Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Sebagian saudara kita ada yang mengira bahwa berziarah ke makam orangtua dan mengirim doa untuk mereka yang oleh sebagian daerah dikenal dengan istilah “kirim dongo poso” adalah kebiasaan baik menjelang Ramadhan yang perlu dilestarikan.

Di antara yang dijadikan acuan mereka adalah sebuah riwayat yang mengabarkan bahwa ketika menguburkan Fatimah binti Asad, ibu dari sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhuma, Rasulullah shollallahu alaihi wasallam berdoa:

اَللَّهُمَّ بٍحَقٍّيْ وَحَقِّ الأنْبٍيَاءِ مِنْ قَبْلِيْ اغْفِرْ لأُمِّيْ بَعْدَ أُمِّيْ

“Ya Allah dengan hakku dan hak-hak para Nabi sebelumku, ampunilah dosa ‘ibuku’ setelah Engkau ampuni ibu kandungku.” (HR.Thabaroni, Abu Naim, dan al-Haitsami dan lain-lain).

Sebenarnya para ulama telah menjelaskan kedudukan sanad hadits dimaksud dan semisalnya yang justru sering didengungkan oleh kaum sufi, ibadhiyyah bahkan syiah.

Contohnya Ath Thobaroni rahimahullah sendiri dalam Al Mu’jamul Awsath lalu menyatakan:

تفرد به روح بن صلاح

“(Perawi) Rauh bin Sholah menyendiri (dalam meriwayatkan ini).”

Begitu pula Abu Nu’aim rahimahullah pun ketika menukil dalam Hilyatul Awliya’ beliau telah mengingatkan:

لم نكتبه إلا من حديث روح بن صلاح تفرد به

“Kami tidak mencatatnya kecuali hanya dari hadits Rauh bin Sholah yang dia menyendiri tentang hal ini.”

Apalagi jika kita perhatikan bagaimana para ulama ahli hadits telah menjarh (memperingatkan dari cacat) perawi ini. Seperti penilaian Al Hafidz ibnu Hajar dalam Al Mizan;

ذكره ابن يونس في تاريخ الغرباء فقال: رويت عنه مناكير

“Ibnu Yunus (Abu Sa’id Al Mishri) telah menyinggungnya dalam Tarikh Al Ghurba’ seraya menyatakan: [telah diriwayatkan darinya sekian banyak riwayat mungkar].”

Senada dengan itu penilaian Ad Daruquthni rahimahullah yang tegas menyebut bahwa Rauh bin Sholah yang dimaksudkan adalah “lemah dalam periwayatan hadits.”


Artikel lain yang semoga bermanfaat:


Jadi kita menjadi paham bahwa riwayat di atas adalah lemah, sehingga tidak bisa dijadikan rujukan. Walaupun Al Hakim rahimahullah menilainya tsiqoh, karena beliau tidak menyebutkan rincian penilaian positif (ta’dil)nya, sementara penilaian negatif (jarh) jelas disebutkan ulama lainnya yang dikenal lebih adil dalam menilai rawi. Sekaligus terdapat kemungkaran padanya, ketika ditetapkan ampunan Allah bagi ibunda Nabi shollallahu alaihi wasallam, di mana dalam tarikh Islam yang sahih tidak disebutkan keislamannya.

Ziarah kubur tak diragukan memang disyariatkan. Justru karena kegiatan ini masuk jenis ibadah, sangat diperlukan bimbingan rambu-rambu syariat Islam ketika hendak menjalaninya. Termasuk apakah diperbolehkan mengkhususkan waktu-waktu tertentu secara berulang sehingga menjadi kebiasaan? Rujukannya tentulah bukan adat ataupun yang diistilahkan sebagai kearifan lokal, namun mestinya merujuk kepada Al Quran dan Sunnah Nabi yang dipahami para Sahabat yang kemudian diikuti oleh para Ulama Ahlussunnah.

Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah rahimahullah mengingatkan ketika beliau menyebutkan jenis-jenis tawassul beserta hukumnya:

“Adapun (jenis yang ke-3) dengan seseorang mengatakan:

اﻟﻠﻬﻢ ﺑﺠﺎﻩ ﻓﻼﻥ ﻋﻨﺪﻙ، ﺃﻭ ﺑﺒﺮﻛﺔ ﻓﻼﻥ، ﺃﻭ ﺑﺤﺮﻣﺔ ﻓﻼﻥ ﻋﻨﺪﻙ: اﻓﻌﻞ ﺑﻲ ﻛﺬا، ﻭﻛﺬا

Ya Allah, (aku bertawassul) dengan kedudukan si-Fulan di sisi-Mu, atau dengan barokah si-Fulan, atau kehormatan si-Fulan di sisi-Mu: penuhilah bagiku hal demikian dan demikian! yang seperti ini memang dilakukan banyak orang.

Akan tetapi tidaklah ternukil dari satupun para sahabat, atau tabi’in ataupun generasi lain dari pendahulu ummat ini bahwa mereka bermunajat dengan doa semisal itu. Bahkan belum pernah sampai kepada saya (dalil) yang dihikayatkan seorang ulamapun tentang hal itu.”

Lalu beliau menyebutkan 1 hikayat perkecualian dari seorang tokoh yang kemudian beliau bantah kesalahannya berhujjah. Lihat rincian penjelasannya dalam karya Syaikhul Islam “Ziyaratul Qubur wal Istinjad bil Maqbur” halaman 38.

Jadi alasan sebagian saudara kita yang mengira kebiasaan ziaroh baik mengkhususkan waktunya menjelang Ramadhan ataupun dalam upaya bertawassul karena kedudukan orang tua bisa diqiyaskan dengan bolehnya bertawassul dengan kedudukan Rasulullah shollallahu alaihi wasallam, tidak dapat dibenarkan.

والعلم عند الله وهو مولانا ونعم النصير

?️ Penulis:
Abu Abdirrohman Sofian

Tinggalkan Balasan