Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Matan Mandzhumah al-Baiquniyyah:

٥ – وَالْحَسَنُ الْمَعْرُوفُ طُرْقاً وَغَدَتْ … رِجَالُهُ لاَ كَالصَّحِيحِ اشْتَهَرَتْ

Dan (hadits) hasan adalah yang dikenal jalur periwayatannya dan masyhur…(namun) para perawinya tidak seperti (dalam hadits) shahih (dalam kekokohan)


Penjelasan:

Persyaratan hadits hasan sama dengan hadits shahih, kecuali dalam satu hal yaitu status kekokohan perawi (dhobth) dalam meriwayatkan. Kekokohan perawinya dalam mata rantai sanad berada di bawah hadits shahih, namun masih bisa diterima. Status perawi hasan setidaknya ada satu perawi yang dalam kategori di bawah tsiqoh, seperti shoduq, Laa ba’sa bihi, hasanul hadits, dan semisalnya.

 

Pembagian Hadits Berdasarkan Diterima Atau Ditolak

Hadits yang bisa diterima: diamalkan dan diyakini adalah hadits yang shahih atau hasan. Tingkatan hadits shahih berada di atas hadits hasan.

Sedangkan hadits yang tidak bisa diterima dan tidak bisa dijadikan sebagai hujjah adalah hadits yang lemah (dhaif), palsu (maudhu’), maupun Laa Ashla Lahu (tidak ada asalnya atau tidak memiliki sanad riwayat).

 

Pembagian Hadits Shahih dan Hasan

Hadits shahih terbagi menjadi:

1. Shahih li dzatihi: jalur riwayat tersebut memang shahih tanpa perlu adanya jalur penguat.

2. Shahih li ghoirihi: beberapa jalur riwayat yang hasan maupun ada yang lemah, namun jika digabungkan bisa saling menguatkan dan naik ke derajat shahih.

 

Sedangkan hadits hasan, terbagi menjadi:

1. Hasan li dzatihi: jalur riwayat tersebut memang hasan tanpa perlu adanya jalur penguat.

2. Hasan li ghoirihi: beberapa jalur riwayat yang dhaif (lemah), namun saling menguatkan sehingga naik ke derajat hasan. Hal ini jika kelemahannya ringan.

Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolaaniy rahimahullah menyatakan:

وخبر الآحاد بِنَقْلِ عَدْلٍ تَامِّ الضَّبْطِ ، مُتَّصِلَ السَّنَدِ ، غَيْرَ مُعَلَّلٍ وَلا شَاذٍّ ، هُوَ الصَّحِيحُ لِذَاتِهِ . وَتَتَفَاوَتُ رُتَبُهُ بِتَفَاوُتِ هَذِهِ الأوْصَافِ ، وَمِنْ ثَمَّ قُدِّمَ صَحِيحُ البُخَارِيِّ ، ثُمَّ مُسْلِمٌ ، ثُمَّ شُرُوطُهُمَا فَإِنْ خَفَّ الضَّبْطُ ، فَالْحَسَنُ لِذَاتِهِ ، وَبِكَثْرَةِ طُرُقِهِ يُصَحَّحُ

Khabar Aahad dengan penukilan dari (para perawi) yang adil dan sempurna kekokohan periwayatannya, sanadnya bersambung, tanpa illat dan tidak syadz, itu adalah shahih li dzatihi. Tingkatannya berbeda-beda sesuai perbedaan sifat-sifat ini. Atas dasar hal itu, (hadits-hadits) dalam Shahih al-Bukhari paling diutamakan, kemudian (Shahih) Muslim, kemudian yang sesuai syarat keduanya. Jika ringan kekokohan dalam periwayatan, maka itu adalah hasan li dzatihi. Jika jalur periwayatannya banyak, bisa menjadi shahih.

(Nukhbatul Fikar karya Ibnu Hajar al-Asqolaaniy)


Contoh Hadits Hasan

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ مُحَمَّدٍ يَعْنِي ابْنَ عَمْرٍو قَالَ حَدَّثَنِي ابْنُ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ أَبِي حُبَيْشٍ أَنَّهَا كَانَتْ تُسْتَحَاضُ فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ دَمُ الْحَيْضَةِ فَإِنَّهُ أَسْوَدُ يُعْرَفُ فَإِذَا كَانَ ذَلِكَ فَأَمْسِكِي عَنِ الصَّلَاةِ فَإِذَا كَانَ الْآخَرُ فَتَوَضَّئِي وَصَلِّي فَإِنَّمَا هُوَ عِرْقٌ

(Abu Dawud berkata) Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-Mutsannaa (ia berkata) telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abi Adiy dari Muhammad, yaitu bin ‘Amr ia berkata: telah menceritakan kepadaku Ibnu Syihab dari Urwah bin az-Zubair dari Fathimah bintu Abi Hubaisy bahwasanya ia mengalami istihadhah. Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda: “Darah haid itu kehitaman sudah dikenal. Jika darahnya seperti itu janganlah melakukan sholat. Jika ciri darahnya tidak seperti itu, berwudhu’lah dan sholatlah karena itu adalah urat (yang terluka)”.

(H.R Abu Dawud, dihasankan oleh Ibnul Arobiy dan dinyatakan sanadnya hasan oleh Syaikh al-Albaniy)

Seluruh perawi dalam riwayat hadits itu tsiqoh berada dalam standard perawi yang shahih, kecuali Muhammad bin ‘Amr (bin ‘Alqomah). Al-Imam adz-Dzahabiy menukil pendapat Ulama tentang dia:

وَقَالَ النَّسَائِي وَغَيْرُهُ لَيْسَ بِهِ بَأْس

AnNasaai dan Ulama lainnya menyatakan (tentang Muhammad bin ‘Amr): Ia tidak mengapa. (al-Kaasyif fii Ma’rifati Man Lahu Riwaayah fil Kutubis Sittah no perawi 5087 (2/207))

Artinya, level kekokohan perawi tersebut tidak berada dalam tingkatan shahih, tapi pada level hasan. Ia juga masih berada di atas level lemah (dhaif). Setidaknya cukup satu perawi berada di level hasan sedangkan yang lain berada di level shahih untuk membawa hadits itu pada derajat hasan.

Hadits hasan dalam contoh ini memenuhi semua kriteria hadits shahih: sanadnya bersambung, perawinya adil dan kokoh dalam periwayatan, tidak syadz, tidak memiliki illat qodihah. Namun, ada satu perawi yang level kekokohan periwayatannya di bawah level perawi-perawi shahih dan di atas level perawi-perawi yang lemah.

Dikutip dari naskah buku “Mudah Memahami Ilmu Mustholah Hadits (Syarh Mandzhumah al-Baiquniyyah)”, Abu Utsman Kharisman

Tinggalkan Balasan