Mencintai Para Sahabat Nabi
Mencintai Para Sahabat Nabi
Seorang muslim harus mencintai para Sahabat Nabi. Kecintaan kepada para Sahabat Nabi adalah salah satu bentuk ibadah kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’ala. Karena itu, kita wajib mencintai mereka karena Allah. Jangan sampai ada sedikitpun kebencian kita terhadap salah seorangpun dari para Sahabat Nabi. Setiap muslim haruslah meyakini bahwa mereka adalah para manusia pilihan yang terbaik setelah para Nabi. Mereka terpilih oleh Allah untuk dijadikan sebagai Sahabat Nabinya yang mendukung dan menguatkan perjuangannya dalam Islam.
Siapakah yang Masuk Kategori Sahabat Nabi?
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolaany menjelaskan tentang siapakah yang tergolong Sahabat Nabi:
Pendapat yang paling benar adalah bahwasanya Sahabat adalah orang yang pernah bertemu dengan Nabi dalam keadaan beriman dan meninggal dalam Islam. Termasuk dalam hal ini adalah orang yang bertemu dengan Nabi baik masa duduk bersama Nabi lama atau sebentar, yang meriwayatkan dari beliau atau tidak meriwayatkan, yang berperang bersama beliau atau tidak, atau yang pernah melihat beliau meski tidak duduk bersama beliau, atau yang terhalang tidak melihat beliau karena halangan, seperti buta (al-Ishobah fit Tamyiizis Shohaabah karya Ibnu Hajar (1/10))
Pendapat Ibnu Hajar ini diambil dari pendapat al-Bukhari dan gurunya, yaitu Imam Ahmad bin Hanbal.
Definisi itu memperjelas bahwa semua Sahabat Nabi bukanlah kaum munafikin, karena kaum munafikin tidaklah meninggal dalam keadaan Islam.
Hadits berikut ini juga memperjelas definisi Sahabat Nabi sekaligus keutamaan bagi para Sahabat Nabi, Tabiin (orang yang berguru pada Sahabat), dan Atbaut Tabi’in (berguru pada Tabi’in):
طُوْبَى لِمَنْ رَآنِي وَآمَنَ بِي وَطُوْبَى لِمَنْ رَأَى مَنْ رَآنِي وَلِمَنْ رَأَى مَنْ رَأَى مَنْ رَآنِي وَأَمَنَ بِي طُوْبَى لَهُمْ وَحُسْنَ مَآبٍ
Beruntunglah bagi orang melihatku dan beriman kepadaku, dan beruntunglah bagi orang yang melihat orang yang melihatku dan orang yang melihat orang yang melihat orang yang melihatku dan beriman kepadaku. Beruntung bagi mereka dan tempat kembali yang baik (H.R atThobarony dishahihkan Syaikh al-Albany dalam Shahihul Jami’)
لاَ تَزَالُونَ بِخَيْرٍ مَا دَامَ فِيكُمْ مَنْ رَآنِي وَصَاحَبَنِي , وَاللهِ لاَ تَزَالُونَ بِخَيْرٍ , مَا دَامَ فِيكُمْ مَنْ رَأَى مَنْ رَآنِي , وَصَاحَبَ مَنْ صَاحَبَنِي , وَاللهِ لاَ تَزَالُونَ بِخَيْرٍ , مَا دَامَ فِيكُمْ مَنْ رَأَى مَنْ رَأَى مَنْ رَآنِي , وَصَاحَبَ مَنْ صَاحَبَ مَنْ صَاحَبَنِي
Kalian senantiasa dalam kebaikan selama di antara kalian ada orang yang melihatku dan menjadi sahabatku. Demi Allah kalian senantiasa dalam kebaikan selama di antara kalian ada orang yang melihat orang yang melihatku dan menjadi Sahabat dari Sahabatku. Demi Allah, kalian senantiasa dalam kebaikan selama di antara kalian ada orang yang melihat orang yang melihat orang yang melihatku dan menjadi Sahabat dari Sahabat para Sahabatku (H.R Ibnu Abi Syaibah dan al-Hafidz Ibnu Hajar menyatakan sanadnya hasan dalam Fathul Bari).
Berapakah Jumlah Para Sahabat Nabi?
Ada sebagian Ulama’ yang menyebutkan jumlah para Sahabat Nabi, seperti Abu Zur’ah yang mengatakan bahwa jumlahnya 114 ribu. arRofi’i menyatakan 60 ribu. Namun, al-Imam as-Suyuthy menyatakan bahwa tidak mungkin ada yang bisa menghitung secara pasti jumlah para Sahabat Nabi.
Urut-urutan Keutamaan para Sahabat Nabi
Dari sisi keutamaan, para Sahabat Nabi memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Berikut ini adalah urut-urutan keutamaan mereka secara umum.
Kelompok Pertama: Para Sahabat yang masuk Islam di Makkah sebelum peristiwa baiat di Daarun Nadwah.
Kelompok Kedua: Para Sahabat Nabi yang berbaiat di Daarun Nadwah (tempat Nabi membawa Umar bin al-Khottob berkumpul bersama Sahabat Nabi yang lain saat Umar menyatakan keislamannya).
Kelompok Ketiga : Para Sahabat yang berhijrah ke Habasyah (sekarang Etiopia).
Kelompok Keempat: Para Sahabat yang ikut dalam Baiatul Aqobah pertama.
Kelompok Kelima: Para Sahabat yang ikut dalam Baiatul Aqobah kedua, mayoritasnya adalah kaum Anshar.
Kelompok Keenam: Kaum Muhajirin yang tiba berjumpa dengan Rasulullah shollallahu alaihi wasallam di Quba’ sebelum beliau masuk Madinah dan sebelum dibangun masjid.
Kelompok Ketujuh: Para Sahabat yang ikut dalam Perang Badr.
Kelompok Kedelapan: Para Sahabat yang berhijrah antara peristiwa perang Badr dengan Hudaibiyah.
Kelompok Kesembilan: Para Sahabat yang ikut dalam Baiatur Ridhwaan.
Kelompok Kesepuluh: Para Sahabat yang berhijrah antara peristiwa Hudaibiyah dengan Fathu Makkah seperti Khalid bin al-Walid, Amr bin al-Ash, dan Abu Hurairah.
Kelompok Kesebelas: Para Sahabat yang masuk Islam pada saat Fathu Makkah.
Kelompok Keduabelas: Para Sahabat yang masih kecil sejak peristiwa Fathu Makkah dan setelahnya.
(disarikan dari penjelasan al-Hakim dalam Ma’rifatu Uluumil Hadiits 1/64)).
Itu adalah urut-urutan pengelompokan keutamaan secara umum. Demikian juga, kaidah secara umum berdasarkan dalil ayat-ayat al-Quran menunjukkan bahwa para Sahabat yang masuk Islam lebih awal lebih utama dibandingkan dengan yang masuk Islam setelahnya. Para Muhajirin (orang yang berhijrah) secara umum lebih utama dari kaum Anshar. Orang yang berIslam sebelum Fathu Makkah lebih utama dibandingkan yang berIslam setelahnya. Namun, ini adalah kaidah-kaidah secara umum. Secara person/ individu, seorang yang masuk Islam belakangan ada yang lebih utama dibandingkan yang masuk Islam lebih dulu, seperti Umar bin al-Khottob yang lebih utama dibandingkan sebagian besar Sahabat Nabi yang masuk Islam lebih dulu. Demikian juga, bisa jadi ada sebagian Sahabat Anshar yang secara pribadi memiliki keutamaan yang lebih di sisi Allah dibandingkan sebagian Sahabat Muhajirin (disarikan dari penjelasan Syaikh Sholih bin Abdil Aziz Aalu Syaikh dalam transkrip ceramah Syarh al-Aqidah al-Washithiyyah 2/166)).
Secara person, para Sahabat yang paling utama adalah 10 orang Sahabat Nabi yang disebutkan masuk surga oleh Nabi dalam 1 hadits, yaitu:
- Para Khulafaur Rasyidin secara berurutan (Abu Bakr, kemudian Umar, kemudian Utsman, kemudian Ali bin Abi Tholib).
- Enam Sahabat yang tersisa, yang disebutkan dalam hadits itu, yaitu: Tholhah bin Ubaidillah, az-Zubair bin al-Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa’d bin al-Waqqosh, Said bin Zaid, Abu Ubaidah Ibnul Jarroh.
Penyebutan 10 Sahabat yang masuk surga dalam satu kalimat hadits, terdapat dalam hadits berikut:
أَبُو بَكْرٍ فِي الْجَنَّةِ وَعُمَرُ فِي الْجَنَّةِ وَعُثْمَانُ فِي الْجَنَّةِ وَعَلِيٌّ فِي الْجَنَّةِ وَطَلْحَةُ فِي الْجَنَّةِ وَالزُّبَيْرُ فِي الْجَنَّةِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ فِي الْجَنَّةِ وَسَعْدٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَعِيدٌ فِي الْجَنَّةِ وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ فِي الْجَنَّةِ
Abu Bakr di surga, Umar di surga, Utsman di surga, Ali di surga, Tholhah di surga, az-Zubair di surga, Abdurrohman bin Auf di surga, Sa’ad bin Abi Waqqosh di surga, Said (bin Zaid) di surga, Abu Ubaidah Ibnul Jarroh di surga (H.R atTirmidzi no 3680 dishahihkan oleh Syaikh al-Albany)
(disarikan dari risalah Syarhussunnah karya al-Muzani (murid asy-Syafii)).
Larangan Mencela Seorangpun yang Termasuk Sahabat Nabi
مَنْ سَبَّ أَصْحَابِي، فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ
Barangsiapa yang mencela para Sahabatku, maka baginya laknat Allah, Malaikat, dan manusia seluruhnya (H.R atThobarony, dihasankan Syaikh al-Albany dalam Shahihul Jami’).
Di antara seorang Sahabat Nabi yang sering mendapat cercaan dan celaan adalah Muawiyah bin Abi Sufyan. Padahal beliau juga Sahabat Nabi, penulis wahyu, dan yang didoakan oleh Nabi:
اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ هَادِياً مَهْدِيّاً وَاهْدِهِ وَاهْدِ بِهِ
Ya Allah jadikanlah dia sebagai pemberi petunjuk dan yang mendapatkan petunjuk. Berilah ia petunjuk dan jadikan petunjuk dengannya (H.R alBukhari dalam Tarikhul Kabiir dinyatakan sanadnya shahih oleh Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithy).
Ali bin Abi Tholib menyatakan setelah pulang dari perang Shiffiin:
لا تكرهوا إمارة معاوية فوالله لئن فقدتموه لترون رؤوساً تندر عن كواهلها كأنها الحنظل
Janganlah kalian membenci kepemimpinan Muawiyah. Demi Allah jika kalian kehilangan dia, niscaya kalian akan melihat kepala-kepala terlepas dari bagian atas punggung bagaikan al-handzhal (sejenis labu)(al-Bidayah wanNihaayah karya Ibnu Katsir (8/140)).
Abdullah bin al-Mubarak (salah seorang guru al-Bukhari) menyatakan:
معاوية عندنا مِحْنة، فمن رأيناه ينظر إليه شزَراً اتهمناه على القوم
Muawiyah di sisi kami adalah ujian. Barangsiapa yang kami lihat memandang Muawiyah dengan kemarahan, kami curigai (sikapnya) terhadap para Sahabat Nabi.
Abdullah bin al-Mubarok ditanya oleh seseorang tentang Muawiyah, kemudian beliau menyatakan:
ما أقول في رجل قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : سمع الله لمن حمده. فقال خلفه : ربَّنا ولك الحمد
Apa yang aku akan katakan terhadap seseorang yang Rasulullah shollallahu alaihi wasallam mengucapkan “Sami’allahu liman hamidah”, kemudian dia mengucapkan di belakang beliau: “Robbanaa wa lakal hamdu”
Beliau ditanya juga tentang siapa yang lebih utama Umar bin Abdil Aziz atau Muawiyah?
Abdullah bin al-Mubarok menjawab:
لتراب في منخري معاوية مع رسول الله صلى الله عليه وسلم خير وأفضل من عمر بن عبد العزيز
Sungguh satu debu pada hidung Muawiyah saat bersama Rasulullah shollallahu alaihi wasallam lebih baik dan lebih utama dibandingkan Umar bin Abdil Aziz (al-Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir (8/148)).
arRabi’ bin Nafi’ (salah seorang guru Abu Dawud dan adDaarimi) menyatakan:
معاوية ابن أبي سفيان ستر أصحاب رسول الله فإذا كَشف الرَّجلُ السِّتْرَ اجترأ على ما وراءه
Muawiyah bin Abi Sufyan adalah tirai bagi para Sahabat Rasulullah. Jika seseorang menyingkap tirai itu, maka ia akan bersikap lancang terhadap para Sahabat lain yang berada di balik tirai itu (riwayat al-Khothib alBaghdadi dalam Tarikh Baghdad (1/209)
Menahan Diri Tidak Membahas Perselisihan yang Terjadi di Antara Para Sahabat
Janganlah membicarakan tentang para Sahabat Nabi kecuali kebaikan. Janganlah membicarakan perselisihan di antara mereka dengan tujuan untuk menjelek-jelekkan salah satu pihak. Itulah yang dituntunkan oleh Nabi dalam sabdanya:
إِذَا ذُكِرَ أَصْحَابِي فَأَمْسِكُوا
Jika disebut tentang para Sahabatku, maka tahanlah (H.R atThobarony, dishahihkan Syaikh al-Albany)
Umar bin Abdil ‘Aziz pernah ditanya tentang perselisihan yang terjadi di antara para Sahabat. Beliau menjawab:
تلك دماء طهَّر الله منها سيوفنا ، فلا نخضِّب بها ألسنتنا
Itu adalah darah-darah yang pedang-pedang kita disucikan Allah darinya, maka janganlah kita warnai lisan-lisan kita dengannya (al-Bahrul Muhiith karya az-Zarkasyi (6/187))
Maksud dari ucapan Umar bin Abdul Aziz tersebut adalah: kalau kita sudah tidak terlibat secara langsung dalam perselisihan itu, mengapa kita biarkan lisan kita membicarakan tentang mereka. Itu tidak ada manfaatnya, justru akan menimbulkan dosa pada kita.
Jika ada yang bertanya: Apakah para Sahabat yang berselisih dan berperang itu tidak termasuk dalam hadits Nabi: Jika dua orang muslim bertemu dengan pedang masing-masing, maka pembunuh dan yang dibunuh masuk neraka?
Al-Imam anNawawiy menjelaskan bahwa perang yang terjadi di antara para Sahabat Nabi tidaklah masuk dalam hadits tersebut karena masing-masing pihak bukan berperang karena fanatisme kesukuan atau kepentingan duniawi. Masing-masing pihak berijtihad dan melakukan penakwilan. Maka tidak ada yang berdosa karena mereka adalah orang-orang yang berhak untuk berijtihad.
Beliau menyatakan:
Sesungguhnya darah (yang tertumpah) di antara para Sahabat (Nabi) radhiyallahu anhum tidaklah masuk dalam ancaman ini. Madzhab Ahlussunnah dan kebenaran adalah berbaik sangka kepada mereka dan menahan diri (untuk membicarakan) perselisihan di antara mereka, dan menakwilkan peperangan (di antara) mereka adalah karena mereka berijtihad dan melakukan pentakwilan, tidaklah bermaksud untuk melakukan kemaksiatan atau kepentingan duniawi. Bahkan tiap pihak berpendapat bahwa mereka yang benar sedangkan pihak lain adalah bughot yang wajib diperangi hingga kembali kepada perintah Allah. Di antara mereka ada yang benar, sebagian lagi salah dan mendapatkan udzur karena dia berijtihad. Orang yang berijtihad jika salah tidak ada dosa baginya (Syarhun Nawawi ala Shahih Muslim (18/11))
Beberapa Dalil yang Menunjukkan Keutamaan para Sahabat Nabi
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Dan orang-orang yang pertama masuk Islam dari kalangan Muhajirin dan Anshar dan orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepadaNya, dan Allah sediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selamanya. Yang demikian itu adalah keberuntungan yang besar (Q.S atTaubah:100).
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآَزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya (para Sahabatnya) bersikap keras terhadap orang-orang kafir dan saling berkasih sayang di antara mereka. Engkau akan melihat mereka banyak ruku’ dan sujud (dalam sholat) mengharapkan keutamaan dari Allah dan keridhaanNya. Tanda (ketaatan) mereka nampak pada wajah-wajah mereka berupa bekas sujud. Demikianlah perumpamaan mereka di Taurat dan Injil. Bagaikan tumbuhan yang mengeluarkan batang dan cabangnya hingga menjadi kuat dan hingga tegak pada batangnya. Hal itu menakjubkan penanamnya. (Yang demikian itu) untuk membikin marah orang-orang kafir. Allah menjanjikan bagi orang-orang beriman dan beramal sholih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar (Q.S al-Fath:29)
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيم
Dan orang-orang yang beriman, berhijrah, dan berjihad di jalan Allah (para Sahabat Muhajirin), dan orang-orang yang melindungi dan menolong (para Sahabat Anshar), mereka itu adalah kaum mukminin yang sebenarnya. Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulya (Q.S al-Anfaal:74).
Pada surat al-Anfaal ayat ke-74 ini Allah menyatakan bahwa orang beriman yang benar keimanannya adalah kaum Muhajirin yang beriman, berhijrah, dan berjihad di jalan Allah, serta kaum Anshar yang melindungi dan menolong. Maka standar keimanan yang diridhai Allah adalah keimanan mereka, karena mereka dipastikan Allah sebagai orang-orang beriman yang sebenarnya (mu’minuuna haqqo).
Sikap Meneladani para Sahabat Nabi
- Kelompok yang selamat adalah yang beramal dan berakidah seperti Nabi dan para Sahabatnya.
…وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
Sesungguhnya Bani Israil terpecah menjadi 72 golongan, dan umatku terpecah menjadi 73 golongan. Semuanya di neraka kecuali satu. Mereka bertanya: Siapa itu wahai Rasulullah. Beliau bersabda: yaitu (golongan) yang aku dan para Sahabatku berada di atasnya (H.R atTirmidzi, al-Hakim, dihasankan oleh atTirmidzi dan disepakati oleh al-Albany)
- Berakidah dan beriman sebagaimana iman para Sahabat Nabi akan menyebabkan mendapatkan hidayah Allah.
Allah berfirman kepada Nabi dan para Sahabatnya:
فَإِنْ آَمَنُوا بِمِثْلِ مَا آَمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا
Jika mereka beriman sebagaimana iman kalian, sungguh mereka akan mendapatkan petunjuk…(Q.S al-Baqoroh:137).
- Tidak beribadah dengan amalan yang tidak pernah dilakukan para Sahabat Nabi.
Hudzaifah bin al-Yaman –semoga Allah meridlainya- berkata:
كُلُّ عِبَادَةٍ لَمْ يَتَعَبَّدْ بِهَا أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فلاَ تَتَعَبَّدُوْا بِهَا ؛ فَإِنَّ الأَوَّلَ لَمْ يَدَعْ لِلآخِرِ مَقَالاً ؛ فَاتَّقُوا اللهَ يَا مَعْشَرَ القُرَّاءِ ، خُذُوْا طَرِيْقَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
“Setiap ibadah yang tidak pernah diamalkan oleh para Sahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, janganlah kalian beribadah dengannya. Karena generasi pertama tak menyisakan komentar bagi yang belakangan. Maka bertakwalah kalian kepada Allah wahai para pembaca al-Qur’an (orang-orang alim dan yang suka beribadah) dan ikutilah jalan orang-orang sebelummu” (Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al Ibanah).
- Mengikuti Sahabat Nabi menjadi sebab mendapatkan keridhaan Allah (sebagaimana disebutkan dalam surat atTaubah ayat 100 di atas).
- Berpaling dari mengikuti Rasul dan para Sahabat Nabi setelah datangnya petunjuk, mendapatkan ancaman Jahannam dari Allah.
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
Barangsiapa yang menyelisihi Rasul setelah jelas baginya petunjuk, dan mengikuti selain jalan orang yang beriman (para Sahabat Nabi), maka Kami akan palingkan ia ke arah berpalingnya dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan (Jahannam itu) adalah seburuk-buruk tempat kembali (Q.S anNisaa’:115).
Pada ayat ini Allah ancam orang yang setelah datangnya petunjuk kepadanya menyelisihi jalan:
a. Rasulullah Muhammad shollallahu alaihi wasallam
b. Kaum beriman, sedangkan kaum beriman yang sesungguhnya telah dijelaskan pada surat al-Anfaal ayat 74 di atas maksudnya adalah para Sahabat Nabi (kaum Muhajirin dan Anshar).
Penyimpangan yang Terjadi Terkait Keyakinan terhadap Sahabat Nabi
- Membenci, mencela, atau bahkan mengkafirkan salah seorang saja dari kalangan Sahabat Nabi.
Membenci satu orang saja dari kalangan Sahabat Nabi adalah kekafiran, sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Fath ayat 29 di atas bahwa keadaan para Sahabat Nabi dibenci oleh orang-orang kafir. Karena itu, tidaklah ada yang membenci mereka kecuali orang kafir.
Al-Imam Malik rahihamullah berkata:
من أصبح فِي قلبه غيظ على أحد من أصحاب رسول الله صلى الله عليه و سلم فقد أصابته الآية
Barangsiapa yang dalam hatinya terdapat kebencian kepada satu orang dari kalangan Sahabat Nabi, maka ia tertimpa (ancaman) ayat ini (surat al-Fath ayat 29, berupa kekafiran)(Hilyatul Auliyaa’ 6/327)).
- Menganggap kedudukan orang shalih lainnya ada yang lebih utama dibandingkan para Sahabat Nabi.
Manusia terbaik setelah Nabi adalah para Sahabatnya. Bahkan Sahabat Nabi Abu Bakr dan Umar adalah manusia terbaik setelah para Nabi jika dibandingkan dengan umat-umat sebelumnya atau yang akan datang.
عَنْ عَلِيٍّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ سَيِّدَا كُهُولِ أَهْلِ الْجَنَّةِ مِنْ الْأَوَّلِينَ وَالْآخِرِينَ مَا خَلَا النَّبِيِّينَ وَالْمُرْسَلِينَ لَا تُخْبِرْهُمَا يَا عَلِيُّ
Dari Ali (bin Abi Tholib) dari Nabi shollallahu alaihi wasallam beliau berkata: Abu Bakr dan Umar keduanya adalah pemuka pria dewasa penduduk surga dari umat paling awal sampai paling akhir selain para Nabi dan Rasul. Jangan engkau beritahukan kepada keduanya wahai Ali (H.R atTirmidzi no 3599, dishahihkan oleh Syaikh al-Albany)
Karena itu, adalah suatu kesalahan yang fatal ketika seseorang terlalu mengedepankan orang yang shalih, apakah disebut sebagai Wali atau sebutan lain, yang lebih didahulukan keutamaannya dibandingkan para Sahabat Nabi.
- Mengkultuskan sebagian Sahabat Nabi atau menganggap mereka ma’shum (terjaga dari kesalahan)
Meskipun para Sahabat Nabi adalah orang-orang terbaik, memiliki banyak keutamaan, namun pribadi-pribadi mereka tidaklah terjaga dari kesalahan. Mereka bisa berdosa sebagaimana manusia lainnya. Namun, Allah telah menjanjikan ampunan bagi mereka. Sebagaimana terhadap para Sahabat yang terlibat dalam perang Badr, Allah berfirman kepada mereka dalam hadits Qudsi:
اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ
Berbuatlah sekehendakmu, sungguh Aku telah ampuni kalian (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Ali bin Abi Tholib).
Karena para Sahabat tidaklah terlepas dari kesalahan, maka janganlah mengikuti mereka apabila ada kesalahan dalam pendapat mereka yang bertentangan dengan al-Quran dan hadits (karena hujjah belum sampai pada mereka).
Tidak boleh mengedepankan pendapat Sahabat Nabi terhadap Sunnah Nabi yang telah jelas.
Sahabat Nabi Ibnu Abbas radhiyallahu anhu pernah menyatakan:
وَاللّهِ مَا أَرَاكُمْ مُنْتَهِينَ حَتّى يُعَذّبَكُمْ اللّهُ أُحَدّثُكُمْ عَنْ رَسُولِ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ وَتُحَدّثُونَا عَنْ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ
Demi Allah, aku tidak melihat kalian berhenti hingga Allah mengadzab kalian. Aku sampaikan kepada kalian (hadits) dari Rasulullah shollallahu alaihi wasallam sedangkan kalian (menentang) dengan menyampaikan (perkataan) Abu Bakr dan Umar ? (riwayat Ibnu Abdil Bar dalam Jaami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi dan Ibnu Hazm dalam Hajjatul Wada’, melalui jalur Abdurrozzaq dengan sanad yang shahih)
Namun, ucapan seorang Sahabat Nabi bisa menjadi hujjah/ dalil, selama:
a. Tidak bertentangan dengan nash (al-Quran dan hadits yang shahih).
b. Tidak ada ucapan Sahabat lain yang menyelisihi/ menentangnya. Jika ada pendapat Sahabat lain yang bertentangan dengannya, maka dikaji kedua pendapat itu untuk dipilih mana yang lebih kuat dan lebih dekat pada kebenaran.
Ini adalah pendapat dari al-Imam Ahmad.
(disarikan dari penjelasan Syaikh Ibn Utsaimin dalam transkrip ceramah tafsir surat al-Baqoroh ayat 213)
Perlu dipahami bahwa pribadi-pribadi para Sahabat tidaklah ma’shum, namun ijma’ (kesepakatan) mereka adalah ma’shum (terjaga dari kesalahan), sebagaimana dijelaskan para Ulama’.
Tidak boleh pula mengkultuskan seorang Sahabat Nabi secara berlebihan, sebagaimana yang dilakukan Syiah Rafidhah yang demikian mengkultuskan Ali, bahkan di atas Rasulullah shollallahu alaihi wasallam, bahkan lebih parah lagi mengangkat kedudukan Ali hingga taraf Uluhiyyah (Ketuhanan yang disembah).
Ditulis oleh:
Abu Utsman Kharisman