Mengikuti Manhaj Salaf dalam Beragama
Pengertian Sederhana tentang Manhaj Salaf
Salaf secara bahasa maknanya adalah orang-orang yang mendahului kita. Sedangkan secara istilah adalah 3 generasi terbaik yang telah dijamin kebaikannya oleh Nabi shollallahu alaihi wasallam, yaitu para Sahabat Nabi, Tabiin, dan atbaaut Tabiin.
Seseorang yang mengikuti manhaj Salaf adalah orang yang berusaha memahami al-Quran dan Sunnah Nabi shollallahu alaihi wasallam dengan pemahaman para Ulama Salaf. Mereka mengikuti bimbingan para Ulama Salaf dalam menjalani ajaran Dien ini.
Bukan artinya mereka fanatik pada individu-individu Ulama Salaf tersebut, karena secara person tiap mereka (selain Nabi) tidaklah maksum (terjaga dari kesalahan). Namun, jika Ulama Salaf telah sepakat (ijma’) tentang suatu permasalahan Dien, maka ijma’ mereka itu tidak akan pernah salah. Karena umat Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam tidak akan pernah bersepakat dalam sebuah kesalahan/ kesesatan. Para Ulama Salafus Sholih adalah ‘al-Jamaah’ yang harus diikuti.
إِنَّ اللهَ تَعَالَى لاَ يَجْمَعُ أَمَّتِي عَلَى ضَلاَلَةٍ وَيَدُ اللهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ
Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah menggabungkan umatku di atas kesesatan. Dan Tangan Allah di atas al-Jamaah
H.R atThobarony dan lainnya dari Ibnu Umar, dishahihkan al-Hakim dalam al-Mustadrak dan al-Albany dalam Shahihul Jami’
Demikian juga jika ada perkataan dari seorang Ulama Salaf yang tidak bertentangan dengan dalil (al-Quran dan Sunnah) serta tidak diketahui adanya pengingkaran dari Ulama Salaf yang lain, maka ucapan itu bisa dijadikan sebagai rujukan.
Penggunaan Kata Salaf dalam Hadits, Ucapan Sahabat, atau Ulama Setelahnya
Rasulullah shollallahu alaihi wasallam pernah berkata kepada putrinya, Fatimah: “Aku adalah sebaik-baik salaf (pendahulu) bagimu…”
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda kepada Fatimah radhiyallahu anha:
فَاتَّقِي اللَّهَ وَاصْبِرِي فَإِنَّهُ نِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَكِ
…Bertaqwalah kepada Allah dan bersabarlah, karena sesungguhnya aku adalah salaf (pendahulu) terbaik bagimu…
H.R al-Bukhari dan Muslim
Sahabat Nabi Zaid bin ‘Arqom radhiyallahu anhu juga pernah menyebut istilah Salaf yang maksudnya adalah Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam beserta para Sahabat Nabi yang terdahulu. Beliau pernah melihat orang-orang melakukan sholat Dhuha di awal waktunya. Sedangkan beliau berpandangan bahwa mestinya waktu terbaik untuk melakukan sholat Dhuha bukanlah di awal waktu, namun menunggu saat ‘anak-anak unta mulai kepanasan’.
عَنْ زَيْد بْنِ أَرْقَمٍ أَنَّهُ رَأَى قَوْمًا يُصَلُّوْنَ بَعْدَ مَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ فَقَالَ لَوْ أَدْرَكَ هَؤُلَاءِ السَّلَف اْلأَوَّل عَلِمُوْا أَنَّ غَيْرَ هَذِهِ الصَّلاَةِ خَيْرٌ مِنْهَا صَلاَةُ الْأَوَّابِيْنَ إِذا رَمَضَتِ الْفِصَالُ
Dari Zaid bin Arqom bahwasanya beliau melihat suatu kaum yang sholat setelah terbitnya matahari. Kemudian beliau berkata: Kalau seandainya orang-orang ini mendapati Salaf yang pertama, niscaya mereka akan mengetahui bahwa selain di waktu ini lebih baik bagi mereka untuk mengerjakan sholat (Dhuha)nya. Sholat para Awwabiin (orang-orang yang senantiasa kembali kepada Allah) adalah pada saat anak unta kepanasan
riwayat Abdurrozzaq dalam Mushonnafnya, para perawinya seluruhnya adalah rijal al-Bukhari dan Muslim, hanya al-Qosim asy-Syaibany yang rijal Muslim saja
Al-Imam Malik (salah seorang atbaut Tabi’in) rahimahullah pernah menyebut kata Sholihus Salaf (Salaf yang sholeh/baik):
كَانَ صَالِحُ السَّلَفِ يُعَلِّمُوْنَ أَوْلَادَهُمْ حُبَّ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِي اللهُ عَنْهُمَا كَمَا تُعَلَّمُوْنَ السُّوْرَةُ أَوِ السُّنَّةُ
Dulu para Sholihus Salaf (pendahulu yang sholih) mengajarkan anak-anak mereka untuk mencintai Abu Bakr dan Umar radhiyallahu anhuma sebagaimana mereka diajari surat (alQuran) atau Sunnah
Musnad al-Muwattha’ karya Abul Qosim Abdurrohman bin Abdillah al-Jauhariy dan al-Laalikaa-i dalam syarh Ushul I’tiqod Ahlissunnah wal Jamaah
al-Imam asy-Syafii rahimahullah juga pernah menggunakan penyebutan kata Salaf sebagai rujukan untuk melihat apakah suatu amalan itu dibenci atau tidak. Beliau menyatakan dalam kitabnya al-Umm:
وَإِذَا كَانَ لِلْمَسْجِدِ إمَامٌ رَاتِبٌ فَفَاتَتْ رَجُلًا أَوْ رِجَالًا فِيْهِ الصَّلَاةُ صَلُّوا فُرَادَى وَلَا أُحِبُّ أَنْ يُصَلُّوا فِيْهِ جَمَاعَةً فَإِنْ فَعَلُوا أَجْزَأَتْهُمُ الْجَمَاعَةُ فيه وَإِنَّمَا كَرِهْتُ ذَلِكَ لَهُمْ لِأَنَّهُ لَيْسَ مِمَّا فَعَلَ السَّلَفُ قَبْلَنَا بَلْ قَدْ عَابَهُ بَعْضُهُمْ
…Jika di masjid itu ada Imam rowatib kemudian ada satu orang atau beberapa orang yang ketinggalan sholat, maka mereka sholat sendirian. Saya tidak suka jika mereka sholat berjamaah di masjid itu. Jikapun mereka mengerjakannya, hal itu telah mencukupinya dari (sholat) berjamaah. Saya hanya membenci hal itu bagi mereka karena hal itu tidak pernah dilakukan oleh Salaf sebelum kita. Bahkan sebagian mereka mencelanya…
al-Umm 1/154
Catatan penting: dari pernyataan beliau, ini nampak jelas bahwa sesungguhnya
al-Imam asy-Syafii adalah seorang yang bermanhaj Salaf. Beliau menjadikan Salaf sebagai patokan untuk menilai suatu amalan dalam Dien ini. Berdasarkan yang beliau ketahui, tidak ada seorang Salafpun yang melakukan sholat berjamaah di masjid setelah Imam rowatib telah menyelesaikan sholat berjamaah di masjid tersebut. Walaupun pendapat beliau ini perlu pembahasan lebih lanjut dalam kajian yang lain, namun kutipan pernyataan al-Imam asy-Syafii dalam kitab al-Umm tersebut jelas menunjukkan bahwa beliau yang sangat ‘alim ini adalah bermanhaj Salaf.
Abdullah bin al-Mubarok rahimahullah (seorang dari kalangan atbaut Tabi’in yang merupakan salah satu guru al-Imam al-Bukhari) juga pernah menggunakan kata ‘Salaf’ yang maksudnya adalah para Sahabat Nabi. Beliau pernah berkata:
عَنْ عَلِيِّ بْنَ شَقِيقٍ : سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الْمُبَارَكِ يَقُولُ عَلَى رُءُوسِ النَّاسِ دَعُوا حَدِيثَ عَمْرِو بْنِ ثَابِتٍ فَإِنَّهُ كَانَ يَسُبُّ السَّلَفَ
Dari Ali bin Syaqiiq beliau berkata: Saya mendengar Abdullah bin al-Mubarok pernah berkata di hadapan para manusia: Tinggalkanlah hadits dari perawi (yang bernama) ‘Amr bin Tsabit karena dia mencela Salaf
dinukil oleh Imam Muslim dalam Shahihnya
Perkataan “Saya mengikuti Manhaj Salaf” Bukanlah Kesombongan dan Berbangga Diri
Seorang yang mengatakan: “Saya seorang Salafy” atau “Saya adalah pengikut Manhaj Salaf” bukanlah artinya ia meninggikan dirinya dan mengklaim dialah yang paling benar dalam segalanya. Sesungguhnya pernyataan tersebut menunjukkan cita-cita dan harapannya ingin sebenar-benarnya mengikuti teladan para Salafus Sholih dengan sebaik-baiknya pada seluruh sendi Dien.
Sebagaimana seorang yang mengatakan: “Saya muslim”. Apakah orang yang mengatakan demikian telah mengklaim dirinya adalah orang yang telah menjalankan syariat Islam secara sempurna? Jelas tidak. Ia mengatakan demikian dengan pengakuan dalam hati akan kekurangan pada dirinya. Ia bercita-cita ingin menjadi muslim yang menjalankan syariat Islam dengan baik dan terus memperbaiki dirinya.
Sehingga, ketika seorang menyatakan: Saya adalah pengikut Salaf, seakan-akan ia berkata: “Mari bersatu dalam Islam ini dengan menjadikan Salaf sebagai panutan kita. Jika antum mengetahui ada ajaran Salaf yang belum saya ketahui, sampaikan pada saya, karena saya sangat ingin meneladani para Salafus Sholih itu dengan baik.
Namun, kami tegaskan bahwa jangan sekali-kali mengajak kami pada hal-hal yang sudah jelas bertentangan dengan manhaj Salaf, karena kami hanya mau mengikuti manhaj Salaf dalam Dien ini. Jangan mengajak kami pada berbagai bid’ah yang diada-adakan. Kamipun mengajak antum semua untuk mengikuti manhaj Salaf, karena sesungguhnya manhaj Salaf itu adalah Islam yang murni”.
Seorang pengikut manhaj Salaf yang haq tidak akan pernah mengklaim bahwa ia dan orang-orang yang sekarang bersamanya pasti akan masuk Jannah (Surga). Karena tidak ada yang tahu akhir kehidupan seseorang kecuali Allah.
Ia tidak akan pernah tahu apakah ia akan terus menjadi pengikut manhaj Salaf hingga akhir hayatnya atau justru berakhir menjadi pengikut hawa nafsu, wal iyaadzu billah. Ia juga tidak akan pernah tahu apakah rekan-rekan yang sekarang bersamanya, menuntut ilmu bersamanya, akan terus di atas manhaj Salaf hingga akhir hayatnya. Ia juga tidak akan pernah tahu apakah amal yang ia lakukan ini diterima oleh Allah, atau justru ia adalah orang yang munafik, mengaku mengikuti manhaj Salaf secara lahiriah, namun secara batin membencinya, wal iyaadzu billah. Ia tidak bisa menjamin apakah amalnya bersih dari riya’ atau tidak. Ia sendiri bahkan tidak bisa mengklaim bahwa satu saja amal ibadah yang telah ia lakukan sudah diterima oleh Allah atau tidak.
Ia hanya bisa memastikan secara umum bahwa siapapun saja yang mengikuti manhaj Salaf dengan baik hingga akhir hayatnya, pasti masuk Jannah (Surga), sebagaimana dalil-dalil yang sedemikian banyak menunjukkan demikian. Karena manhaj Salaf pada hakikatnya adalah Islam yang sebenarnya. Adapun untuk orang perseorangan atau individu, ia tidak berani menyatakan bahwa fulaan pasti masuk surga dan fulaan pasti masuk neraka, kecuali orang-orang tertentu yang telah dipastikan oleh Allah dan RasulNya pasti masuk Surga dan Neraka.
Ia hanya bisa selalu berdoa memohon hidayah kepada Allah dan dikokohkan di atas manhaj Salaf, dan diberi akhir kehidupan yang baik. Ia akan berusaha memilih rujukan dalam bacaan, ataupun mendengarkan kajian-kajian dari orang yang sudah jelas keilmuannya dalam manhaj Salaf berdasarkan rekomendasi dari orang-orang yang terpercaya. Ia akan selektif memilih sumber ilmu dalam Dien ini, sebagai bentuk penjagaan terhadap manhaj yang sangat berharga bagi dirinya.
Seorang pengikut manhaj Salaf akan selalu mengikuti dalil al-Quran dan as-Sunnah dengan pemahaman Ulama Salaf, dengan bimbingan para Ulama yang nyata-nyata bermanhaj Salaf yang masih hidup sejaman dengannya. Ia akan berusaha dan bersemangat menuntut ilmu yang shahih, berusaha mengamalkan, berusaha mendakwahkan sesuai kemampuannya, dan bersabar di atas manhaj yang haq ini.
Ia mencintai kebaikan untuk saudaranya sesama muslim sebagaimana ia suka kebaikan itu terjadi untuk dirinya. Karena itu ia bersemangat untuk mendakwahkan Ilmu Sunnah yang telah diketahuinya. Ia juga peringatkan saudaranya kaum muslimin dari bahaya kesyirikan, kebid’ahan, dan kemaksiatan karena cinta dan sayangnya pada kaum muslimin.
Kadang dalam mendakwahkan manhaj Salaf ini ia dicela dan bahkan dikafirkan oleh saudaranya sesama muslim, namun ia tidak akan membalas mengkafirkan saudaranya itu, selama memang ia masih muslim.
Dakwah Salaf adalah ajakan kepada Sunnah, sehingga pada dasarnya pengikut manhaj Salaf adalah Ahlussunnah. Dakwah Salaf bukanlah ajakan pada pribadi atau kelompok maupun golongan tertentu secara ashobiyyah (fanatik buta).
Telah disampaikan di atas bahwa penamaan ‘Salaf’ bukanlah penamaan yang mengada-ada, tapi sesungguhnya berasal dari ucapan Nabi, Sahabat beliau, dan para Ulama Ahlussunnah setelahnya.
Jika di masa Nabi, cukup seorang mengatakan: Saya muslim. Karena di masa itu hanya ada kafir dan muslim secara dhahir. Tidak ada kebid’ahan atau hal-hal baru yang diada-adakan di masa Nabi. Cukup seorang mengatakan : Saya muslim sebagai pembeda dengan orang-orang kafir.
Namun, saat mulai muncul kebid’ahan, maka para Sahabat mulai memberikan pembeda antara ajaran Islam yang murni dengan ajaran Islam yang sudah mulai terkontaminasi dengan kebid’ahan. Sebagaimana Ibnu Abbas memisahkan antara Ahlus Sunnah dengan Ahlul Bid’ah dalam salah satu penafsirannya.
Saat orang-orang mulai banyak yang senang memahami dalil al-Quran dan dalil Sunnah Nabi dengan pikirannya sendiri, atau pemikiran para tokoh-tokoh kelompoknya, atau thoriqoh yang dipilihnya, maka saat itulah perlu pembeda antara pengikut manhaj Salaf dengan yang bukan. Perlu pembeda antara orang-orang yang memunculkan hal-hal baru dalam Dien ini dengan orang-orang yang masih istiqomah tetap mengikuti ajaran Islam yang murni terdahulu.
Ditulis oleh: Abu Utsman Kharisman
Arsip tulisan lama, dengan sedikit penyesuaian, termasuk judul.
WA al I’tishom