.

(Petikan hadits dalam Shahih Muslim no. 97 [160])

Al Hafidz An Nawawi rahimahullah memberikan penjelasan,

ﻭﺃﻣﺎ ﻣﺎ ﻓﻌﻠﻪ ﺟﻨﺪﺏ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﻠﻪ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻣﻦ ﺟﻤﻊ اﻟﻨﻔﺮ ﻭﻭﻋﻈﻬﻢ ﻓﻔﻴﻪ أنه ﻳﻨﺒﻐﻲ ﻟﻠﻌﺎﻟﻢ ﻭاﻟﺮﺟﻞ اﻟﻌﻈﻴﻢ اﻟﻤﻄﺎﻉ ﻭﺫﻱ اﻟﺸﻬﺮﺓ ﺃﻥ ﻳﺴﻜﻦ اﻟﻨﺎﺱ ﻋﻨﺪ اﻟﻔﺘﻦ ﻭﻳﻌﻈﻬﻢ ﻭﻳﻮﺿﺢ ﻟﻬﻢ اﻟﺪﻻﺋﻞ

“Adapun yang dilakukan oleh Jundab bin Abdillah radhiyallahu anhu dengan mengumpulkan beberapa orang kemudian memberi pengarahan kepada mereka, padanya terdapat pelajaran bahwa semestinya seorang yang berilmu, begitu pula tokoh mulia yang memiliki pengikut serta sosok terkenal, hendaklah berupaya menenangkan masyarakatnya di kala fitnah melanda, memberi pengarahan, serta menjelaskan berbagai petunjuk kepada mereka.” (Syarh Shaih Muslim 2/107)

Demikian gambaran kepedulian sosok alim dari kalangan ulama para Sahabat Nabi, ridhwanullahu alaihim ajma’in.


Artikel yang semoga bermanfaat pula: Kisah Perselisihan yang Pernah Terjadi Antara Abu Bakr dan Umar


Memang masa telah berganti, sementara fitnah semakin banyak dan beragam bentuknya. Namun yakinlah bahwa Allah senantiasa menunjuki para pejuang dari kalangan ulama yang terus mengawal agar umat ini terbimbing dengan ilmu dan hikmah.

Salah satu imam dakwah di era kita, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah menyebutkan bentuk cobaan (fitnah) yang banyak terjadi di masa kita,

ﻭﻣﻦ ﺃﺟﻞ اﻟﻨﻜﺎﺭﺓ اﻟﻤﺸﺎﺭ ﺇﻟﻴﻬﺎ ﻓﻲ ﺻﺪﺭ ﻫﺬا اﻟﺒﺤﺚ ﺧﺮﺟﺖ اﻟﺤﺪﻳﺚ ﻫﻨﺎ، ﻭﺑﻴﺎﻥ ﻋﻠﻠﻬﺎ، ﻣﻊ ﺃﻧﻬﺎ ﺗﻤﺜﻞ ﻭاقع ﻛﺜﻴﺮ ﻣﻦ ﺷﺒﺎﺏ اﻟﺼﺤﻮﺓ اﻟﻤﺰﻋﻮﻣﺔ اﻟﻴﻮﻡ، اﻟﺬﻳﻦ ﻳﺮﺩ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻋﻠﻰ ﺑﻌﺾ، ﻭﻳﻄﻌﻦ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻓﻲ ﺑﻌﺾ ﻟﻠﻀﻐﻴﻨﺔ ﻻ اﻟﻨﺼﻴﺤﺔ، ﻭﻭﺻﻞ ﺗﻌﺪﻳﻬﻢ ﻭﺷﺮﻫﻢ ﺇﻟﻰ ﺑﻌﺾ اﻟﻌﻠﻤﺎء ﻭﺃﻓﺎﺿﻠﻬﻢ، ﻭﻧﺒﺰﻭﻫﻢ ﺑﺸﺘﻰ اﻷﻟﻘﺎﺏ، ﻏﻴﺮ ﻣﺘﺄﺩﺑﻴﻦ ﺑﺄﺩﺏ اﻹﺳﻼﻡ: لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا، وَيُوَقِّرْ كَبِيرَنَا وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ. ﻭﻣﻐﺮﻭﺭﻳﻦ ﺑﻨﺘﻒ ﻣﻦ اﻟﻌﻠﻢ ﺟﻤﻌﻮﻩ ﻣﻦ ﻫﻨﺎ ﻭﻫﻨﺎﻙ ﺣﺘﻰ ﺗﻮﻫﻤﻮا ﺃﻧﻬﻢ ﻋﻠﻰ ﺷﻲء، ﻭﻟﻴﺴﻮا ﻋﻠﻰ ﺷﻲء ﻛﻤﺎ ﺟﺎء ﻓﻲ ﺑﻌﺾ ﺃﺣﺎﺩﻳﺚ اﻟﻔﺘﻦ ﻭﺻﺮﻓﻮا ﻗﻠﻮﺏ ﻛﺜﻴﺮ ﻣﻦ اﻟﻨﺎﺱ ﻋﻨﻬﻢ، ﺑﺄﻗﻮاﻝ ﻭﻓﺘﺎﻭﻯ ﻳﻨﺒﻰء ﻋﻦ ﺟﻬﻞ ﺑﺎﻟﻎ، ﻣﻤﺎ ﻳﺬﻛﺮﻧﺎ ﺑﺄﻧﻬﻢ ﻣﻦ اﻟﺬﻳﻦ ﺃﺷﺎﺭ ﺇﻟﻴﻬﻢ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺑﻘﻮﻟﻪ ﻓﻲ اﻟﺤﺪﻳﺚ اﻟﺼﺤﻴﺢ: إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا، فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا”. ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ

“Di antara bentuk kemungkaran paling parah yang diisyaratkan di tengah-tengah pembahasan takhrij hadits ini, serta penjelasan beberapa illatnya, dalam situasi yang sama hal semacam ini menggambarkan kenyataan yang terjadi pada banyak kalangan para pemuda ‘kebangkitan’ yang disangkakan pada masa ini.

Yang mereka malah saling berbantah-bantahan. Mereka saling mencela satu sama lainnya yang dipicu kedengkian, bukan karena nasehat tulus. Hingga sampai taraf pelanggaran dan kejahatan mereka terhadap sebagian ulama. Termasuk terhadap sosok-sosok paling mulia di antara ulama tersebut. Mereka juga menyematkan sekian banyak cap sebutan buruk. Tanpa mereka berupaya menunaikan adab Islam (yang disabdakan Nabi shollallahu alaihi wasallam):

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا، وَيُوَقِّرْ كَبِيرَنَا وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ

“Bukan termasuk (ajaran) kami orang yang tidak menyayangi pihak yang lebih muda, dan memuliakan yang lebih tua, serta memahami hak orang yang berilmu (ulama) di antara kita.” (Dihasankan Syaikh Al Albani dalam Shahih Al Jami’ Ash Shaghir no. 5443).

Mereka telah tertipu dengan pengetahuan yang mereka kumpulkan dari sana-sini. Sampai-sampai mereka mengira bahwa diri mereka telah berada pada derajat tertentu, padahal mereka belumlah menjadi apa-apa. Seperti yang disebutkan dalam beberapa hadits tentang fitnah. Sedangkan mereka telah memalingkan hati banyak orang dari para ulama, dengan pernyataan dan fatwa yang tumbuh dari kebodohan yang parah.

Hal tersebut mengingatkan kita bahwa mereka termasuk yang diisyaratkan Nabi shallallahu alaihi wasallam pada sabda beliau dalam sebuah hadits shahih:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا، فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

“Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu secara sekaligus dari para hamba. Akan tetapi ilmu dicabut dengan cara diwafatkannya ulama. Sampai apabila tidak lagi tersisa seorang ulama, orang-orang akan memosisikan para tokoh bodoh sebagai pembina-pembina mereka. Lalu mereka akan ditanya, hingga mereka berfatwa tanpa landasan ilmu. Sehingga mereka sesat dan menyesatkan masyarakat.” Muttafaqun ‘alaih.”

(Silsilah Al Ahadits Adh Dho’ifah 14/557)

Begitu pula sosok imam dakwah generasi kini dari negeri dakwah Islam bermula, Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah telah menasehatkan,

فالمخلص من الفتن والمنجي منها بتوفيق الله هو بتحكيم كتاب الله وسنة رسوله ﷺ، وذلك بالرجوع إلى أهل السنة وعلماء السنة الذين حصل لهم الفقه في كتاب الله عز وجل والفقه بسنة رسوله ﷺ ودرسوهما غاية الدراسة وعرفوا أحكامهما وساروا عليهما
(مجموع فتاوى ومقالات الشيخ ابن باز 6/ 103)

“Solusi dan jalan selamat dari berbagai ujian dengan taufiq dari Allah adalah dengan menjalankan hukum Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shollallahu alaihi wasallam. Caranya dengan merujuk kepada ahlussunnah dan para ulama sunnah yang telah memiliki kapasitas pemahaman yang benar tentang Kitabullah Azza waJalla dan pemahaman yang baik terhadap sunnah Rasul-Nya shollallahu alaihi wasallam. Mereka itulah yang juga telah mempelajari kedua (sumber hukum) tersebut secara maksimal dan telah menguasai seluk-beluk hukum pada keduanya, sekaligus mereka telah (berpengalaman) menerapkannya.” (Majmu’ Fatawa wa Maqolat Asy Syaikh Ibnu Baz 6/103)


Artikel lain yang semoga bermanfaat pula: Jangan Menyelisihi Sunnah Agar Tidak Terkena Fitnah (Bencana)


Awas saudaraku, waspadai fitnah jika kita tidak menghormati bimbingan ulama. Berhati-hatilah dari fitnah lanjutan yang tak terelakkan jika kita memilih ‘solusi’ versi lain dari solusi ulama dalam meredam fitnah yang kita alami. Selain dikhawatirkan akan mengantarkan kepada fitnah lebih besar, sikap lancang itu berpotensi mengantarkan menuju siksa yang pedih, wal’iyadzu billah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menegaskan,

ﻭﻣﻦ اﺳﺘﻘﺮﺃ ﺃﺣﻮاﻝ اﻟﻔﺘﻦ اﻟﺘﻲ ﺗﺠﺮﻱ ﺑﻴﻦ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ، ﺗﺒﻴﻦ ﻟﻪ ﺃﻧﻪ ﻣﺎ ﺩﺧﻞ ﻓﻴﻬﺎ ﺃﺣﺪ ﻓﺤﻤﺪ ﻋﺎﻗﺒﺔ ﺩﺧﻮﻟﻪ، ﻟﻤﺎ ﻳﺤﺼﻞ ﻟﻪ ﻣﻦ اﻟﻀﺮﺭ ﻓﻲ ﺩﻳﻨﻪ، ﻭﺩﻧﻴﺎﻩ. ﻭﻟﻬﺬا ﻛﺎﻧﺖ ﻣﻦ ﺑﺎﺏ اﻟﻤﻨﻬﻲ ﻋﻨﻪ، ﻭاﻹﻣﺴﺎﻙ ﻋﻨﻬﺎ ﻣﻦ اﻟﻤﺄﻣﻮﺭ ﺑﻪ، اﻟﺬﻱ ﻗﺎﻝ اﻟﻠﻪ ﻓﻴﻪ: فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Barang siapa yang secara cermat memperhatikan berbagai situasi fitnah (pertikaian) yang pernah terjadi sesama muslimin, akan menjadi jelas baginya bahwa tidak ada seorangpun yang mendapat akibat baik jika terlanjur terjerumus ke dalamnya. Karena sekian mudhorot yang terjadi setelahnya dalam urusan agama maupun dunianya.

Oleh sebab itulah, perkara ini telah dikategorikan sebagai hal yang dilarang. Sedangkan menahan diri tidak larut di dalamnya merupakan hal yang diperintahkan. Suatu ketentuan yang telah Allah firmankan;

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan (fitnah) atau ditimpa azab yang pedih.” (QS An Nur: 63)”

(Minhaj As Sunnah An Nabawiyyah 4/410)

Ya Allah, jauhkanlah kami dan seluruh saudara kami muslimin dari berbagai fitnah yang tampak maupun yang tersembunyi. Sadarkanlah di antara kami yang terjerumus dalam fitnah, berilah petunjuk dan ampunan-Mu. Lindungilah para ulama kami, dan berikan kami taufiq-Mu dalam menjalankan nasehat dan bimbingan mereka. Sesungguhnya Engkau sebaik-baik pelindung dan pemberi petunjuk.

?️ Abu Abdirrohman Sofian

Tinggalkan Balasan