Hadits Abu Ayyub Tentang Shalatlah Seperti Shalat Perpisahan

إِذَا قُمْتَ فِي صَلَاتِكَ فَصَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ، وَلَا تَكَلَّمْ بِكَلَامٍ تَعْتَذِرُ مِنْهُ، وَأَجْمِعِ الْيَأْسَ عَمَّا فِي أَيْدِي النَّاسِ
Jika engkau bangkit di dalam shalatmu, shalatlah sebagaimana shalat perpisahan. Janganlah berbicara dengan ucapan yang membuat engkau akan meminta maaf akan hal itu. Kumpulkanlah keputusasaan terhadap apa yang ada di tangan manusia (H.R Ibnu Majah dan Ahmad dari Abu Ayyub, dihasankan oleh Syaikh al-Albaniy)
Telaah Keabsahan Riwayat Hadits
Dari sisi riwayat, hadits dengan jalur dari Abu Ayyub ini memang memiliki sisi kelemahan. Di antaranya adalah adanya perawi yang majhul (tidak dikenal) yaitu Utsman bin Jubair. Namun, riwayat ini diperkuat oleh beberapa jalur periwayatan yang lain, di antaranya: dari Saad bin Abi Waqqash riwayat al-Hakim dan dari Ibnu Umar riwayat adh-Dhiyaa’ al-Maqdisiy. Demikian juga jalur dari Saad bin Umaroh riwayat atThobaroniy yang dinilai para perawinya terpercaya oleh al-Haitsamiy.
Sehingga banyak para Ulama yang menilai bahwa hadits ini sah, di antaranya adalah al-Hakim, adz-Dzahabiy, dan Syaikh al-Albaniy. Ibnu Hajar mengisyaratkan akan keshahihannya dalam Ithaaful Khiyaroh. Al-Iraqiy pun demikian dalam Takhrij Hadits al-Ihyaa’. As-Suyuthiy pun menshahihkannya dalam al-Jami’us Shaghir. Al-Munawiy menilai sanadnya hasan dalam atTaisiir bi Syarhil Jami’ish Shoghir. Demikian juga Sahl bin Abdillah atTustariy berdalil dengan hadits tersebut dalam tafsirnya.
Penjelasan Makna Hadits
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’diy rahimahullah menjelaskan:
Ini adalah 3 wasiat yang begitu indah. Apabila seorang hamba berpegang dengan wasiat ini, akan sempurna perkaranya dan dia akan beruntung.
Wasiat pertama mengandung penyempurnaan shalat, bersungguh-sungguh untuk melaksanakan shalat dalam keadaan yang terbaik. Hendaknya ia selalu memeriksa dirinya pada pelaksanaan setiap shalat, berusaha menyempurnakan sisi rukunnya, kewajiban, maupun sunnah-sunnahnya dan berusaha mencapai tingkatan ihsan yang merupakan level (penghambaan) tertinggi. Ia tegakkan shalat itu dengan merasakan bahwasanya ia berdiri di hadapan Rabbnya, bermunajat kepada-Nya dalam setiap ucapan dia, baik qiroah (alQuran), dzikir, dan doa. Merendahkan diri kepada-Nya baik dalam posisi berdiri, ruku’, sujud, saat turun maupun naik (badannya). Hal yang membantu ia mencapai maksud yang mulia ini adalah dengan membiasakan dirinya akan hal itu tanpa kembimbangan dan perasaan malas dari hatinya. Ia hendaknya merasakan dalam setiap shalat yang dikerjakannya bahwa itu adalah shalat perpisahan, seakan-akan ia tidak akan pernah shalat lain lagi (setelahnya). Orang yang akan berpisah tentu akan benar-benar bersungguh-sungguh berupaya semaksimal mungkin (melakukan amal terbaik, pen). Ia terus merasakan sisi yang bermanfaat dan menempuh sebab-sebab yang kuat hingga memudahkan perkara itu dan terbiasa dengannya. Shalat yang seperti ini akan mencegah pelakunya dari segala perilaku yang rendah dan akan memotivasi dia untuk berakhlak indah, karena memberikan pengaruh pada dirinya berupa bertambahnya iman, menimbulkan cahaya dan kegembiraan pada hati, serta bersemangat dalam kebaikan.
Wasiat yang kedua: adalah menjaga lisan dan selalu mengawasinya. Karena penjagaan terhadap lisan adalah poros yang menentukan keberhasilan seseorang mengendalikan perkaranya. Apabila seorang berhasil menguasai lisannya, ia akan menguasai seluruh anggota tubuhnya. Namun, jika lisannya yang menguasai dia, tidak mampu ia jaga dari ucapan yang memudaratkan, maka itu bisa berdampak buruk dalam Dien dan urusan duniawinya. Jangan sampai ia berbicara dengan suatu ucapan kecuali ia telah mengetahui manfaat ucapan itu bagi Dien maupun urusan duniawinya. Setiap ucapan yang berpotensi menjadikan ia dikritik atau dimintai untuk minta maaf, hendaknya ia tinggalkan. Karena jika ia berbicara demikian, ucapan itu yang akan menguasai dia dan dia menjadi budak bagi ucapan tersebut. Bisa jadi akan terjadi kemudaratan pada dirinya yang ia tidak memungkinkan untuk mengejar dan memperbaikinya.
Adapun wasiat yang ketiga adalah membiasakan jiwa untuk bergantung kepada Allah semata dalam perkara kehidupan dunia maupun akhiratnya. Janganlah meminta kecuali kepada Allah. Janganlah berharap melainkan karunia-Nya. Membiasakan jiwanya untuk berputus asa (tidak berharap/tamak) terhadap apa yang berada di tangan manusia. Karena keputusasaan dalam hal itu adalah penjagaan (bagi dirinya). Barang siapa yang berputus asa dari sesuatu, ia akan tidak butuh dengannya. Sebagaimana ia tidak pernah meminta dengan lisannya kecuali kepada Allah. Janganlah pula menggantungkan hatinya kecuali kepada Allah. Sehingga ia menjadi hamba Allah yang hakiki. Selamat dari penghambaan terhadap makhluk. Ia bebaskan dirinya dari perbudakan terhadap mereka, sehingga ia mendapatkan kehormatan dan kemuliaan. Karena orang yang bergantung kepada makhluk akan memperoleh kehinaan dan kejatuhan sesuai kadar seberapa besar kebergantungan dia kepada mereka. Wallaahu A’lam.
(Bahjatu Qulubil Abroor wa Qurrotu ‘Uyunil Akhyaar fi Syarhi Jawaami’il Akhbaar 1/150-151)
Penulis: Abu Utsman Kharisman