Hadits tentang Menjilat Jari dan Piring Setelah Makan
PERTANYAAN:
Bismillah, Ustadz, idzin bertanya:
Bagaimana keshahihan hadist berikut, apakah bisa diamalkan dan disampaikan….
Mafhumnya:
- Dari Ibnu Abbas, jika selesai makan jangan mengusap jari sebelum menjilatinya, atau menjilatkan kepada orang lain seperti kepada anaknya dan muridnya
- Dari Jabir, Rasulullah shollallahu alaihi wasallam menyuruh menjilati jari-jari dan piring karena tidak tahu di mana letaknya keberkahan.
Jazakalloh…
JAWABAN:
Alhamdulillah, wassholaatu wassalaamu ‘alaa Rosulillah…
Berikut penjelasan terhadap 2 hadits yang ditanyakan:
Hadits Pertama
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلَا يَمْسَحْ يَدَهُ حَتَّى يَلْعَقَهَا أَوْ يُلْعِقَهَا
Dari Ibnu Abbas –radhiyallahu anhuma- bahwa Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda: Jika salah seorang dari kalian makan, janganlah mengusap tangannya hingga ia (sendiri) menjilati tangannya atau (orang lain) yang menjilatinya
(Muttafaqun alaih)
Hadits ini sangat shahih, disebut Muttafaqun alaih karena diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Sahabat yang sama dengan lafadz yang sama atau berdekatan.
Hadits ini diperjelas dengan lafadz yang lain bahwa maksud jangan mengusap tangan artinya jangan mengusap tangan yang terkena makanan itu dengan sapu tangan (atau tissue) hingga kita menjilatinya terlebih dahulu atau orang lain yang menjilati tangan kita. Hal ini dikarenakan kita tidak mengetahui di bagian mana pada makanan itu yang mengandung keberkahan.
Sebagaimana dalam lafadz riwayat Muslim dari Jabir:
وَلَا يَمْسَحْ يَدَهُ بِالْمِنْدِيلِ حَتَّى يَلْعَقَ أَصَابِعَهُ فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي فِي أَيِّ طَعَامِهِ الْبَرَكَةُ
Dan janganlah ia mengusap tangannya dengan sapu tangan hingga ia menjilat jarinya. Karena ia tidak mengetahui pada bagian makanannya mana yang mengandung keberkahan (H.R Muslim)
Juga diperjelas dalam lafadz hadits riwayat Abu Dawud bahwa janganlah mengusap tangan dengan sapu tangan hingga menjilati terlebih dahulu:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلَا يَمْسَحَنَّ يَدَهُ بِالْمِنْدِيلِ حَتَّى يَلْعَقَهَا أَوْ يُلْعِقَهَا
Dari Ibnu Abbas –radhiyallahu anhuma- beliau berkata: Rasulullah shollalahu alaihi wasallam bersabda: Jika salah seorang dari kalian makan, janganlah mengusap tangannya dengan sapu tangan hingga ia menjilatinya atau (orang lain) menjilatinya (H.R Abu Dawud, dishahihkan al-Albany)
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan:
Semestinya bagi manusia jika selesai makan menjilat jari jemarinya sebelum mengusapnya dengan sapu tangan sebagaimana diperintahkan oleh Nabi shollallahu alaihi wasallam. Ia sendiri bisa menjilatinya atau orang lain yang menjilatinya. Seseorang menjilati sendiri jari jemarinya, ini adalah perkara yang jelas. Sedangkan jarinya dijilat oleh orang lain, ini juga hal yang memungkinkan. (Contohnya) jika suami istri sangat mencintai satu sama lain sangat mudah bagi suami menjilat jari istri dan istri menjilat jari suami. Ini memungkinkan (untuk dilakukan).
Sebagian manusia berkata: Sesungguhnya ini tidak mungkin diucapkan Nabi shollallahu alaihi wasallam, karena bagaimana mungkin seseorang menjilat jari orang lain? Kita katakan: Sesungguhnya Nabi shollallahu alaihi wasallam tidaklah mengucapkan kecuali ucapan yang haq. Tidak mungkin beliau mengucapkan sesuatu yang tidak mungkin (dilakukan manusia). Perkaranya dalam hal ini sangat mungkin dilakukan.
Demikian juga anak-anak yang masih kecil, kadangkala seseorang mencintai anak-anak itu kemudian menjilati jari jemari mereka setelah makan. Ini adalah sesuatu yang memungkinkan. Sunnahnya adalah engkau menjilati jarimu sendiri atau orang lain yang menjilatinya. Perkaranya dalam hal ini –Alhamdulilah – ada kelapangan (untuk memilih). Rasul shollallahu alaihi wasallam tidak (hanya) mengatakan: “Harus orang lain yang menjilati jarinya”, hingga kemudian kita katakan: Ini adalah pemaksaan terhadap manusia dalam hal yang menyulitkan mereka. (Tidak demikian). Silakan anda menjilati (jemari anda sendiri) atau orang lain yang menjilatinya.
Dan Nabi alaihissholaatu wassalaam bersabda: Sesungguhnya kalian tidak mengetahui pada bagian makanan yang mana ada keberkahan. Kadangkala keberkahan dan manfaat yang banyak terdapat pada bagian jari yang dijilat tersebut.
Sebagian manusia menceritakan kepada saya dari para dokter bahwa jari jemari –dengan idzin Allah- mengeluarkan enzim ketika makan yang membantu makanan dicerna pencernaan. Ini termasuk hikmah. Namun kita melakukannya karena Sunnah.Kalau memang ada manfaat yang baik ini kita bisa mendapatkannya, kalaupun tidak ada, kita tidak peduli. Yang penting kita menjalankan perintah Nabi alaihissholaatu wassalaam
(Syarh Riyaadis Shoolihiin libni Utsaimin (2/416)).
Hadits kedua:
عَنْ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِلَعْقِ الْأَصَابِعِ وَالصَّحْفَةِ وَقَالَ إِنَّكُمْ لَا تَدْرُونَ فِي أَيِّهِ الْبَرَكَةُ
Dari Jabir –radhiyallahu anhuma- bahwa Nabi shollallahu alaihi wasallam memerintahkan untuk menjilat jari jemari dan piring. Dan beliau bersabda: Sesungguhnya kalian tidak mengetahui pada bagian mana yang mengandung keberkahan
(H.R Muslim)
Hadits ini shahih karena disebutkan dalam Shahih Muslim.
Berikut penjelasan salah seorang Ulama, yaitu Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullah:
Semestinya manusia menjilat piring, periuk, atau mangkok yang terdapat makanan padanya. Jika engkau selesai (makan), jilatlah tepinya sebagaimana Nabi alaihissholaatu wassalaam memerintahkannya karena engkau tidak mengetahui pada bagian makanan mana yang mengandung keberkahan.
Hal yang disayangkan bahwa manusia berpisah dari makanan tanpa menjalankan sunnah ini. Maka engkau dapati pinggir mangkok/ bejana masih terdapat makanan. Penyebab ini adalah ketidaktahuan terhadap sunnah. Kalau seandainya para penuntut ilmu jika makan bersama orang awam mengarahkan mereka pada sunnah ini dan sunnah yang lain terkait makanan dan minuman, niscaya akan tersebar sunnah-sunnah ini. Akan tetapi kita meminta kepada Allah agar memaafkan kita. Kita banyak melewatkan ini dan meremehkan permasalahan ini. Ini menyelisihi sikap dakwah terhadap al-haq.
(Syarh Riyaadis Shoolihin libni Utsaimin (2/416))
Wallaahu A’lam bisshowaab…
Dijawab oleh:
Abu Utsman Kharisman
Sumber artikel:
WA Al I’tishom