Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Ucapan al-Imam anNawawiy

Al-Imam anNawawiy rahimahullah menyatakan:

وعلى كل حال فإن الأئمة لا يروون عن الضعفاء شيئا يحتجون به على انفراده فى الاحكام فإن هذا شيء لا يفعله امام من أئمة المحدثين ولا محقق من غيرهم من العلماء وأما فعل كثيرين من الفقهاء أو أكثرهم ذلك واعتمادهم عليه فليس بصواب بل قبيح جدا وذلك لأنه ان كان يعرف ضعفه لم يحل له أن يحتج به فانهم متفقون على أنه لا يحتج بالضعيف فى الاحكام وان كان لا يعرف ضعفه لم يحل له أن يهجم على الاحتجاج به من غير بحث عليه بالتفتيش عنه ان كان عارفا أو بسؤال أهل العلم به ان لم يكن عارفا والله أعلم

Intinya, para Imam sedikitpun tidaklah meriwayatkan (hadits) dari para Dhuafaa’ (orang-orang yang lemah) yang berhujjah dengan hadits itu sendiri (tanpa ada penguat, pent) dalam permasalahan hukum-hukum. Karena hal ini tidak pernah dilakukan oleh para Imam Ahlul Hadits atau para Ulama lain dari kalangan Muhaqqiqin (para peneliti).

Sedangkan perbuatan kebanyakan para fuqahaa’ (Ahli Fiqh) yang bersandar dengan hadits lemah maka ini tidak benar, bahkan itu buruk sekali. Karena jika mereka sudah mengetahui kelemahan hadits itu tidak halal baginya untuk berhujjah dengannya. Mereka telah sepakat bahwa tidak boleh berhujjah dengan hadits dhaif dalam permasalahan hukum. Jika dia tidak mengetahui kelemahannya, tidak halal baginya segera berhujjah dengan hadits itu sebelum ia kaji dan memeriksanya jika memang ia memiliki kemampuan dalam hal itu, atau ia harus bertanya kepada orang yang berilmu tentang hal itu (dalam masalah hadits, pent) kalau ia tidak mengetahuinya. Wallaahu A’lam.

(Syarh Shahih Muslim lin Nawawiy (1/126))

Kesimpulan dan faidah yang bisa diambil dari ucapan al-Imam anNawawiy rahimahullah ini adalah:

Pertama: Para Ulama Ahlul Hadits sepakat bahwa hadits lemah tidak boleh diamalkan dalam permasalahan hukum.

Kedua: Tidak setiap ahli fiqh ia paham dengan hadits, sehingga al-Imam anNawawiy menganjurkan jika seorang Ulama fiqh tidak yakin dengan kelemahan suatu hadits dan ia tidak memiliki ilmu dalam menelitinya, seharusnya ia bertanya kepada Ulama Ahlul Hadits.

Berikut ini adalah ucapan al-Imam anNawawiy rahimahullah dalam al-Adzkaar tentang bolehnya beramal dengan hadits lemah dalam masalah Fadhaail (keutamaan), Targhib (motivasi melakukan suatu amalan), Tarhiib (ancaman keras untuk tidak melakukan suatu amalan):

قال العلماء من المحدثين والفقهاء وغيرهم : يجوز ويستحب العمل في الفضائل والترغيب والترهيب بالحديث الضعيف ما لم يكن موضوعا. وأما الأحكام كالحلال والحرام والبيع والنكاح والطلاق وغير ذلك فلا يعمل فيها إلا بالحديث الصحيح أو الحسن إلا أن يكون في احتياط في شئ من ذلك ، كما إذا ورد حديث ضعيف بكراهة بعض البيوع أو الأنكحة ، فإن المستحب أن يتنزه عنه ولكن لا يجب

Para Ulama Ahlul hadits dan ahli fiqh dan selain mereka berkata: boleh dan disukai beramal dalam masalah fadhail, targhib, dan tarhib dengan hadits lemah selama tidak maudhu’ (palsu). Sedangkan (penetapan) hukum-hukum seperti halal dan haram, jual beli, pernikahan, tholaq, dan yang selain itu, tidaklah boleh beramal kecuali dengan hadits shahih atau hasan kecuali dalam rangka berhati-hati terhadap suatu permasalahan. Seperti jika ada hadits dhaif tentang dibencinya sebagian jual beli atau pernikahan, sebaiknya menghindar darinya namun itu tidaklah wajib (al-Adzkaar lin Nawawiy (1/8))

Syarat Beramal dengan Hadits Lemah

Lebih detail lagi, kita akan lihat syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi seseorang yang akan beramal dengan hadits lemah:

al-Imam as-Sakhowiy as-Syaafi’i –salah seorang murid alHafidz Ibnu Hajar al-Asqolaaniy- rahimahullah menyatakan:

وقد سمعت شيخنا [يعني الحافظ ابن حجر] مراراً يقول –وكتبه لي بخطه – : إن شرائط العمل بالضعيف ثلاثة : الأول: متفق عليه، ان يكون الضعف غير شديد فيخرج [حديث] من انفرد من الكذابين والمتهمين بالكذب ومن فحش غلطه. الثاني: ان يكون مندرجا تحت أصل عام، فيخرج ما يخترع بحيث لا يكون له أصل أصلا. الثالث: ان لا يعتقد عند العمل به ثبوته لئلا ينسب الى النبي صلى الله عليه وسلم ما لم يقله.

Sungguh aku telah mendengar dari guruku –yaitu alHafidz Ibn Hajar- berkali-kali berkata – beliau juga menuliskannya dengan tulisan tangannya sendiri untukku- : Sesungguhnya syarat beramal dengan hadits dhaif (lemah) ada 3:

Syarat Pertama: ini disepakati oleh para Ulama, bukanlah hadits yang sangat lemah. Sehingga tidak bisa diamalkan hadits yang dalam sanadnya ada perawi yang pendusta, atau tertuduh berdusta, atau yang sangat banyak kesalahannya (dalam meriwayatkan)

Syarat Kedua: hadits yang masuk di bawah pokok (dalil) yang umum. Sehingga tidak masuk dalam syarat ini sesuatu yang diada-adakan karena ia tidak memiliki asal sama sekali

Syarat Ketiga: Ketika mengamalkannya, tidak boleh berkeyakinan bahwa hadits itu tsabit (benar-benar berasal dari Nabi) supaya ia tidak menisbatkan kepada Nabi shollallahu alaihi wasallam sesuatu yang sama sekali tidak beliau ucapkan.

(al-Qoulul Badii’ fis sholaati ‘alal Habiibisy Syaafi’ karya as-Sakhowiy halaman 195)

Ini adalah pendapat sebagian Ulama yang membolehkan beramal dengan hadits-hadits lemah namun dengan syarat-syarat yang ketat.

Hal yang sangat disayangkan ketika ada orang yang berhujjah dengan hadits-hadits lemah tapi tidak memperhatikan syarat-syarat yang disebutkan Ulama tersebut. Ada yang mati-matian berhujjah dengan hadits yang palsu dan sangat lemah untuk menunjukkan bahwa ayah dan ibu Nabi meninggal dalam keadaan beriman, padahal itu jelas-jelas bertentangan dengan hadits yang jelas shahih dalam riwayat Muslim dan Ahmad.

Ada juga yang berhujjah dengan keutamaan melakukan sholat tarawih: barangsiapa mengerjakan tarawih pada malam ke sekian, ia akan mendapat pahala ini dan itu… Padahal haditsnya bukan saja palsu tapi tidak ada asalnya (hanya disebutkan diriwayatkan dari Ali namun tidak ada sanadnya).

Ulama yang Berpendapat Bahwa Hadits Lemah Tidak Bisa Diamalkan Secara Mutlak

Selain itu, ada juga sebagian Ulama yang berpendapat tidak bolehnya berhujjah dengan hadits lemah secara mutlak, di antaranya adalah al-Imam Muslim sebagaimana beliau jelaskan dalam Muqoddimah Shahih Muslim:

فَإِذَا كَانَ الرَّاوِي لَهَا لَيْسَ بِمَعْدِنٍ لِلصِّدْقِ وَالْأَمَانَةِ ثُمَّ أَقْدَمَ عَلَى الرِّوَايَةِ عَنْهُ مَنْ قَدْ عَرَفَهُ وَلَمْ يُبَيِّنْ مَا فِيهِ لِغَيْرِهِ مِمَّنْ جَهِلَ مَعْرِفَتَهُ كَانَ آثِمًا بِفِعْلِهِ ذَلِكَ غَاشًّا لِعَوَامِّ الْمُسْلِمِينَ إِذْ لَا يُؤْمَنُ عَلَى بَعْضِ مَنْ سَمِعَ تِلْكَ الْأَخْبَارَ أَنْ يَسْتَعْمِلَهَا أَوْ يَسْتَعْمِلَ بَعْضَهَا وَلَعَلَّهَا أَوْ أَكْثَرَهَا أَكَاذِيبُ لَا أَصْلَ لَهَا

Jika seorang perawi bukanlah orang yang jujur dan amanah kemudian seseorang mengambil riwayat darinya padahal ia telah mengetahui keadaan tentangnya dan tidak menjelaskan hal itu kepada orang lain yang tidak mengetahui keadaannya, maka orang itu berdosa dan telah menipu kaum muslimin secara umum. Karena tidaklah aman bahwa orang yang mendengar hadits itu (dari perawi yang demikian) akan mengamalkannya atau mengamalkan sebagiannya padahal mungkin saja hadits itu atau kebanyakannya adalah dusta dan tidak ada asalnya (Muqoddimah Shahih Muslim (1/78))

Ibnu Rajab al-Hanbaliy rahimahullah menyatakan:

وظاهر ما ذكره مسلم في مقدمة كتابه يقتضي أنه لا تروى أحاديث الترغيب والترهيب إلا عمن تروى عنه الأحكام

Hal yang nampak dari dzhahir ucapan yang disebutkan Muslim dalam Muqoddimah kitabnya menunjukkan bahwa tidaklah diriwayatkan hadits-hadits atTarghib dan atTarhiib kecuali dari para perawi (terpercaya) yang dari merekalah diriwayatkan (hadits-hadits) hukum (syarh ‘Ilal atTirmidzi karya Ibnu Rajab (1/126))

Wallaahu A’lam

 

Ditulis oleh:
Abu Utsman Kharisman

Tinggalkan Balasan