Kam 26 Jumadil awal 1446AH 28-11-2024AD

Serial Kajian Ilmu Mustholah Hadits al-Mandzumah al-Baiquniyah


Matan al-Baiquniyyah

وَالْمُنْكَرُ الْفَرْدُ بِهِ رَاوٍ غَدَا … تَعْدِيلُهُ لاَ يْحمِلُ التَّفَرُّدَا

Dan munkar adalah yang seorang perawi bersendirian…tidak bisa mendapat penilaian yang baik (diterima riwayatnya) jika ia bersendirian
(Mandzhumah al-Baiquniyyah)

Penjelasan:

Munkar secara bahasa adalah sesuatu yang diingkari atau orang yang tidak dikenal. Munkar adalah lawan kata dari ma’ruf.

Al-Imam al-Baiquniy menjelaskan salah satu definisi munkar dalam istilah Ulama hadits. Beliau menjelaskan bahwa hadits munkar adalah jika seorang perawi meriwayatkan suatu hadits secara bersendirian, padahal ia bukanlah perawi yang bisa diterima periwayatannya kalau secara bersendirian.

Hadits itu tidaklah didapatkan kecuali melalui jalur dia saja. Masalahnya, ia adalah perawi yang mengandung kelemahan. Apakah lemah hafalan, tidak dikenal, atau sebab yang lain. Hadits munkar termasuk dalam kategori hadits yang lemah tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.

Contoh Pertama Hadits Munkar dalam Definisi alBaiquniy

Syaikh Abdullah bin Abdirrahim al-Bukhari hafidzhahullah dalam atTa’liqotur Rodhiyyah menyebutkan 2 contoh hadits dengan istilah munkar seperti yang dimaksud oleh al-Imam al-Baiquniy.

Hadits berikut ini diriwayatkan oleh anNasaai dalam kitab Sunan anNasaai al-Kubro nomor riwayat 10052 (6/65), juga Ibnus Sunniy dalam ‘Amalul Yawm wal Lailah nomor riwayat 256 (1/490) melalui jalur Ja’far bin Sulaiman adh-Dhuba’iy dari Atha’ bin as-Saaib dari Abu Abdirrahman dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu secara marfu’ (dinisbatkan sebagai sabda Nabi, pent):

إِذَا عَطَسَ أَحَدُكُمْ فَلْيَقُلْ الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَيُقَالُ لَهُ يَرْحَمُكُمُ اللهُ وَإِذَا قِيْلَ لَهُ يَرْحَمُكُمُ اللهُ فَلْيَقُلْ يَغْفِرُ اللهُ لَكُمْ

Jika salah seorang dari kalian bersin, ucapkanlah: Alhamdulillahi Rabbil ‘Aalamiin (Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam). Kemudian diucapkan untuk orang tersebut: Yarhamukumullah (semoga Allah merahmati kalian). Jika diucapkan Yarhamukumullah, ucapkanlah: Yaghfirullaahu lakum (Semoga Allah merahmati kalian) (H.R anNasaai dalam as-Sunan al-Kubro)

Al-Imam anNasaai yang meriwayatkan  sendiri hadits tersebut menilai hadits itu munkar. Beliau menyatakan:

وَهَذَا حَدِيْثٌ مُنْكُرٌ وَلَا أَرَى جَعْفَرَ بْنَ سُلَيْمَانَ إِلَّا سَمِعَهُ مِنْ عَطَاءَ بْنِ السَّائِبِ بَعْدَ الْإِخْتِلَاطِ وَدَخَلَ عَطَاءُ بْنُ السَّائِبِ الْبَصْرَةَ مَرَّتَيْنِ فَمَنْ سَمِعَ مِنْهُ أَوَّلَ مَرَّةٍ فَحَدِيْثُهُ صَحِيْحٌ وَمَنْ سَمِعَ مِنْهُ آخِرُ مَرَّةٍ فَفِي حَدِيْثِهِ شَئْ

Hadits ini adalah hadits munkar. Saya tidak melihat Ja’far bin Sulaiman kecuali setelah bercampur hafalannya. Atha’ bin as-Saaib memasuki Bashrah 2 kali. Barangsiapa yang mendengar dari dia (Atha’) di kali yang pertama, haditsnya shahih. Sedangkan yang mendengar darinya di kali terakhir, dalam haditsnya ada sesuatu (kelemahan, pent)

Jadi, hadits ini munkar karena hanya melalui jalur riwayat Ja’far bin Sulaiman dari Atha’ bin as-Saaib. Atha’ bin as-Saaib di masa-masa akhir kehidupannya telah mengalami perubahan hafalan. Beliau tidak sekokoh sebelumnya dalam meriwayatkan hadits.

Karena itu, para Ulama memilah perawi yang mendengar dari Atha’ bin as-Saaib. Jika perawi itu adalah yang mendengar hadits dari Atha’ sebelum masa perubahan hafalannya itu, haditsnya ternilai shahih. Namun, jika perawi itu mendengar dari Atha’ bin as-Saaib saat sudah berubah hafalannya, ada kelemahan dalam periwayatannya. Sedangkan Ja’far bin Sulaiman termasuk perawi yang meriwayatkan dari Atha’ pada kunjungan kedua beliau ke Bashrah yaitu saat hafalannya sudah berubah.

Sebagian Ulama menilai bahwa semua perawi yang meriwayatkan dari Atha’ bin as-Saaib adalah saat Atha’ berubah hafalannya, kecuali 2 orang, yaitu Sufyan ats-Tsauriy dan Syu’bah bin al-Hajjaaj. Artinya, hanya periwayatan dari Sufyan ats-Tsauriy dan Syu’bah dari Atha’ bin as-Saaib yang bisa diterima.

Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah menyatakan:

مَنْ سَمِعَ مِنْهُ قَدِيْمًا فَسَمَاعُهُ صَحِيْحٌ وَمَنْ سَمِعَ مِنْهُ حَدِيْثًا لَمْ يَكُنْ بِشَيْءٍ سَمِعَ مِنْهُ قَدِيْمًا سُفْيَانُ وَشُعْبَةُ

Barangsiapa yang mendengar darinya di waktu terdahulu, apa yang didengarnya adalah shahih. Sedangkan yang mendengar darinya hanya satu hadits, haditsnya tidak ternilai. Orang yang mendengar hadits darinya di waktu terdahulu (sebelum hafalannya berubah) adalah Sufyan dan Syu’bah (dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Tahdzib atTahdzib (7/184)).

Yahya bin Ma’in menyatakan:

وَجَمِيْعُ مَنْ سَمِعَ مِنْ عَطَاءَ سَمِعَ مِنْهُ فِي الْاِخْتِلَاطِ إِلَّا شُعْبَة وَالثَّوْرِي

Dan semua perawi yang mendengar dari Atha’ adalah mendengar dari beliau sebelum hafalannya berubah. Kecuali Syu’bah dan ats-Tsauriy (dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Tahdzib atTahdzib (7/184)).

Contoh Kedua Hadits Munkar dalam Definisi al-Baiquniy

Salah satu hadits yang dinilai munkar karena melalui periwayatan menyendiri dari perawi yang lemah, adalah hadits yang diriwayatkan oleh atTirmidzi dalam Sunannya. atTirmidzi meriwayatkan hadits itu, kemudian beliau sendiri yang menilai hadits itu munkar.

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُوسَى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَعْلَى الْكُوفِيُّ حَدَّثَنَا عَنْبَسَةُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْقُرَشِيُّ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عَلَّاقٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَعَشَّوْا وَلَوْ بِكَفٍّ مِنْ حَشَفٍ فَإِنَّ تَرْكَ الْعَشَاءِ مَهْرَمَةٌ

(atTirmidzi menyatakan) telah menceritakan kepada kami Yahya bin Musa (ia berkata) telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ya’laa al-Kuufiy (ia berkata) telah menceritakan kepada kami ‘Anbasah bin Abdirrahman al-Qurasyi dari Abdul Malik bin ‘Allaaq dari Anas bin Malik –semoga Allah meridhainya- ia berkata: Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda: Makan malamlah kalian, meskipun hanya dengan segenggam kurma yang buruk. Karena meninggalkan makan malam itu membuat lemah (dan cepat tua) (H.R atTirmidzi)

Setelah meriwayatkan hadits itu, atTirmidzi sendiri menyatakan:

هَذَا حَدِيثٌ مُنْكَرٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ هَذَا الْوَجْهِ وَعَنْبَسَةُ يُضَعَّفُ فِي الْحَدِيثِ وَعَبْدُ الْمَلِكِ بْنِ عَلَّاقٍ مَجْهُولٌ

Ini adalah hadits munkar, kita tidak mengetahuinya kecuali dari jalur ini. Anbasah dilemahkan (oleh para Ulama) dalam (meriwayatkan) hadits. Abdul Malik bin ‘Allaaq tidak dikenal (Sunan atTirmidzi (7/52))

Definisi Lain Hadits Munkar: Menyelisihi Periwayatan yang Shahih

Setelah kita mengetahui definisi hadits munkar menurut al-Imam al-Baiquniy, ada pula definisi hadits munkar yang lain yang juga masyhur di kalangan Ulama hadits.

Al-Imam as-Sakhowiy rahimahullah menukilkan pendapat yang dirajihkan oleh gurunya, yaitu al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolaaniy tentang definisi munkar:

وَفِى تَعْرِيْفِ الْمُنْكَرِ: مَا رَوَاهُ  غَيْرُ الْمَقْبُوْلِ مُخَالِفًا لِلثِّقَاتِ

dan dalam definisi munkar adalah: yang diriwayatkan oleh perawi yang tidak diterima menyelisihi periwayatan dari perawi-perawi yang terpercaya (al-Ghooyah fii syarhil hidaayah fii ilmir riwaayah (1/198)).

Dalam definisi ini, munkar ada kesamaan dengan syadz dalam arti menyelisihi periwayatan dari perawi yang tsiqoh. Jika syadz adalah perawi yang tsiqoh menyelisihi periwayatan dari perawi lain yang lebih tsiqoh atau lebih banyak, munkar perawinya lemah.

Jika ada hadits dengan perawi yang shahih, diselisihi oleh hadits dengan perawi yang lemah, itu adalah munkar. Hadits yang shahih itu disebut ma’ruf, sedangkan hadits yang lemah yang menyelisihinya, disebut munkar.

Jika ada hadits A semakna B dengan para perawi yang tsiqoh, diselisihi oleh hadits C dengan perawi yang juga tsiqoh, namun para perawi yang tsiqoh dalam hadits A dan B lebih banyak atau tingkatan tsiqohnya lebih tinggi, maka hadits A dan B disebut mahfudzh, hadits C disebut syadz.

Al-Imam as-Sakhowiy rahimahullah menyatakan:

وَالْمُقَابِلُ لِلْمُنْكَرِ هُوَ الْمَعْرُوْف الشَّاذ كَمَا تَقَدَّمَ هُوَ الْمَحْفُوْظ

Yang berlawanan dengan hadits munkar adalah ma’ruf, sedangkan syadz –sebagaimana disebutkan terdahulu- (lawannya) adalah mahfudzh (Fathul Mughits (1/202))

Contoh Pertama Hadits Munkar yang Menyelisihi Hadits Shahih

Tidur yang menghilangkan kesadaran secara penuh menyebabkan batalnya wudhu’. Sedangkan tidur dengan kesadaran yang masih ada, sehingga masih merasa jika seandainya berhadats, tidur tersebut tidaklah membatalkan wudhu’.

Nabi shollallahu alaihi wasallam pernah tertidur dalam sholat. Namun, hati beliau tidak tertidur. Karena itu sholat beliau tidak batal.

إِنَّ عَيْنَيَّ تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي

Sesungguhnya mataku tertidur, namun hatiku tidak tidur (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah)

Disebutkan dalam suatu hadits yang shahih bahwa Nabi shollallahu alaihi wasallam pernah tertidur di dalam sholat hingga mendengkur. Beliau melanjutkan sholat tanpa mengulangi berwudhu’.

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dalam Mushonnafnya:

حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ مَنْصُورٍ عَنْ مَنْصُورِ بْنِ أَبِي الأَسْوَدِ عَنِ الأَعْمَشِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَن عَلْقَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللهِ قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَنَامُ وَهُوَ سَاجِدٌ، فَمَا يُعْرَفُ نَوْمُهُ إِلاَّ بِنَفْخِهِ ثُمَّ يَقُومُ فَيَمْضِي فِي صَلاَتِهِ

Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Manshur dari Manshur bin Abil Aswad dari al-A’masy dari Ibrahim dari ‘Alqomah dari Abdullah (bin Mas’ud) radhiyallahu anhu ia berkata: Nabi shollallahu alaihi wasallam tidur dalam keadaan sujud. Tidaklah diketahui tidurnya beliau kecuali dengan suara dengkurannya. Kemudian beliau bangkit dan meneruskan sholat beliau (H.R Ibnu Abi Syaibah)

Itu adalah hadits Abdullah bin Mas’ud. Seluruh perawi dalam hadits riwayat Ibnu Abi Syaibah itu adalah perawi dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim, kecuali Manshur bin Abil Aswad. Namun, Manshur bin Abil Aswad ini dinyatakan tsiqoh (terpercaya) oleh Yahya bin Ma’in (al-Jarh wat Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim (8/170)).

Ada pula hadits Aisyah yang menjelaskan bahwa Nabi pernah tertidur kemudian bangkit dan menunaikan sholat tanpa berwudhu.

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنِ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنَامُ حَتَّى يَنْفُخَ ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّي وَلَا يَتَوَضَّأُ

(al-Imam Ahmad berkata) telah menceritakan kepada kami Waki’ (ia berkata) telah menceritakan kepada kami al-A’masy dari Ibrahim dari al-Aswad dari Aisyah –semoga Allah meridhainya- ia berkata: Nabi shollallahu alaihi wasallam tidur hingga mendengkur, kemudian beliau bangkit sholat tanpa berwudhu (H.R Ahmad, Syaikh al-Albaniy menilai bahwa sanadnya shahih sesuai syarat al-Bukhari dan Muslim)

Namun ada satu riwayat hadits yang munkar yang menyatakan bahwa Nabi kemudian memberi penjelasan bahwa tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur dengan berbaring. Hadits itu diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ وَهَنَّادُ بْنُ السَّرِيِّ وَعُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ عَنْ عَبْدِ السَّلَامِ بْنِ حَرْبٍ وَهَذَا لَفْظُ حَدِيثِ يَحْيَى عَنْ أَبِي خَالِدٍ الدَّالَانِيِّ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَسْجُدُ وَيَنَامُ وَيَنْفُخُ ثُمَّ يَقُومُ فَيُصَلِّي وَلَا يَتَوَضَّأُ قَالَ فَقُلْتُ لَهُ صَلَّيْتَ وَلَمْ تَتَوَضَّأْ وَقَدْ نِمْتَ فَقَالَ إِنَّمَا الْوُضُوءُ عَلَى مَنْ نَامَ مُضْطَجِعًا

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ma’in dan Hannaad bin as-Sariy dan Utsman bin Abi Syaibah dari Abdussalaam bin Harb, dan ini adalah lafadz hadits Yahya dari Abu Kholid ad-Daalaaniy dari Qotadah dari Abul Aaliyah dari Ibnu Abbas –semoga Allah meridhainya- bahwasanya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam sujud tertidur dan mendengkur. Kemudian beliau bangkit sholat, tidak berwudhu (lagi). Aku pun berkata: Anda sholat tidak berwudhu padahal anda telah tidur? Nabi bersabda: Sesungguhnya wudhu’ itu bagi orang yang tidur dalam posisi berbaring (H.R Abu Dawud)

Setelah meriwayatkan hadits itu, Abu Dawud menyatakan:

قَوْلُهُ: الْوُضُوءُ عَلَى مَنْ نَامَ مُضْطَجِعًا هُوَ حَدِيثٌ مُنْكَرٌ لَمْ يَرْوِهِ إِلَّا يَزِيدُ أَبُو خَالِدٍ الدَّالَانِيُّ عَنْ قَتَادَةَ

Ucapan (dalam hadits itu): Wudhu adalah untuk orang yang tidur dalam posisi berbaring, itu adalah hadits munkar. Tidak ada yang meriwayatkannya kecuali Yazid Abu Kholid al-Daalaaniy dari Qotadah (Sunan Abi Dawud (1/254)).

Artinya, peristiwa bahwa Nabi tertidur hingga mendengkur kemudian bangkit sholat tanpa berwudhu’ itu memang benar. Sesuai dengan hadits shahih dari Abdullah bin Mas’ud dan Aisyah di atas. Namun, tambahan ucapan bahwa wudhu itu hanya bagi yang tidur dengan berbaring, lafadz ini adalah lafadz yang munkar. Karena berdasarkan riwayat yang tidak shahih.

Yazid Abu Kholid ad-Daalaaniy dinyatakan oleh Ibnu Hibban:

كَانَ كَثِيْرُ الْخَطَأِ فَاحِشُ الْوَهْمِ يُخَالِفُ الثِّقَاتِ فِي الرِّوَايَاتِ لَا يَجُوْزُ الْاِحْتِجَاجُ بِهِ

Dia (Yazid Abu Kholid) banyak salah, parah kesalahan (periwayatannya), sering menyelisihi riwayat dari para perawi terpercaya. Tidak boleh berhujjah dengan hadits yang diriwayatkan oleh dia (ad-Dhu’afaa’ wal Matrukiin karya Ibnul Jauziy (3/210)).

Sisi kelemahan lain riwayat itu – sebagaimana disebut oleh Abu Dawud dalam Sunannya- adalah karena itu adalah periwayatan Qotadah dari Abul ‘Aaliyah. Syu’bah bin al-Hajjaj menyatakan bahwa Qotadah meriwayatkan dari Abul Aaliyah hanya pada 4 hadits. Kemudian disebutkan keempat hadits itu sebagaimana dinukil Abu Dawud, namun hadits ini (tentang kewajiban berwudhu jika tidur berbaring) bukanlah termasuk keempat hadits itu. Itu menunjukkan terputusnya sanad antara Qotadah dan Abul Aaliyah dalam hadits ini.

Penjelasan panjang lebar tentang hadits ini disebutkan oleh Syaikh al-Albaniy dalam Silsilah al-Ahaadits as-Shahihah nomor 2925. Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad juga menjabarkan kelemahan riwayat munkar tersebut dalam syarh Sunan Abu Dawud (2/115-118)).

Kesimpulan: Tidur yang menyebabkan batal tidaknya wudhu bukanlah ditentukan oleh posisi tubuh saat tidur itu. Tapi berdasarkan nyenyak atau tidaknya. Jika sangat nyenyak hingga hilang kesadaran bahkan terhadap dirinya sendiri yang jika berhadats tidak merasa, maka tidur tersebut bisa terhitung membatalkan wudhu’. Namun jika di bawah itu kadar nyenyaknya, tidur tersebut tidak sampai membatalkan wudhu’.

Karena tidur itu sendiri menurut sebagian Ulama bukanlah yang membatalkan wudhu’, namun tidur itu adalah kondisi yang diduga kuat bisa terjadinya hadats.

Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullah menyatakan:

Termasuk hal yang membatalkan wudhu adalah tidur, jika tidurnya sangat nyenyak hingga orang yang tidur itu tidak merasa jika ia berhadats. Adapun tidur yang ringan, yang orang tersebut masih merasakan dirinya kalau berhadats, itu tidaklah membatalkan wudhu’. Tidak ada perbedaan dalam hal itu apakah ia tidur berbaring, duduk bersandar, atau duduk tanpa bersandar. Yang penting, hatinya masih hadir. Kalau keadaannya seperti itu, yaitu kalau ia berhadats ia akan merasakan sendiri, maka wudhu’nya (karena tidur yang demikian) tidaklah batal. Sedangkan ia berada dalam kondisi kalau berhadats tidak merasakan dirinya, wajib bagi dia untuk berwudhu’. Karena tidur itu sendiri bukanlah pembatal (wudhu’) ia hanya kondisi yang diduga kuat bisa mengalami hadats

(Fataawa Nuurun alad Darb libni Utsaimin (119/2)).

Contoh Kedua Hadits Munkar yang Menyelisihi Hadits Shahih

Di dalam hadits yang shahih, terdapat bimbingan Nabi shollallahu alaihi wasallam untuk memperindah suara kita dalam membaca al-Quran.

Ibnu Majah meriwayatkan dalam Sunan-nya:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ قَالَا حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ سَمِعْتُ طَلْحَةَ الْيَامِيَّ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْسَجَةَ قَالَ سَمِعْتُ الْبَرَاءَ بْنَ عَازِبٍ يُحَدِّثُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ

(telah menceritakan kepada kami) Muhammad bin Basysyaar (ia berkata) telah menceritakan kepada kami Yahya bin Said dan Muhammad bin Ja’far keduanya berkata: telah menceritakan kepada kami Syu’bah ia berkata: Aku mendengar Tholhah al-Yaamiy berkata: Aku mendengar Abdurrahman bin ‘Awsajah berkata: Aku mendengar al-Baraa’ bin Aazib –semoga Allah meridhainya- berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Hiasilah al-Quran dengan suara kalian (H.R Ibnu Majah)

Semua perawi dalam hadits ini adalah perawi yang tsiqoh. Semua perawi ada dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim kecuali Abdurrahman bin ‘Awsajah. Meskipun demikian, Abdurrahman bin ‘Awsajah dinilai tsiqoh oleh adz-Dzahabiy dalam al-Kaasyif fii Ma’rifati man Lahu Riwaayah fil Kutubis Sittah (1/638)). Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolaaniy juga menilai Abdurrahman bin ‘Awsajah sebagai tsiqoh dalam Taqriibut Tahdziib (1/593)).

Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Dawud melalui jalur Utsman bin Abi Syaibah dari Jarir dari al-A’masy dari Tholhah al-Yaamiy, kemudian selanjutnya sanadnya sama dengan riwayat Ibnu Majah.

Dalam lafadz hadits riwayat lain, Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda:

زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ، فَإِنَّ الصَّوْتَ الْحَسَنَ يَزِيدُ الْقُرْآنَ حُسْنًا

Perindahlah alQuran dengan suara kalian. Karena sesungguhnya suara yang indah menambah keindahan alQuran (H.R al-Hakim dalam al-Mustadrak)

Riwayat al-Hakim ini oleh Syaikh al-Albaniy dinilai sanadnya shahih sesuai persyaratan al-Imam Muslim dalam Shahihnya.  

Sedangkan hadits yang munkar terkait ini adalah hadits dengan lafadz yang terbalik, yaitu: Perindahlah suara kalian dengan alQuran.

Al-Imam atThobaroniy meriwayatkan hadits:

حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ إِسْحَاقَ التُّسْتَرِيُّ، ثنا عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ بْنِ أَبَانَ، ثنا عَبْدُ اللهِ بْنُ خِرَاشٍ، عَنِ الْعَوَّامِ بْنِ حَوْشَبٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «زَيِّنُوا أَصْوَاتَكُمْ بِالْقُرْآنِ»

 Telah menceritakan kepada kami al-Husain bin Ishaq atTustariy (ia berkata) telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Umar bin Abaan (ia berkata) telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Khiraasy dari al-Awwaam bin Hawsyab dari Ibnu Abbas –semoga Allah meridhainya- ia berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Perindahlah suara kalian dengan alQuran (H.R atThobaroniy dalam al-Mu’jamul Kabiir)

Sanad hadits riwayat ini adalah lemah karena perawi bernama Abdullah bin Khiraasy. Ibnul Jauziy rahimahullah menukilkan penilaian para Ulama hadits terhadap Abdullah bin Khiraasy sebagai berikut:

عَبْدُ اللهِ بْنُ خِرَاش بْنُ حَوْشَب أَبُو جَعْفَر الشَّيْبَانِيّ ابْن اخي الْعَوام بن حَوْشَب قَالَ البُخَارِيّ مُنكر الحَدِيث وَقَالَ الرَّازِيّ ذَاهِب الحَدِيث وَقَالَ أَبُو زرْعَة لَيْسَ بِشَيْء وَقَالَ النَّسَائِيّ لَيْسَ بِثِقَة وَقَالَ الدَّارَقُطْنِيّ ضَعِيف وَقَالَ ابْن عدي عَامَّة مَا يرويهِ غير مَحْفُوظٍ

Abdullah bin Khiraasy bin Hawsyab Abu Ja’far asy-Syaibaaniy putra saudara al-Awwaam bin Hawsyab. Al-Bukhari menyatakan (tentang dia): munkarul hadits. Abu Zur’ah menyatakan: Ia bukan apa-apa (tidak diperhitungkan riwayatnya, pent). anNasaai berkata: Ia tidaklah tsiqoh. Ad-Daaraquthniy menyatakan: lemah. Ibnu ‘Adi menyatakan: Mayoritas riwayat dia tidaklah terjaga (menyelisihi riwayat shahih, pent) (ad-Dhu’afaa’ wal Matruukuun karya Ibnul Jauziy nomor perawi 2014 (2/120)).

Syaikh al-Albaniy menilai riwayat dengan lafadz itu adalah munkar sekaligus maqlub (terbalik matannya) dalam Silsilah al-Ahaadits ad-Dhaifah nomor riwayat 5326.

Jadi, riwayat yang ma’ruf adalah yang menganjurkan untuk memperindah suara kita ketika melantunkan bacaan alQuran. Karena hal itu akan semakin membuat indah alQuran. Sedangkan riwayat yang munkar adalah perintah membaca alQuran agar menjadikan suara kita indah. Ini riwayat munkar karena riwayatnya lemah menyelisihi riwayat yang shahih.

 

Ditulis oleh:
Abu Utsman Kharisman

Tinggalkan Balasan