Keistimewaan Sanad Dalam Islam

Agama Yahudi dan Nashara telah mengalami banyak perubahan dari ajaran asli Nabi Musa dan Nabi Isa –semoga sholawat dan salam tercurah pada beliau berdua-. Hal itu sebenarnya diakui oleh sebagian pemuka agama Yahudi dan Nashara.
Saat Zaid bin ‘Amr bin Nufail, ayah Sahabat Nabi Said bin Zaid dalam proses pencarian agama yang benar, beliau bepergian jauh hingga ke Syam dan bertanya kepada pendeta Yahudi dan Nashara dengan harapan bisa masuk dan meyakini agama mereka. Namun, justru pemuka agama Yahudi yang ditemuinya menyatakan: “Engkau tidak akan berada dalam agama kami hingga engkau mengambil bagianmu dari kemurkaan Allah”.
Demikian juga saat Zaid bin ‘Amr menemui pemuka agama Nashara dengan harapan mendalami dan mungkin masuk ke agama tersebut, ternyata pemuka agama Nashara itu menyatakan: “Engkau tidak akan berada dalam agama kami hingga engkau mengambil bagianmu dari laknat Allah”.
Maka Zaid bin ‘Amr pun tidak jadi masuk ke dalam agama Yahudi maupun Nashara. Beliau memilih untuk mengikuti agama Nabi Ibrahim yang bersih dari kesyirikan. Peristiwa tersebut dikisahkan dalam hadits pada Shahih al-Bukhari.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ زَيْدَ بْنَ عَمْرِو بْنِ نُفَيْلٍ خَرَجَ إِلَى الشَّأْمِ يَسْأَلُ عَنْ الدِّينِ وَيَتْبَعُهُ فَلَقِيَ عَالِمًا مِنْ الْيَهُودِ فَسَأَلَهُ عَنْ دِينِهِمْ فَقَالَ إِنِّي لَعَلِّي أَنْ أَدِينَ دِينَكُمْ فَأَخْبِرْنِي فَقَالَ لَا تَكُونُ عَلَى دِينِنَا حَتَّى تَأْخُذَ بِنَصِيبِكَ مِنْ غَضَبِ اللَّهِ قَالَ زَيْدٌ مَا أَفِرُّ إِلَّا مِنْ غَضَبِ اللَّهِ وَلَا أَحْمِلُ مِنْ غَضَبِ اللَّهِ شَيْئًا أَبَدًا وَأَنَّى أَسْتَطِيعُهُ فَهَلْ تَدُلُّنِي عَلَى غَيْرِهِ قَالَ مَا أَعْلَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ حَنِيفًا قَالَ زَيْدٌ وَمَا الْحَنِيفُ قَالَ دِينُ إِبْرَاهِيمَ لَمْ يَكُنْ يَهُودِيًّا وَلَا نَصْرَانِيًّا وَلَا يَعْبُدُ إِلَّا اللَّهَ فَخَرَجَ زَيْدٌ فَلَقِيَ عَالِمًا مِنْ النَّصَارَى فَذَكَرَ مِثْلَهُ فَقَالَ لَنْ تَكُونَ عَلَى دِينِنَا حَتَّى تَأْخُذَ بِنَصِيبِكَ مِنْ لَعْنَةِ اللَّهِ قَالَ مَا أَفِرُّ إِلَّا مِنْ لَعْنَةِ اللَّهِ وَلَا أَحْمِلُ مِنْ لَعْنَةِ اللَّهِ وَلَا مِنْ غَضَبِهِ شَيْئًا أَبَدًا وَأَنَّى أَسْتَطِيعُ فَهَلْ تَدُلُّنِي عَلَى غَيْرِهِ قَالَ مَا أَعْلَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ حَنِيفًا قَالَ وَمَا الْحَنِيفُ قَالَ دِينُ إِبْرَاهِيمَ لَمْ يَكُنْ يَهُودِيًّا وَلَا نَصْرَانِيًّا وَلَا يَعْبُدُ إِلَّا اللَّهَ فَلَمَّا رَأَى زَيْدٌ قَوْلَهُمْ فِي إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَام خَرَجَ فَلَمَّا بَرَزَ رَفَعَ يَدَيْهِ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنِّي أَشْهَدُ أَنِّي عَلَى دِينِ إِبْرَاهِيمَ
Dari Ibnu Umar bahwasanya Zaid bin ‘Amr bin Nufail keluar menuju Syam bertanya tentang agama (yang benar) untuk diikutinya. Ia bertemu dengan seorang berilmu dari Yahudi. Ia bertanya kepada orang itu tentang agama mereka.
Ia berkata: Sesungguhnya aku berharap masuk ke dalam agama kalian. Khabarkan kepadaku (bagaimana agama kalian itu).
Orang itu berkata: engkau tidak akan berada dalam agama kami hingga engkau mengambil bagianmu dari kemurkaan Allah.
Zaid berkata: Tidaklah aku menghindar kecuali dari kemurkaan Allah. Aku tidak akan bisa menanggung bagian dari kemurkaan Allah selamanya. Aku tidak akan bisa. Tunjukkan aku pada agama lain.
Orang itu berkata: Tidaklah aku mengetahui kecuali itu adalah agama Hanif (yang lurus).
Zaid berkata: Apakah (agama) Hanif itu?
Orang itu berkata: Itu adalah agama Ibrahim. Bukan Yahudi maupun Nashrani. Tidaklah menyembah kecuali kepada Allah.
Kemudian keluarlah Zaid. Selanjutnya ia bertemu dengan seorang yang berilmu dari Nashara. Ia pun menyampaikan seperti yang disampaikan kepada orang berilmu dari kalangan Yahudi tadi.
Orang Nashrani yang berilmu itu berkata: engkau tidak akan berada dalam agama kami hingga engkau mengambil bagianmu dari laknat Allah.
Zaid berkata: Tidaklah aku lari kecuali dari laknat Allah. Aku tidak akan bisa menanggung bagian dari laknat maupun kemurkaan Allah sedikit pun selamanya. Aku tidak akan bisa demikian. Maukah engkau menunjukkan pada agama lain?
Orang itu berkata: Tidaklah aku mengetahui hal itu kecuali itu adalah agama yang Hanif (lurus).
Zaid berkata: Apakah agama yang Hanif itu?
Orang itu berkata: Itu adalah agama Ibrahim. Bukan Yahudi ataupun Nashrani. Tidak beribadah kecuali kepada Allah.
Ketika Zaid melihat ucapan mereka tentang Ibrahim alaihissalaam, keluarlah ia dari tempat itu. Ketika berada di tempat yang terang ia mengangkat tangannya dan berdoa: Ya Allah sesungguhnya aku bersaksi bahwasanya aku berada di atas agama Ibrahim
(H.R al-Bukhari)
Baca Juga: Bimbingan Ulama Salaf Agar Selektif Dalam Mengambil Ilmu Agama
Dalam agama selain Islam, tidak ada metode keilmuan yang memadai untuk menelusuri validitas suatu ucapan atau pernyataan. Benarkah itu ucapan Nabi, atau ucapan murid Nabi? Benarkah redaksi kalimat secara utuh yang disampaikan seperti itu?
Tidak bisa terpisahkan mana sabda Nabi dengan ucapan orang setelahnya. Ajaran para Nabinya mengalami pencampuradukan dengan ajaran yang lain. Karena mereka tidak memiliki seperangkat metode keilmuan untuk meneliti hadits, di antaranya tentang sanad riwayat.
Sedangkan dalam Islam, dikenal metode pengkajian sebuah riwayat. Karena ucapan atau pernyataan tidaklah sekedar dinukil, tapi juga diriwayatkan. Artinya, bukan hanya isi berita yang disampaikan, tapi juga mata rantai penyampai berita. Para penyampai berita disebut juga perawi. Mata rantai para perawi itu disebut dengan sanad atau isnad.
Dalam Islam, penelitian ilmu hadits atau riwayat ucapan Sahabat maupun Ulama setelahnya meliputi penelitian terhadap sanad. Siapa saja orang yang ikut menukil berita, bagaimana status mereka. Para Ulama juga menulis biografi para perawi tersebut. Siapa saja guru maupun muridnya. Kapan tahun lahirnya. Bagaimana status sang perawi apakah terpercaya atau tidak. Ada perawi-perawi yang terpercaya, lemah, atau bahkan tertuduh pendusta, maupun pendusta. Semua terdokumentasikan secara lengkap. Apabila perawi itu tidak dikenal, atau disebut majhul, mata rantai perawi itu terhitung lemah. Bisa jadi suatu sabda Nabi diriwayatkan tidak hanya dari satu jalur periwayatan. Sehingga meskipun masing-masing jalur periwayatan itu ada sisi kelemahannya, mungkin karena terputusnya sanad atau kelemahan hafalan seorang perawinya, namun jalur-jalur riwayat itu saling menguatkan sehingga sah sebagai suatu hadits.
Perangkat keilmuan dalam hadits dan ilmu riwayat bersanad inilah yang membuat ajaran Islam tetap murni. Tidak tercampuradukkan dengan ucapan-ucapan tidak jelas. Berbeda dengan pada umat sebelumnya atau pada agama lain. Tidak bisa terpisahkan mana sabda Nabi dengan ucapan orang setelahnya. Ajaran para Nabinya mengalami pencampuradukkan dengan ajaran yang lain. Karena mereka tidak memiliki seperangkat metode keilmuan untuk meneliti hadits, di antaranya tentang sanad riwayat.
Muhammad bin Hatim bin al-Mudzhaffar rahimahullah menyatakan:
إِنَّ اللهَ أَكْرَمَ هَذِهِ الْأُمَّةَ وَشَرَّفَهَا وَفَضَّلَهَا باِلْإِسْنَادِ، وَلَيْسَ لِأَحَدٍ مِنَ الْأُمَمِ كُلِّهَا – قَدِيْمِهِمْ وَحَدِيْثِهِمْ – إِسْنَادٌ، وَإِنَّمَا هِيَ صُحُفٌ فِي أَيْدِيْهِمْ، وَقَدْ خَلَطُوا بِكُتُبِهِمْ أَخْبَارَهُم…
Sesungguhnya Allah memuliakan dan memberikan kelebihan kepada umat ini dengan adanya isnad. Tidaklah ada isnad itu pada umat yang lain seluruhnya. Yang ada hanyalah lembaran-lembaran di tangan mereka yang kadang tercampur antara isi kitab mereka dengan khabar-khabar mereka
(Syarafu Ash-haabil Hadits karya al-Khothib al-Baghdadiy (1/86))
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan:
الْإِسْنَادُ مِنْ خَصَائِصِ هَذِهِ الْأُمَّةِ، وَهُوَ مِنْ خَصَائِصِ الْإِسْلَامِ، ثُمَّ هُوَ فِي الْإِسْلَامِ مِنْ خَصَائِصِ أَهْلِ السُّنَّةِ
Isnad (sanad) adalah termasuk kekhususan umat ini. Itu adalah ciri khas Islam. Kemudian, di dalam Islam termasuk kekhususan Ahlus Sunnah
(Minhajus Sunnah (7/37))
Abdullah bin al-Mubarok rahimahullah berkata:
الْإِسْنَادُ مِنَ الدِّينِ وَلَوْلَا الْإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ
Isnad adalah bagian dari agama (Islam). Kalaulah tidak ada isnad, niscaya orang akan bebas berbicara apa yang dia inginkan
(riwayat Muslim dalam Muqoddimah Shahih Muslim)
Jika tidak ada sanad atau isnad dalam riwayat, setiap orang akan bebas menukil ucapan seakan-akan sabda Nabi, ucapan Sahabat, atau ucapan seorang Ulama, padahal mereka tidaklah mengucapkan hal itu.
Dikutip dari:
Buku ISLAM RAHMATAN LIL ‘ALAMIN(Menebarkan Kasih Sayang dalam Bimbingan al-Quran dan Sunnah), Abu Utsman Kharisman