Pembahasan Hadits Maudhu’ (Palsu)
Al-Baiquniy rahimahullah menyatakan:
وَالكَذِبُ المُخْتَلَقُ المَصْنُوعُ … عَلَى النَّبِي فَذلِكَ المَوْضُوعُ
Dan kedustaan yang dibuat dan diada-adakan…terhadap Nabi, maka itu adalah maudhu’
Penjelasan:
Hadits maudhu’ adalah hadits yang dipalsukan atas nama Nabi shollallahu alaihi wasallam. Ada yang terjadi karena sengaja, ada pula yang karena ketidaksengajaan.
Sengaja memalsukan hadits adalah dosa besar. Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda:
وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
…dan barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, silakan ambil tempat duduknya di Neraka (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Tidak boleh menyampaikan hadits palsu kecuali untuk menjelaskan bahwa itu adalah hadits palsu yang tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda:
مَنْ حَدَّثَ عَنِّى بِحَدِيثٍ يُرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ
Barangsiapa yang menyampaikan hadits dariku, yang dipandang bahwa itu dusta, maka dia adalah salah satu dari para pendusta (H.R Muslim dalam Muqoddimah Shahih Muslim)
anNawawiy rahimahullah menyatakan:
يَحْرُمُ رِوَايَةُ الْحَدِيثِ الْمَوْضُوعِ عَلَى مَنْ عَرَفَ كَوْنَهُ مَوْضُوعًا أَوْ غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ وَضْعُهُ فَمَنْ رَوَى حَدِيثًا عَلِمَ أَوْ ظَنَّ وَضْعَهُ وَلَمْ يُبَيِّنْ حَالَ رِوَايَتِهِ وَضْعَهُ فَهُوَ دَاخِلٌ فِي هَذَا الْوَعِيدِ، مُنْدَرِجٌ فِي جُمْلَةِ الْكَاذِبِينَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Haram meriwayatkan hadits maudhu’ (palsu) bagi orang yang mengetahui bahwa itu adalah hadits palsu, atau dengan dugaan kuatnya bahwa itu palsu. Barangsiapa yang meriwayatkan hadits yang diketahui atau diduga kepalsuannya, kemudian ia tidak menjelaskan bahwa hadits itu palsu, ia masuk dalam ancaman ini. Termasuk orang-orang yang berdusta atas Rasulullah shollallahu alaihi wasallam (syarh Shahih Muslim lin Nawawiy (1/71)).
Beberapa karya para Ulama tentang hadits-hadits palsu, di antaranya: al-Maudhu’aat karya Ibnul Jauziy, al-La-aaliy al-Mashnu’ah karya as-Suyuthiy, al-Fawaaid al-Majmu’ah fii Ahaaditsil Maudhu’ah karya asy-Syaukaaniy.
Namun, para Ulama mengkritik Ibnul Jauziy dalam al-Maudhu’aat kadangkala berlebihan dalam menilai suatu hadits maudhu’. Ada kalanya hadits yang lemah dinilai oleh beliau maudhu’. Bahkan ada pula hadits yang hasan atau shahih yang dinilai oleh beliau sebagai maudhu’. Namun, itu kondisi yang jarang.
Jangan lupakan pula Silsilah al-Ahaadits adh-Dhaifah wal maudhu’ah karya Syaikh al-Albaniy dalam referensi hadits yang maudhu’. Hanya saja dalam kitab tersebut beliau tidak mengkhususkan hadits yang maudhu’ saja. Di dalamnya juga ada hadits yang lemah, sesuai nama kitab tersebut.
Indikasi suatu hadits terlihat palsu dari 2 hal utama, yaitu :
Pertama: Matannya menyelisihi kaidah (berdasarkan nash) yang sudah jelas dan baku.
Kedua: Setidaknya salah satu perawinya adalah pendusta.
Adz-Dzahabiy rahimahullah menyatakan:
اْلمَوْضُوْعُ :مَا كَانَ مَتْنُهُ مُخَالِفاً لِلْقَوَاعِدِ، وَرَاوِيْهِ كذَّاباً
(Hadits) maudhu’ (palsu) adalah yang matannya menyelisihi kaidah-kaidah (secara nash syar’i) dan perawinya adalah pendusta (al-Muuqidzhah fii ‘ilmi mustholahil hadiits (1/5)).
Contoh Pertama Hadits Maudhu’ (Palsu)
أَنَا مَدِيْنَةُ الْعِلْمِ، وَعَلِيٌّ بَابُهَا، فَمَنْ أَرَادَ الْعِلْمَ فَلْيَأْتِهِ مِنْ بَابِهِ
Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya. Barangsiapa yang ingin mendapatkan ilmu, datangilah dari pintunya (H.R al-Hakim dan atThobaroniy)
Beberapa Ulama menilai hadits ini maudhu’ (palsu), di antaranya: Ibnu Thohir, adz-Dzahabiy, Ibnul Jauziy, dan Syaikh al-Albaniy.
Salah satu perawi yang ada dalam riwayat al-Hakim, yang bernama Ahmad bin Abdillah bin Yazid al-Harraaniy, dinyatakan oleh adz-Dzahabiy sebagai pendusta.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan:
Keutamaan Ali dan keadaan beliau sebagai Wali Allah, ketinggian kedudukannya di sisi Allah, Alhamdulillah sudah diketahui dari berbagai jalan riwayat yang sah, yang memberikan faidah ilmu yakin kepada kita. Tidak dibutuhkan kedustaan-kedustaan ataupun (kisah) yang tidak diketahui kebenarannya (Minhajus Sunnah anNabawiyyah (8/113)).
Ali bin Abi Tholib radhiyallahu anhu adalah Sahabat Nabi yang penuh dengan keutamaan. Jika kita ingin menyebutkan keutamaan beliau, hendaknya berdasarkan riwayat-riwayat yang hasan atau shahih.
Berikut ini adalah beberapa di antara riwayat yang shahih atau hasan tentang keutamaan Ali:
1. Mencintai Ali tanda keimanan, sedangkan membencinya adalah tanda kemunafikan.
Ali bin Abi Tholib radhiyallahu anhu pernah menyatakan:
وَالَّذِى فَلَقَ الْحَبَّةَ وَبَرَأَ النَّسَمَةَ إِنَّهُ لَعَهْدُ النَّبِىِّ الأُمِّىِّ صلى الله عليه وسلم إِلَىَّ أَنْ لاَ يُحِبَّنِى إِلاَّ مُؤْمِنٌ وَلاَ يُبْغِضَنِى إِلاَّ مُنَافِقٌ
Demi (Allah) yang membelah biji dan Yang Menciptakan manusia, sesungguhnya adalah perjanjian dari Nabi al-Ummiy shollallahu alaihi wasallam kepadaku bahwa tidaklah ada yang mencintaiku kecuali ia adalah orang beriman dan tidaklah membenciku kecuali ia munafiq (H.R Muslim)
2. Pemberitahuan dari Nabi bahwa Ali mencintai Allah dan Rasul-Nya, Allah dan Rasul-Nya mencintai Ali.
عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ خَيْبَرَ لَأُعْطِيَنَّ الرَّايَةَ غَدًا رَجُلًا يُفْتَحُ عَلَى يَدَيْهِ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيُحِبُّهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ فَبَاتَ النَّاسُ لَيْلَتَهُمْ أَيُّهُمْ يُعْطَى فَغَدَوْا كُلُّهُمْ يَرْجُوهُ فَقَالَ أَيْنَ عَلِيٌّ فَقِيلَ يَشْتَكِي عَيْنَيْهِ فَبَصَقَ فِي عَيْنَيْهِ وَدَعَا لَهُ فَبَرَأَ كَأَنْ لَمْ يَكُنْ بِهِ وَجَعٌ فَأَعْطَاهُ فَقَالَ أُقَاتِلُهُمْ حَتَّى يَكُونُوا مِثْلَنَا فَقَالَ انْفُذْ عَلَى رِسْلِكَ حَتَّى تَنْزِلَ بِسَاحَتِهِمْ ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى الْإِسْلَامِ وَأَخْبِرْهُمْ بِمَا يَجِبُ عَلَيْهِمْ فَوَاللَّهِ لَأَنْ يَهْدِيَ اللَّهُ بِكَ رَجُلًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ
Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu anhu beliau berkata: Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda pada perang Khaibar: Sungguh aku akan berikan besok bendera (kepemimpinan perang) pada seseorang laki-laki yang Allah akan membukakan (kemenangan). Seseorang yang mencintai Allah dan RasulNya dan Allah dan Rasul-Nya juga mencintai dia. Maka manusiapun melewati malam dengan memperbincangkan dan berharap siapa di antara mereka yang akan diberi bendera itu. Kemudian (paginya) Nabi bertanya: Di mana Ali (bin Abi Tholib)? Dikatakan bahwa Ali sakit mata. Kemudian Nabi sedikit meludah pada mata Ali dan mendoakannya. Maka sembuhlah Ali seakan-akan tidak pernah sakit mata sebelumnya. Kemudian Nabi menyerahkan bendera itu. Kemudian Ali berkata: Aku akan memerangi mereka hingga mereka seperti kita. Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda: berjalanlah dengan tenang hingga engkau tiba di pelataran mereka. Kemudian dakwahi/ ajak mereka kepada Islam dan kabarkan yang wajib mereka lakukan. Demi Allah, jika Allah memberi hidayah kepada seseorang dengan sebabmu, itu lebih baik bagimu dibandingkan engkau mendapatkan unta merah (harta yang terbaik) (H.R al-Bukhari dan Muslim)
3. Sabda Nabi kepada Ali: “Engkau adalah bagian dariku dan aku adalah bagian darimu”
أَنْتَ مِنِّي وَأَنَا مِنْكَ
Engkau adalah bagian dariku dan aku adalah bagian darimu (H.R al-Bukhari dari al-Baraa’)
Sebagian Ulama menjelaskan bahwa maksud sabda Nabi tersebut menunjukkan kecintaan, kedekatan, dan keutamaan Ali. Beliau dekat dari sisi kekerabatan, beliau juga menantu, serta keutamaan beliau yang termasuk menjadi orang paling awal masuk Islam.
4. Kedudukan Ali terhadap Nabi seperti kedudukan Harun terhadap Musa
Saat perang Tabuk, Nabi menyuruh Ali untuk tetap di Madinah. Ali bin Abi Tholib sebelumnya merasa berat kalau harus tertinggal tidak ikut pertempuran, tertinggal bersama para wanita dan anak-anak.
Namun Nabi shollallahu alaihi wasallam menghibur Ali dan menyatakan bahwa kedudukannya terhadap beliau adalah seperti kedudukan Nabi Harun terhadap Nabi Musa. Hanya saja tidak ada Nabi sepeninggal Nabi Muhammad shollallahu alaihi wasallam.
Ketika Nabi Musa mendatangi panggilan Allah, Musa tetap tinggal untuk mengurusi dan membimbing Bani Israil. Demikianlah pula Ali, saat Nabi berangkat berjihad ke Tabuk, Ali mengurusi keperluan di Madinah.
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَى تَبُوكَ وَاسْتَخْلَفَ عَلِيًّا فَقَالَ أَتُخَلِّفُنِي فِي الصِّبْيَانِ وَالنِّسَاءِ قَالَ أَلَا تَرْضَى أَنْ تَكُونَ مِنِّي بِمَنْزِلَةِ هَارُونَ مِنْ مُوسَى إِلَّا أَنَّهُ لَيْسَ نَبِيٌّ بَعْدِي
Sesungguhnya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam akan keluar menuju Tabuk dan beliau menugaskan Ali tetap di Madinah. Kemudian Ali berkata: Apakah anda meninggalkan saya bersama para anak kecil dan wanita? Nabi bersabda: Tidakkah engkau ridha kedudukanmu terhadapku seperti kedudukan Harun terhadap Musa. Hanya saja tidak ada Nabi sepeninggalku (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Sa’ad bin Abi Waqqash)
5. Barangsiapa yang Nabi sebagai pelindungnya, Ali adalah pelindungnya juga
مَنْ كُنْتُ مَوْلَاهُ فَعَلِيٌّ مَوْلَاهُ
Barangsiapa yang aku sebagai pelindungnya, Ali adalah pelindungnya juga (H.R Ibnu Majah dari Sa’ad)
Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad menyatakan: “Maknanya adalah: Ali radhiyallahu anhu memiliki kedudukan yang tinggi. Namun tidak bisa dikatakan bahwa hal itu khusus untuk Ali –semoga Allah meridhainya-. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang lain (yang artinya): Tidaklah ada orang yang mencintaimu kecuali ia adalah orang beriman dan tidaklah ada yang membencimu kecuali ia munafiq. Telah terdapat hadits yang lain tentang keutamaan kaum Anshar secara umum (yang artinya): “Tanda keimanan adalah mencintai Anshar, dan tanda kemunafikan adalah membenci Anshar”. Nash yang menyebutkan tentang Ali radhiyallahu anhu menunjukkan keutamaan beliau. Namun tidak berarti beliau lebih utama dibandingkan orang-orang lain yang lebih utama dari beliau (seperti Abu Bakr, Umar, dan Utsman, pent) (transkrip tanya jawab di sela-sela pelajaran syarh Sunan Abi Dawud (26/381))
Contoh Kedua Hadits Maudhu’ (Palsu)
Terdapat riwayat hadits tentang anjuran melakukan sholat sunnah antara Maghrib dengan Isya sebanyak 20 rokaat. Namun riwayat hadits itu di dalam sanadnya terdapat perawi yang pendusta.
Berikut ini riwayat dalam Sunan Ibnu Majah:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ الْوَلِيدِ الْمَدَنِيُّ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَلَّى بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ عِشْرِينَ رَكْعَةً بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ
(Ibnu Majah menyatakan) telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Mani’ (ia berkata) telah menceritakan kepada kami Ya’qub bin Waliid al-Madaniy dari Hisyam bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah –semoga Allah meridhainya- ia berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Barangsiapa yang sholat antara Maghrib dengan Isya sebanyak 20 rokaat, Allah akan bangunkan untuknya rumah di Surga (H.R Ibnu Majah)
Hadits ini dinilai palsu oleh Syaikh al-Albaniy. Di dalam sanadnya terdapat perawi yang dinilai pendusta oleh para Ulama, yaitu Ya’qub bin al-Waliid al-Madaniy.
Ahmad bin Hanbal rahimahullah menyatakan:
كَانَ مِنَ الْكَذَّابِيْنَ الْكِبَارِ يَضَعُ الْحَدِيْثَ
Dia termasuk pendusta yang besar, yang memalsukan hadits (ad-Dhu’afaa’ wal Matrukiin libnil Jauziy (3/217))
Yahya bin Ma’in rahimahullah menyatakan:
لَمْ يَكُنْ بِشَيْءٍ كَذَّابٌ
Dia bukan apa-apa, ia pendusta (ad-Dhu’afaa’ wal Matrukiin libnil Jauziy(3/217))
Ibnu Hibban rahimahullah menyatakan:
يَضَعُ الْحَدِيْثَ عَلَى الثِّقَاتِ
Ia memalsukan hadits dari perawi-perawi terpercaya… (ad-Dhu’afaa’ wal Matrukiin libnil Jauziy (3/217))
Ditulis oleh:
Abu Utsman Kharisman